Senin, 25 Januari 2016

Japan Trip - July 2015

5th July

Pagi ini kami berangkat dari Soetta pukul 6.50 pagi, menaiki Japan Airlines. JAL memang terkenal sebagai salah satu maskapai terbaik. Dan rupanya predikat tersebut memang tidak salah. Kabinnya sangat bersih, tempat duduknya luas (bahkan untuk hitungan economy class), pramugarinya sangat santun dan ramah, makanan yang disediakanpun semuanya enak. Pokoknya bikin penerbangan selama 7 jam menuju Tokyo sampai nggak terasa, deh.

Kami mendarat di Narita International Aiport sekitar pukul 5 sore. Antrian untuk proses stamp passport di imigrasi cukup panjang, namun karena Jepang memang jagonya dalam mengatur segala hal supaya tetap in order dan efisien, antrianpun selalu bergerak maju. Setelah turun dan mengambil luggage kami, rupanya barang2 kami sudah diletakkan di samping ban berjalan karena ban tersebut sudah dipakai untuk luggage dari penerbangan lain. Luar biasa cepat, kan? 

Setelah itu kami langsung mencari loket untuk membeli tiket Keisei Train untuk menuju ke salah satu apartment yang telah kami sewa melalui airbnb.com, di daerah Shinjuku, atau tepatnya Shin Okubo. 

Karena telah melakukan berbagai research soal tiket dan fares-nya, begitu sampai di loket, kamipun langsung menunjuk tiket yang kami ingin beli, tiket dengan fare paling rendah, yaitu ¥1200/person (one way trip). 

Dengan tiket ini, diperlukan waktu 74 menit untuk sampai di Stasiun Nippori. Dari Stasiun Nippori, kami pindah naik JR Yamanote Line yang mengarah ke Shinjuku-Ikebukuro-Ueno untuk turun di Shin Okubo stasiun. (Tiket sudah termasuk dari yang pertama dibeli)

Kami sampai di Shin Okubo ketika langit sudah gelap. Untungnya, apartment yang kami sewa hanya berjarak sekitar 300m dari stasiun dan setelah bertanya sedikit pada orang sekitar, kamipun menemukan letak gedungnya. 

Setelah meletakkan barang dan beristirahat sebentar, kami memutuskan untuk makan malam di Yoshinoya yang terletak persis di seberang Stasiun Shin Okubo sebelum kembali ke apartment lagi.


6th July 

Pagi ini kami berangkat sedikit siang, sekitar pukul 10. Kami naik kereta yang sama seperti kemarin dan turun di Shinjuku. Hal pertama yang harus kami lakukan pagi ini adalah membeli tiket Shinjuku Expressway Bus yang menuju ke Kawaguchi-ko untuk tanggal 9 Juli nanti. 

Untuk naik transportasi umum dalam kota, kami menggunakan kartu Suica. Suica atau Pasmo (ini jenis kartu yang berbeda) adalah kartu elektronik (IC Card) yang bisa dipergunakan untuk naik bus atau kereta, atau membayar barang ketika berbelanja di minimarket dan mesin penjual otomatis. Ketika membayar, kita hanya perlu menyentuhkan kartu ke sensor terdekat. Selain itu, kita dapat dengan mudah mengisi kembali saldo kartu Suica/Pasmo di mesin yang terdapat hampir di seluruh stasiun. 

Untungnya, kami tidak perlu purchase Suica baru karena kartunya telah disediakan oleh host apartment kami, jadi kami hanya perlu mengisi ulang saldo kartunya saja. 

Karena Stasiun Shinjuku terbilang besar, jadi setelah menyerah putar-putar sendiri, kami bertanya pada information center letak kantor Expressway Bus. Rupanya kami harus keluar stasiun lewat tangga nomor 8. Kantor Expressway Bus terletak persis di seberang jalan setelah kami keluar dari stasiun. Tertulis 'Keiso' di bagian depan gedungnya. 



Untuk membeli tiket keberangkatan tanggal 9 Juli, kami harus naik tangga ke lantai 2 dari pintu samping. Kami membeli tiket untuk tanggal 9 Juli dengan tujuan Shinjuku --> Kawaguchi-ko, tiket tanggal 11 Juli dengan tujuan Kawaguchi-ko --> Shinjuku dan tiket tanggal 11 Juli lagi untuk tujuan Shinjuku --> Takayama, karena tidak ada bus yang berangkat ke Takayama dari Kawaguchi-ko. 

Setelah selesai urusan beli-membeli tiket, kamipun melanjutkan rencana kami hari ini. Tujuan kami hari ini adalah Yoyogi Park. Kami memutuskan untuk berjalan kaki saja ke Yoyogi Park sambil melihat-lihat daerah sekitar. Dengan pede-nya kami langsung berjalan mengikuti arahan Google map. Jika dilihat dari peta, memang seharusnya jarak dari kantor Keiso ke Yoyogi Park tidak lebih dari 1.5 km. Kami berputar-putar dari 1 arah ke arah lainnya, tapi kok malah kembali ke tempat tadi kami mulai berjalan? Menyerah dengan usaha sendiri, kami bertanya pada 2 petugas (yang kesulitan dengan bahasa Inggris tapi tetap berusaha membantu dengan bahasa tarzan) dan sempat juga bertanya pada seorang pelayan restoran yang sedang berjaga di depan. Tapi setelah 1 jam lebih mencari jalan dan kebingungan, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Shinjuku Station dan naik kereta yang menuju ke Harajuku, cara yang jauh lebih mudah dan jelas. 

Yoyogi Park terletak persis di belakang Stasiun Harajuku. Yoyogi Park ini bisa dibilang seperti hutan kota dibanding sekadar taman kota. Pohonnya adalah pohon-pohon besar, jalannya muat untuk 4 mobil melintas sekaligus. 

Yoyogi Park adalah sebuah taman kota, terbesar keempat di Tokyo, dan terletak berdekatan dengan Stasiun Harajuku dan Meiji Shrine di Shibuya. Taman ini dibagi menjadi 2 bagian; bagian A berupa taman/hutan, dan bagian B dipergunakan untuk stadion, panggung terbuka, dan fasilitas lain. 

Yoyogi Park memiliki 3 air mancur yang besar dan kecil, ukuran beragam dari 15 - 30 meter. Silakan baca sejarah singkat tentang pembangunan dan penggunaan Yoyogi Park di jalan dahulu di sini.

Main sight di dalam Yoyogi Park adalah Meiji Shrine. Meiji Shrine adalah sebuah kuil Shinto yang didedikasikan untuk memuja arwah Kaisar Meiji, dan permaisurinya, Permaisuri Shoken. Kuil dengan luas 700.000 meter persegi ini dilingkupi oleh hutan evergreen yang terdiri dari 120.000 pohon dari 365 spesies berbeda yang disumbangkan oleh warga-warga Jepang sendiri. 


Meiji Shrine

Hari sudah sore ketika kami selesai berkeliling shrine, jadi kami memutuskan untuk keluar dari park dan mencari makan siang di daerah Harajuku. Kami berjalan di sepanjang gang-gang kecil Harajuku sambil melihat-lihat dan sekaligus mencari restoran. 

Gang-gang Harajuku ini selalu menyenangkan untuk dilihat. Banyak sekali local thrift stores, small shops, local coffee shops yang lucu-lucu dan memajang makanan yang bikin penasaran. Seperti daerah Jepang pada umumnya, gang-gang kecil seperti inipun sangat bersih dan tertata rapi. 


one of Harajuku's cute alleys

Karena kali ini jalan-jalan bersama eyang dan omah, kami tidak bisa terus menerus makan sushi. Akhirnya kami menemukan sebuah Chinese food restaurant dan memutuskan untuk makan di sana saja sementara saya yang tidak mau rugi selama liburan di Jepang, akhirnya makan sendirian di warung ramen yang terletak di seberang Chinese food restaurant. 

Setelah selesai makan, kami naik kereta ke Shimokitazawa, sebuah distrik yang juga terkenal akan toko-toko kecil lokal, boutique, dan thrift store-nya, sambil sekalian cari tempat untuk ngopi-ngopi cantik. Setelah putar-putar, kamipun memutuskan untuk ngopi di salah satu pancake cafè, J.S Pancake. 

Acai Smoothie
J.S. Pancake ini benar-benar menyediakan berbagai macam pancake. Dari yang original, yang pakai sayur, pakai daging, pakai buah, pakai ice cream atau topping-topping manis lainnya. Dan rasanya pun enak rupanya. Jadi kalau main ke Shimokitazawa, selain makan crepes, coba juga deh ke J.S Pancake ini. 


Apple Pancake








Selesai kami ngopi, jam sudah lewat jam 7 dan langit juga sudah mulai gelap. Kami kembali ke Harajuku Station dan naik kereta menuju ke Shibuya. 



Menikmati kesibukan Shibuya Crossing pada malam hari memang merupakan salah satu kewajiban kalau sedang berada di Tokyo. Rasanya luar biasa dapat menyaksikan langsung ada begitu banyak orang yang hilir mudik dan menyebrang jalan dalam waktu bersamaan. Lampu-lampu toko, billboard iklan, lampu jalan, dan begitu banyak suara berbeda yang terdengar membuat Shibuya terasa sangat hidup dan energik.

Di Shibuya, kami akhirnya mencoba cheese cake Pablo yang terletak di salah satu sudut jalan. Range harganya berkisar antara ¥ 500 - ¥ 1000. Harganya pun worth it! Cheese cake-nya luar biasa enak karena komposisi ingredients-nya pas, nggak ada yang berlebihan.

Setelah membeli Pablo, kami menyempatkan diri mengunjungi monumen Hachiko yang sangat terkenal di depan Stasiun Shibuya sebelum pulang ke Shin Okubo. 


7th July

Hari ke-3 di Jepang, kami pergi sedikit ke luar Tokyo, yaitu ke daerah Enoshima dan Kamakura. Untuk pergi ke Enoshima, kami menggunakan Romancecar. 

Selengkapnya tentang Romancecar dan fare-nya, coba dilihat di sini.

Untuk menghemat beberapa puluh yen, kami membeli one day free pass untuk Enoshima dan Kamakura. Free pass inipun sudah termasuk one round ticket Romancecar dari Shinjuku-Enoshima dan sebaliknya. 

Kalau mau pergi ke luar kota, pastinya harus berangkat lebih pagi supaya tidak rugi karena waktu jadi habis di jalan. Jam 9 teepat, kereta kami sudah berangkat menuju Katase Enoshima. Perjalanan ke Katase Enoshima sendiri memakan waktu 1 jam 15 menit. 

Kami turun di Katase Enoshima Station dan berjalan kaki 10 menit ke Enoshima Station untuk naik kereta lagi ke Kamakura. Dari Enoshima ke Kamakura, hanya butuh waktu sekitar 25 menit. 




Di dalam Kamakura sendiri, sebenarnya tidak dibutuhkan angkutan umum apa-apa karena semuanya ada dalam walking distance. Tujuan pertama kami setelah sampai di Kamakura adalah Tsurugaoka Temple. 

Jalan kaki menuju Tsurugaoka Temple ini sama sekali tidak terasa karena kami melewati jejeran toko-toko yang menjual berbagai macam barang dan makanan khas lokal. Kami membeli taro-green tea homemade ice cream yang terkenal di Kamakura, ubi ungu goreng, dan hot dog (pork) selama perjalanan menuju ke temple.

Tsurugaoka Hachimangu Temple merupakan adalah kuil utama dan dianggap sebagai kuil paling penting di Kamakura. Kuil ini dibangun atas inisiatif Minamoto Yoriyoshi, kepala utama dari klan Minamoto di Jepang, pada tahun 1063 dan kemudian diperluas pada tahun 1180 oleh Minatomo Yoritomo, pendiri dan shogun pertama dari pemerintahan Kamakura.

Kuil ini didedikasikan kepada Hachiman, dewa patron keluarga Minamoto dan para samurai pada umumnya. 


the stairway to Tsurugaoka

written prayers



Siang hari, langit mulai mendung dan kemuduan gerimispun turun. Karena tidak membawa payung, kami pun berjalan cepat kembali ke jalan semula untuk mencari makan siang dan tempat berteduh sementara. Di sepanjang jalan itu banyak restaurant yang berjejer kok, jadi nggak perlu khawatir. 

Selesai kami makan siang, hujan masih turun rintik2. Tapi daripada rugi karena sudah jauh-jauh ke Kamakura, kami akhirnya kembali ke stasiun dan naik kereta ke Hase untuk melihat patung Buddha duduk yang terkenal, Kotokuin. 

Kuil Kotokuin secara spesifik terkenal karena patung Buddha raksasanya (The Great Buddha). Patung Buddha yang ada di Kotokuin sangat sering muncul di berbagai drama atau manga Jepang. Biaya untuk masuk ke kuil ini hanya 200 yen dan jika ingin masuk ke bagian dalam patung hanya perlu menambah 20 yen. 


Kotokuin's The Great Buddha


The Great Buddha merupakan patung Amida Buddha yang terbuat dari perunggu dan mempunyai tinggi 13,35 meter. Patung Buddha di Kotokuin merupakan patung Buddha perunggu tertinggi ke-2 di Jepang, sementara yang tertinggi terletak di daerah Nara. Patung ini didirikan pada tahun 1252 dan sebenarnya diletakkan di dalam sebuah kuil. Mengapa sekarang patung ini berada di udara terbuka? Karena seringnya terjadi bencana alam di Jepang, seperti typhoon dan tsunami, kuil yang terbuat dari kayu tersebut akhirnya hancur dan hanya meninggalkan The Great Buddha yang masih berdiri kokoh.

Hujan semakin deras, jadi setelah kami foto-foto, mau tidak mau kami harus berteduh terlebih dahulu. Untung hujan deras tidak berlangsung lama. Jadi setelah hujan mulai reda, kami akhirnya mencari cafè, tentunya untuk ngopi-ngopi lagi. Hehe. 

Selesai dari cafè, jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Kami memutuskan untuk mengunjungi Hasedera. Tapi setelah sampai di depan gerbang Hasedera, kami memutuskan untuk foto-foto di depannya saja karena kami masih harus mengejar kereta di Enoshima untuk kembali ke Shinjuku pukul 17.20 supaya sampai di Tokyo nanti belum terlalu malam.

Enoshima Electric Railway
Tiba di Shinjuku, hari sudah menjelang gelap. Karena belum terlalu malam, akhrinya kami menyempatkan diri naik Chuo line sampai ke Kanda Station dan pindah ke Ginza line yang langsung mengarah ke Asakusa untuk mengunjungi Sensoji Temple. 

Untuk hitungan naik metro, jarak tempuh ke Asakusa ini cukup jauh dr pusat kota sendiri; sekitar 40-45 menit. 

Sensoji Temple Gate
Keluar di Asakusa Station dan langsung disambut oleh deretan toko-toko yang sudah tutup karena sudah malam, kami tinggal jalan kaki sedikit untuk sampai di Sensoji Temple. 



Hampir semua toko-toko di area Sensoji Temple sudah tutup (restoran dan cafè tentunya masih buka). Tapi karena memang rencana kami hanya foto-foto di depan gerbang dan di depan Sensoji Temple sendiri, kemudian kami langsung naik kereta kembali ke Shin Okubo.


8th July

Rencananya, hari ini kami ingin pergi sedikit ke luar kota Tokyo lagi, yaitu mengunjungi kota kecil bernama Kawagoe. Tapi sebelum pergi ke Kawagoe, kami pergi ke daerah yang bernama Ikebukuro terlebih dahulu. 


Karena saat kunjungan sebelumnya ke Jepang kami sudah pernah menginap di daerah Ikebukuro, daerah inipun terasa lebih familiar. Ikebukuro adalah salah satu daerah yang sangat sibuk di Tokyo, karena bisa dibilang daerah ini merupakan daerah pusat perbelanjaan dan entertainment (SEGA Games, Sunshine City Mall, deretan pertokoan, dsb.) tersedia semua di daerah ini.

Ikebukuro
Tujuan kami pertama kali adalah Sunshine City. Kami ingin mencarikan walking stick chair untuk Eyang karena kami banyak sekali berjalan kaki selama liburan di Jepang ini. Tapi setelah putar-putar di beberapa toko, apotek, dan miscommunication dengan petugas information center, kamipun menyerah dan akhirnya makan siang di salah satu restoran Sushi di pinggir jalan dalam perjalanan kembali ke Ikebukuro Station. 


Selesai makan siang, hari sudah sore dan hujan masih belum berhenti. Kamipun membatalkan rencana kami untuk pergi ke Kawagoe dan memilih untuk mengunjungi Ueno Park (yang juga telah kami kunjungi saat liburan sebelumnya). 

Kamipun naik metro ke Ueno Station. Tapi, sore ini Mami dan Daddy harus menyewa wifi portable terlebih dahulu di daerah yang bernama Shimbashi. Supaya tidak perlu beramai-ramai pergi ke Shimbashi, akhirnya sisa dari kamipun menunggu di Starbucks. 

Karena ternyata salah alamat gedung pengambilan wifi portable, ketika Mami dan Daddy sampai kembali di Ueno Station, jam sudah menunjukkan pukul 6, dan Eyang pun sudah capek. Jadilah kami kembali ke hotel untuk beristirahat dan packing karena besok pagi-pagi kami harus berangkat ke kota tujuan berikutnya, yaitu Kawaguchi-ko. 




9th July

Pagi ini, tanpa sarapan kami langsung berangkat ke Shinjuku untuk naik Expressway Bus menuju Kawaguchi-ko. Perjalanan menuju ke sana memakan waktu sekitar 2 jam. Sungguh kagum melihat cara kerja orang Jepang yang super tepat waktu. Perjalanannya sangat nyaman dan menyenangkan karena jalan yang dilalui sangat mulus. Pemandangan di sekitar kami hijau dan bersih, melewati sedikit bagian dari pemukiman dan sisanya berupa hutan. Kami juga sempat terbengong-bengong melihat rel jet coaster di Fuji High Land yang kalau dibandingkan dengan jet coaster di Dufan, dijamin tidak ada apa-apanya.

Tepat pukul 11, kami sampai di Stasiun Kawaguchi-ko dan disambut dengan hujan gerimis. Stasiunnya unik dan bernuansa sangat tradisional, mungil, tapi efisien. Supaya dapat informasi yang lengkap dan tepat, kami langsung menghampiri tourist information center dan memutuskan untuk membeli pass yang berlaku untuk 2 hari supaya bias naik red line bus dan green line bus untuk mengelilingi Kawaguchi-ko dan Danau Saiko dengan harga 1200 Yen untuk orang dewasa dan 600 Yen untuk anak-anak. Banyak atraksi dan tempat wisata yang ditawarkan dan tentu saja karena dibatasi waktu, kami harus memilih.

Setelah membeli tiket, dengan sight seeing bus, kami naik dari Kawaguchi-ko Stasiun ke perhentian yang ke-12, yaitu Yaotu Azagawa, tempat pemberhentian bus terdekat dengan hotel yang akan kami inapi. Agak bingung sedikit selama mencari hotel, karena bayangan kami hotelnya berada di pinggir jalan, tapi setelah bertanya pada seorang bapak-bapak yang mempunyai toko di pinggir jalan, kami berhasil mendapatkan arahan yang benar. Rupanya, hotel kami berada di atas bukit dan kami harus jalan kaki (plus menarik koper-koper kami) mendaki tanjakannya yang cukup lumayan dan bikin ngos-ngosan.

Sampai di hotel, kami memang belum bisa check in, jadi kami menitipkan koper kami di hotel dan kemudian langsung pergi lagi untuk explore Kawaguchi-ko hari ini.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah restaurant bernama Idetan untuk makan siang. Restoran ini terletak di jalan besar sebelum belokan ke stasiun. Tempura dan supnya enak sekali di sini dan kami semua makan dengan lahap. Setelah kenyang, kami langsung kembali berjalan kaki ke stasiun dan naik red line bus menuju taman bunga lavender.

Taman bunga lavender ini adalah salah satu tempat wisata yang paling terkenal dari Kawaguchi-ko karena latar belakang dari taman adalah danau dan Gunung Fuji. Begitulah yang kami lihat, persis seperti yang di foto atau lukisan yang biasanya kita lihat. Bentangan warna ungu, kemudian biru, kemudian hijau-biru-putih. Sayang, hujan yang lebat turun sehingga segera menutup pemandangan Gunung Fuji dan kami tidak bisa berlama-lama bermain di taman. Sebelum pergi dari sana, kami mampir terlebih dahulu ke souvenir shop nya. Wah, barang yang dipajang cantik-cantik dan lucu-lucu sekali! Rasanya ingin dibeli dan dibawa pulang semua, deh. Apalagi sabun dan aroma therapy nya.

the beautiful lavender

Selesai membeli beberapa souvenir asal Kawaguchi-ko, kami kembali ke hotel sambil diguyur hujan. Karena Kawaguchi-ko adalah kota kecil dan banyak toko yang sudah tutup setelah lewat sore hari, kamipun memutuskan makan malam kami untuk delivery saja. Dan, coba tebak apa yang kami pesan? Yak, tempura lagi.

Malam harinya, kami sebenarnya tidak memiliki rencana untuk pergi ke mana-mana, karena dari sore haripun jalanan sudah sangat sepi, benar-benar tidak ada (atau jarang sekali) orang yang lewat. Tapi kok rasanya rugi yak arena kami tidak akan stay lama di kota ini, masa tidak jalan-jalan keluar lagi. Akhirnya kami semua kecuali eyang segera memakai jaket dan sepatu, berjalan-jalan di pinggir danau dan menikmati cahaya lampu dari kota yang ada di seberang danau.



Kotanya betul-betul sepi pada malam hari, hanya 1 atau 2 mobil yang melewati kami dan beberapa orang yang berjalan kaki atau berolah raga (night run). Kami terus berjalan menyusuri danau sambil berhenti beberapa kali untuk berfoto, sampai di Lawson minimarket. Kesempatan untuk membeli roti dan cemilan untuk sarapan kami besok pagi.

Setelah itu kami berjalan kembali pulang ke hotel dan beristirahat.


10th July

Senang sekali bangun pagi hari ini melihat matahari dan langit yang bersinar cerah dan tidak mendung seperti kemarin. Berbekal pass yang telah kami beli kemarin, pukul 9 pagi setelah sarapan sederhana di hotel, kamipun berangkat.

Tempat pertama yang akan kami kunjungi hari ini adalah Kachi-Kachi Rope Way. Kami mendapatkan discount untuk masuk karena memliki retro bus pass alias sight seeing bus pass, sehingga harganya menjadi 650 Yen untuk dewasa dan 300 Yen untuk anak-anak.

Kachi Kachi rope way

Tanpa antrian, kami bisa langsung naik kereta rope way nya yang di-design dengan sederhana, namun manis, bersih, dan dijamin aman. Perjalanan ke atas hanya ditempuh dalam waktu sekitar 3-4 menit tapi kami bisa langsung melihat keindahan kota Kawaguchi-ko selama berada dalam kereta yang terus berjalan menuju ke atas gunung. Sungguh menakjubkan rasanya bisa melihat pemandangan yang seindah itu, rasanya seperti sedang berjalan di atas awan.
Kelinci putih maskot Kachi-Kachi

Fuji Mountain dari puncak Kachi Kachi
Sampai di atas, kami bisa langsung merasakan tiupan angin yang tentunya lebih kerasa dan lebih dingin, namun kami juga dapat langsung melihat pemandangan berupa air danau yang berkilauan ditimpa sinar matahari dan back-ground nya yang berupa the great and famous Fuji Mountain.


Karena hari yang untungnya cerah dan masih pagi (sehingga belum terlalu banyak orang yang datang), kami bisa menikmati pemandangan di sini agak lama. Kami juga mencoba makanan khas Kawaguchi-ko, berupa rice cake, pastinya terbuat dari tepung beras kemudian dibentuk bulat-bulat, ditusuk seperti sate, kemudian dibakar dan diberi saus khusus.

Rasanya? Enak juga, sih. Hehe.

Kachi Kachi rope way
Di Kachi-Kachi kami membayar 100 Yen untuk mengambil 1 piring kecil yang kemudian harus dilemparkan dengan posisi badan menyamping ke salah satu bulatan yang dibentuk dengan tali. Konon, kalau berhasil, harapannya akan terkabul. Tapi, setelah beberapa piring yang kami beli, tidak ada yang berhasil walau sebelumnya sudah ‘latihan’. Katanya sih, memang banyak sekali yang sudah mencoba namun sebagian besar gagal. Ah, yasudahlah. 


Setelah itu kami turun kembali menggunakan kereta rope way nya dan mempir ke toko Fujiyama Cookie. Di Fujiyama Cookie, tersedia beberapa rasa yang bisa dipilih, seperti green tea cookie, café cookie, earl grey cookie, chocolate cookie, strawberry cookie, dan masih banyak lagi. Dari yang kami baca di beberapa rekomendasi perjalanan,  cookies di sini sangat enak.

Fujiyama Cookies


Kemudian kami lanjut berjalan ke Stasiun Kawaguchi-ko untuk berganti naik green line bus.

Lava cave adalah tempat yang akan kami kunjungi berikutnya. Lava Cave termasuk dalam 10 besar dari peringkat tempat wisata di Kawaguchi-ko, namun jaraknya juga lumayan jauh dari downtown Kawaguchi-ko sendiri. Mengendarai green line bus, kami melewati jalan yang berkelok-kelok dengan pemandangan Danau Saiko yang luas dan indah.

Kalau melihat pemandangan alam seperti ini, seringkali teringat akan keindahan negeri sendiri yang tentu tidak kalah cantiknya. Namun sayang, contohnya seperti danau ini, sebenarnya Danau Toba yang kita miliki di Indonesia tidak kalah indahnya, namun kalah dalam hal maintenance dan kebersihan sehingga mengganggu kenyamanan wisatawan.

Di pintu masuk ke Lava Cave ini kami membeli tiket dan diberi helm untuk alasan keselamatan. Sebelum mencapai cave nya, kami harus berjalan sedikit melewati hutan yang asri dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi, membuat udara terasa lebih sejuk dan segar. Kemudian kami turun melalui tangga untuk masuk ke dalam cave-nya. Baru turun beberapa anak tangga, perubahan udaranya langsung terasa karena sangat drastis dari hangat menjadi sangat dingin. Begitu masuk ke dalam cave, tidak jauh dari mulut cave sudah terlihat bongkahan es yang cantik dan dihiasi lampu biru yang membuatnya terlihat semakin eksotis.

Es di dalam Lava Cave

TIdak seperti yang kami kira, rupanya lorong gua sama sekali tidak panjang dan kami harus berputar (melewati jalan yang sama) untuk keluar dari gua yang udaranya dingin membekukan itu. Setelah keluar dari lingkungan hutannya, kamipun menikmati ice cream yang terbuat dari jagung, yes, you heard me right, es krim rasa jagung. Rasanya manis, agak sedikit asin dan gurih, sungguh sempurna untuk udara yang mulai berubah panas di Kawaguchi-ko.

Kemudian setelah menunggu beberapa menit di halte bus, kami melanjutkan perjalanan kembali dengan green line bus menuju Saiko Iyashino-Sato Nenba. Saiko Iyashino-Sato Nenba merupakan wilayah buatan dengan contoh-contoh rumah asli penduduk local. Di depan gerbang masuk, ada beberapa warung kecil yang menjual sayuran dan makanan yang dibuat oleh penduduk desa kecil tersebut. Kami makan siang dengan ramen dan tempura lokal yang super enak walaupun tempatnya sangat sederhana.

Saiko Iyashino-Sato Nenba
Di Saiko Iyashino-Sato Nenba, terdapat beberapa pondok yang memberikan atraksi tertentu. Yang pertama harus didatangi adalah pondok yang memberikan keterangan tentang pondok-pondok lain, jadi sifatnya seperti tourist information. Kemudian, kami mendatangi pondok berikutnya yang menawarkan ocha panas dan duduk di samping tungku pemanas tradisional ala Jepang.

Saiko Iyashino-Sato Nenba, yang juga disebut sebagai The Healing Village, jelas merupakan salah satu tempat wisata yang wajib dikunjungi jika sedang mampir ke Kawaguchi-ko. Seru sekali dengan pemandangan yang indah, udara yang segar, dan rasanya benar-benar seperti menjadi orang Jepang jaman dulu kala.

Jangan lupa sewa kimono dan foto-foto!
Kalau sedang mampir ke Saiko Iyashino-Sato Nenba, jangan lupa juga untuk mencoba menyewa kimono untuk berfoto dan menikmati jagung rebus setempat yang sangat manis. Pokoknya, dijamin suka deh.

Dari desa ini, karena hari sudah sore dan sebentar lagi bus akan berhenti beroperasi, kamipun menunggu bis untuk datang dan mengantar kami kembali ke halte terdekat dengan hotel kami.



11th July

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari muncul, kami sudah berada di dalam taksi yang telah kami pesan untuk pergi ke stasiun (karena bus baru beroperasi pukul 8 pagi). Sampai di stasiun, pintu-pintu masih tertutup, dan tentunya hanya ada 1 atau 2 orang yang terlihat.

Sedikit menggigil karena udara pagi yang masih dingin, kami bersyukur ketika Keio Bus yang akan mengantar kami kembali ke Shinjuku Station muncul. Cepat-cepat kami melewati pemeriksaan tiket dan masuk ke dalam bus.

Kawaguchi-Ko Station

Perjalanan ke Shinjuku memakan waktu 2 jam tepat, dan untungnya, kami sampai 15 menit tepat sebelum bus berikutnya yang akan menuju kota Takayama berangkat. Setelah mengurus pemindahan tiket dari pukul 13.30 ke keberangkatan yang lebih awal, kami langsung naik ke bus yang sudah menunggu.

Seperti perjalanan sebelumnya, pemandangan di sepanjang jalan tol sangat indah. Pegunungan yang masih sangat hijau dengan pohon-pohon cemaranya, kilau matahari yang sedikit-sedikit muncul dari balik awan. Kami melewati terowongan-terowongan panjang yang menembus pegunungan. Tidak jarang, pemandangan danau dengan air berwarna biru dan hijau terlihat. Di sepanjang jalan, terlihat betapa pemerintah Jepang menjaga dan melestarikan keindahan alamnya.

Pemandangan indah ini juga yang membuat kami berusaha untuk tidak jatuh tertidur di sepanjang perjalanan yang mulus.

Dengan waktu tempuh 5 setengah jam, bus berhenti di 3 rest area sehingga kami bisa membeli makanan untuk mengganjal perut yang lapar karena tidak sempat sarapan. Onigiri, roti, dan beberapa crackers Jepang cukup untuk mengganjal perut.

Tidak terasa, bus akhirnya memasuki daerah Takayama dan berhenti di terminal yang letaknya berdampingan dengan stasiun JR. Setelah meminta keterangan dan peta kota di tourist information, kami langsung berjalan menuju penginapan kami, Rickshaw Inn. Berbeda dengan Kawaguchi-ko yang masih cenderung dingin, matahari di Takayama sudah bersinar terik.

Untungnya, Takayama adalah kota yang sangat kecil, dan hotel kami hanya terletak sekitar 10 menit berjalan kaki dari stasiun. Tidak sulit menemukan hotel kami dengan peta kota yang detail. Begitu kami membuka pintu dan melangkah masuk, udara dingin dari AC langsung terasa. Kemudian bel secara otomatis berbunyi.

Ogura, resepsionis Rickshaw Inn dengan bahasa Inggris yang lancer dan jelas serta senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya langsung menyambut kami. “Welcome to Takayama!” sapanya dengan ceria selagi kami melepas sepatu kami.

Tak lama kemudian kami sudah melewati proses check in dan dipersilakan untuk masuk ke kamar masing-masing.

Kamar yang kami pesan terdiri dari 3 kamar; 2 kamar terletak di lantai 3, dan 1 kamar di lantai 2. Di dinding sepanjang lorong hotel, terpasang kimono, yukata, dan kain batik serta kain tenun asal Flores. Sepertinya sang pemilik hotel jatuh hati dengan produk hand made Indonesia.

Kamar tidur di Rickshaw Inn ini berbentuk ryokan, di mana model tempat tidurnya adalah tempat tidur khas Jepang jaman dahulu; terletak di lantai dengan futon yang halus dan nyaman, juga selimut yang hangat.

Dari 3 kamar yang kami tempati, 2 kamar memiliki kamar mandi pribadi, sementara 1 kamar harus ikut kamar mandi publik. Tapi seperti kamar mandi-kamar mandi Jepang pada umumnya, kamar mandi publik di hotel pun bersih tanpa cela.

Setelah meletakkan tas dan duduk-duduk sebentar, kami segera turun dan bertanya pada Ogura mengenai restoran-restoran yang paling direkomendasikan di Takayama, terutama restoran yang menjual daging hida, daging nomor 1 di Jepang.

Rupanya, the best Hida restaurant in town hanya berjarak 5 menit berjalan kaki dari hotel kami. Restoran ini bernama Maruaki Restaurant. Begitu masuk, rupanya sudah ada beberapa orang yang juga sudah menunggu untuk duduk. Karena pelayanan yang cepat dan efisien, tidak sampai 5 menit kemudian kami sudah duduk manis dan langsung memesan 2 porsi daging hida dengan tambahan sayur (wortel, jamur, labu, etc.) untuk dipanggang sendiri. 1 porsi daging hida ini bernilai 2900 Yen (+ tax).

Tristan makan dengan luar biasa lahap dan menghabiskan 2 porsi nasi untuk menemani daging hida.

Setelah puas makan saing, Mami mencoba untuk mencari makan siang untuk eyang karena eyang tidak ikut makan siang di Maruaki, namun tidak mudah di kota kecil seperti Takayama untuk mencari makanan yang bisa di-take away.

Akhirnya, Mami dan Daddy bisa membeli ikan goreng di restoran sushi dan sashimi yang terletak di sebelah hotel, dan walau mereka tidak menyediakan nasi karena nasi untuk sushi berbeda dengan nasi biasa, tapi sang pemilik toko berbaik hati memberikan nasi yang seharusnya digunakan untuk makan malam keluarga mereka.

Sementara itu, Omah, aku, dan Tristan, sudah lebih dahulu mulai meng-explore kota sambil berjalan kaki santai. Dimulai dari Hida Kokobunji Temple  yang terletak di dekat hotel dan di seberang Maruaki Restaurant.

Hida Kokobunji Temple

Foto-foto, buat video, dan kemudian melangkah saja ke arah kota tua (arah yang berlawanan dengan ke arah stasiun). Kami berjalan menyusuri sungai, mengarah ke Torii Gate. Sungainya sangat bersih, airnya luar biasa jernih, ikan-ikan koi yang berenang terlihat dengan jelas, bahkan dari atas jembatan. Beberapa penduduk setempat terlihat membawa anjing mereka berjalan-jalan di pinggir sungai.

The view from the bridge


Sinar matahari yang terik mulai meredup seiring hari semakin sore. Toko-toko di sepanjang jalan sudah hampir tutup semua. Kami hanya berjalan-jalan santai dan berfoto sebentar di Torii Gate.


Matahari sudah hampir tenggelam ketika kami akhirnya bertemu dengan Mami dan Daddy lagi. Menolak untuk menghabiskan waktu di kamar hotel, kami berjalan-jalan mengelilingi kota Takayama yang semakin terlihat seperti kota mainan karena jalanan yang sangat sepi; hampir tidak ada satu orangpun.

Mengikuti saran Ogura sebelumnya, kami akhirnya mampir di café Don.
Seorang bapak tua menyambut kami dan segera mencatat pesanan kami. Standard lah untuk malam hari; hot chocolate, kopi, apple pie, dan pudding ala Jepang. Tidak salah rupanya rekomendasi Ogura, makanan kecil di café Don memang sederhana, namun rasanya tidak ada yang tidak enak.

Takayama's Torii Gate
Karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, kamipun keluar dari café dan memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sebelum kembali ke hotel. Dalam perjalanan kembali ke hotel, kami melihat antrian yang cukup panjang di depan sebuah restoran kecil. Penasaran, kamipun bertanya pada sang pelayan yang sedang sibuk menghitung tamu-tamunya. Rupanya restoran itu menyajikan Takayama noodle. Pastilah noodle yang disediakan di sini luar biasa enak ditilik dari antriannya.

Tapi karena sudah kenyang dan capek, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel saja dan mencoba restoran tersebut esok hari.


12th July


Pagi ini pukul setengah 8, kami sudah keluar dari hotel, hendak mengunjungi Omayaki Market, yaitu pasar pagi Takayama yang terletak di sepanjang pinggiran sungai. Tenda-tenda pedagang sudah berdiri dan toko-tokopun sudah buka ketika kami sampai di sana. Udara pagi hari masih sejuk, menyusuri pasar lokal merupakan kegiatan yang sangat menarik. Pedagang-pedagangnya tentulah orang lokal. Barang yang dijual bermacam-macam. Ada yang menjual pernak pernik, sumpit, kartu pos, hotdog, ice cream, ubi-ubian, bunga, permen, souvenir khas dengan bentuk Sarubobo, dan bahkan putih telur yang telah diolah.

pasar pagi
Sarubobo merupakan salah satu simbol dari kepercayaan orang-orang Jepang akan hal mistis. Sarubobo, bagi warga Jepang adalah semacam jimat. Boneka Sarubobo cenderung berukuran mungil dan berwarna cerah. Dulu, boneka-boneka biasanya dibuat oleh para orang tua untuk anak atau cucu mereka, sebagai jimat penangkal bala, juga menyimbolkan harapan dan keberuntungan.

Setelah puas mengelilingi pasar dan duduk-duduk di sepanjang sungai sambil menikmati berbagai makanan yang telah kami beli, hari rupanya sudah siang. Makan siang kami hari ini kembali di Maruak, sesuai keinginan Tristan yang rupanya tergila-gila pada daging Hida yang memang bukan main enanknya.

Setelah makan siang, kamipun menyebrangi jembatan menuju kota tua. Menyusuri jalan dengan trotoar yang lengang dan toko-toko souvenir di kiri dan kanan kami sangat menyenangkan. Mami dan Daddy tidak tahan rupanya begitu melihat toko yang menjual pernak-pernik dari keramik. Hampir 1 jam mereka berputar-putar di dalam toko yang tidak seberapa besarnya.



Berbagai toko kami kunjungi. Ada toko yang menjual sumpit, ada yang khusus menjual makanan khas, dan Eyang malah membeli 1 kimono. Kami berjalan terus sampai pada Red Bridge yang merupakan salah satu ikon kota Takayama. Agak tricky untuk berfoto di jembatan ini karena ramainya.

Di seberang Red Bridge, terletaklah kawasan kota tua yang sebenarnya, disebut juga Jalan Sannomachi. Toko-toko di sepanjang alley ini memang dilestarikan berbentuk seperti rumah-rumah Jepang jaman dahulu kala yang masih dibangun menggunakan kayu. Orang berlalu-lalang, keluar-masuk toko dan restoran.



Daddy pun tidak ketinggalan mampir ke salah satu toko yang menjual berbagai macam sake. Kita bisa mencoba berbagai sake yang disediakan dengan membayar 100 Yen/ orang. Dan, harga sake di sini tentunya sangat murah, jadi jangan sampai tidak belanja sake.

TIdak terasa hari sudah sore, dan kamipun berjalan kembali ke hotel untuk beristirahat, mandi, dan packing karena besok pagi kami sudah akan berangkat ke Shirakawa-go, sebuah desa tradisional yang merupakan salah satu tujuan wisata paling terkenal di Jepang.

Untuk makan malam hari ini, kami berjalan-jalan keluar masuk gang-gang kecil di Takayama, dan akhirnya menemukan sebuah restoran tempura. Tempura di restoran ini disajikan dengan nasi yang sudah dikecapi dengan bumbu Jepang. Tempuranya seperti biasa, terdiri dari ikan, udang, labu, ubi, dan sayur-sayuran.

Nah, sebelum tidur, harusnya malam ini kami mencoba Takayama noodle di restoran yang kemarin kami lihat penuh dengan orang. Sayangnya, saat kami pergi ke sana, tidak ada tanda-tanda kehidupan di restoran itu, alias…. tutup.

Ya sudahlah, karena sudah cukup kenyang juga, akhirnya kami kembali ke hotel dan beristirahat.


13th July

Pagi-pagi hari ini kami sudah pamit kepada Ogura dan menggeret koper-koper kami ke stasiun.

Kami naik bus pukul 9.50 pagi, dan karena perjalanan ke Shirakawa-go tidak jauh, sekitar pukul 11 kami sudah sampai di tempat pemberhentiannya. Suasana desa langsung terasa begitu mendengar derasnya arus sungai, dan juga semua rumah terbuat dari kayu terlihat di seberang jembatan panjang yang harus kami lalui nanti.

Seperti biasa, hal pertama yang dilakukan adalah mengunjungi tourist information untuk meminta petunjuk arah dan peta. Kamipun berjalan menyebrangi jembatan yang menggantung di atas sungai yang lebar dan deras sebelum memasuki gerbang desa.

Di sana-sini lebih banyak terlihat turis dibanding penduduk asing. Untungnya peta yang diberikan kepada kami sangat jelas dalam memberikan petunjuk. Tidak sulit untuk menemukan home stay yang akan kami inapi untuk 1 malam, walaupun home stay tersebut tidak terlihat berbeda dari rumah-rumah lainnya.




'slippers' di homestay
Shirakawa-go sendiri adalah sebuah desa bersejarah dan telah ditetapkan sebagai salah satu situs warisan budaya dunia yang berada di Jepang oleh UNESCO, yang berarti warga Shirakawa tidak bisa serambangan merenovasi rumah mereka. Desa ini terletak di lembah Sungai Shokawa. Desa ini terkenal akan rumah tradisionalnya, yaitu gassho-zukuri, karena modelnya yang disebut sebagai "konstruksi tangan berdoa", dicirkan dengan bentuk atap rumah yang miring dan melambangkan tangan orang yang sedang berdoa.  Penduduknya kebanyakan bekerja di bidang pariwisata; penyedia homestay, restoran, toko-toko makanan kecil atau toko souvenir.  

Tambahan penjelasan tentang keindahan dan keunikan bisa dibaca di sini.

Setelah menitipkan tas di home stay karena baru akan bisa check in setelah pukul 3 sore nanti, kamipun mencari restoran untuk makan siang. Kami bertanya pada penduduk setempat tentang restoran mana yang direkomendasikan. Being a small village it is, ada satu corner di mana terdapat beberapa restoran.


Kamipun memilih restoran yang makananya bisa dimakan oleh eyang kung dan omah.

Selesai makan siang, kami membeli ice cream green tea untuk dessert. Nah, let me tell you something; ice cream green tea di sini e-nak-ba-nget! Beda dengan green tea di Indonesia yang terlalu manis, green tea yang disediakan di sini rasanya pas dan bikin seger.

Setelah itu kamipun berjalan-jalan di bawah teriknya sinar matahari untuk melihat-lihat desa Shirakawa-go ini. Agak sedikit ke pinggir desa, kami menemukan jalan untuk naik menuju sebuah view point, di mana kita bisa melihat keselurahan desa Shirakawa-go dari atas bukit.

Untuk naik ke bukit ini memang butuh sedikit perjuangan karena bukit tersebut cukup tinggi. Tapi perjuangannya tidak seberapa jika sudah sampai di atas bukit, dan bisa melihat keselurahan desa Shirakawa-go dari atas.

Pemandangannya sungguh luar biasa. Pokoknya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Yang terlihat dari atas adalah sebuah desa kecil, dengan rumah-rumah kayu beratap jerami tebal, dikelilingi oleh pegunungan. Sawah hijau terbentang luas, air sungai terlihat berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sungguh luar biasa indahnya pemandangan yang terlihat.



Selain itu, di view point ini juga ada jasa fotografer, jadi kalau mau diambilkan fotonya, boleh saja. Untuk cetak foto, 1 foto dihargai 1000 yen.

Ketika kami turun hari sudah sore, dan kami langsung check in ke home stay.

Wangi kayu langsung tercium begitu kami masuk. Saka To, sang pemilik dan pengurus home stay menyambut kami dan meminta kami untuk melepaskan sepatu. Begitu naik ke lantai kayu, koper tentunya harus diangkat, tidak boleh digeret karena bisa merusak lantai kayunya.

Pintu kamar kami adalah pintu geser yang ditutup lapisan kertas. Terbayang kan? Pokoknya kalau pernah menonton kartun Doraemon, atau film-film Jepang yang berlatar belakang sejarah, persis seperti itulah rumahnya.

Di kamar kami tidak tersedia apa-apa kecuali sebuah meja rendah dan beberapa bantalan untuk duduk. Tempat tidur akan disediakan nanti setelah kami makan malam. Kamar mandi pun hanya ada 1, dipakai bersama-sama. Walaupun begitu, WC yang tersedia ada cukup banyak. Tapi pokoknya jangan khawatir lah kalau ke Jepang soal kebersihan. Walaupun ada titel ‘umum’ atau ‘publik’, tetaplah dipastikan bersih dan hygienis.

Setelah leyeh-leyeh sebentar, akhirnya kami bergantian mandi satu per satu. Di kamar mandi disediakan satu shower. Di samping itu, ada semacam bath tub Jepang yang sudah diisi air panas oleh Saka To. Bath tub tersebut ditutup dengan papan kayu. Untuk berendam di air panas ini, kami harus mandi dulu supaya badan sudah bersih ketika masuk ke air, karena pasti ada beberapa orang yang mau juga mau berendam.

Air panas yang sudah disediakan bisa tahan panasnya hingga berjam-jam. Itu yang saya tidak mengerti cara kerjanya. Dan, rupanya setelah perjalanan yang lelah namun menyenangkan, berendam air panas is the best thing you could ever do. Cukup 5 menit saja, begitu keluar badan langsung terasa jauh lebih segar dan enteng.

Selesai kami semua mandi, terdengar datangnya tamu lain yang kemudian menempati kamar di sebelah kamar kami. Tidak lama kemudian, Saka To memanggil kami untuk menikmati makan malam di ruang makan.

setting makan malam tradisional di Takayama

Kami makan di semacam tatami, dengan sebuah tungku pemanas besar di tengah-tengah ruang makan (tentu saja tidak dinyalakan karena sedang summer). Makanan yang disajikan rupanya luar biasa. Ada nasi, tempura, soup, buah, dan sayuran yang bisa kita tumis sendiri di atas wajan mini.

Dan bukan hanya banyak dan lengkap, tapi juga ENAK! Okay, makanan apa sih yang tidak enak di Jepang? Sepertinya semua makanan terasa luar biasa enak ya. Hehehe…

Selain keluarga kami, rupanya ada sekeluarga orang bule yang juga makan bersama kami. Perbincanganpun dimulai. Rupanya mereka adalah orang Belgia namun sempat tinggal di London selama 10 tahun. Topik pembicaraan melompat-lompat dari saling bertukar pengalaman soal liburan, soal pendidikan, dan menceritakan negara masing-masing.

Selesai dinner dan saling mengucapkan selamat malam, kami (kecuali omah dan eyang), memutuskan untuk naik kembali ke view point untuk melihat Shirakawago dari atas saat malam hari. Berbekal senter, jaket, dan kamera beserta tripod-nya, kamipun kembali mendaki jalan. Bedanya, saat siang tadi kami naik lewat jalan kecil yang berbentuk seperti tangga, tapi karena sudah malam, kami memilih naik melewati jalan besar.

Rupanya pemandangan Shirakawa-go saat malam hari dari atas bukit memang indah. DI view point tidak ada satu orang pun, jadi lebih mudah bagi kami untuk mengambil foto. Daddy dan Tristan mulai bereksperimen dengan pengaturan cahaya dan ISO di kamera untuk mendapatkan foto yang bagus.

pemandangan dari atas bukit

Memang, lampu di desa tidak terang benderang, namun justru itu memberikan keuntungan bagi kami untuk dapat memotret bintang yang bertaburan di langit gelap yang menyelimuti desa. Angin yang bertiup terasa sangat kencang dan dingin di atas bukit. Hujan yang mulai turun rintik-rintik membuat kami segera membenahi peralatan memotret dan cepat-cepat berjalan turun ke bawah untuk kembali ke home stay.




14th July

Pagi ini kami bangun sekitar pukul 7 pagi dan bergegas mandi karena sarapan akan disediakan pukul 8. Tepat pukul 8, Saka To sudah berkeliaran di lorong kamar dan berseru dengan riang “Good morniiiingg! Breakfaasst, breakfaasstt!”

Dengan senyum-senyum dan tertawa, kami kembali berkumpul di ruang makan. Makanan yang disediakan tidak kalah dari yang kemarin. Dengan tambahan croissant dan ikan bakar pagi ini. Saking banyaknya, kami sampai tidak sanggup menghabiskan. Jadilah croissant-nya kami bawa saja untuk bekal di jalan.

Selesai makan, kami mengecek barang-barang kami yang sudah dibereskan, dan berjalan ke arah stasiun bus untuk naik bus pukul 9.35 nanti yang mengarah kembali ke Takayama untuk transit sebelum kembali ke Tokyo.

Kami memang sengaja berangkat lebih awal supaya sempat berfoto di jembatan dan di sungai. Dan mumpung para turis belum keluar, sehingga jalanan dan jembatan pun masih sepi.



Nah, namun pagi ini terjadi sebuah musibah karena tiket bus Eyang hilang. Mungkin terjatuh atau bagaimana. Kamipun berkonsultasi ke bagian loket, namun keputusan akhirnya adalah kami tetap harus membeli tiket baru sesuai dengan harganya. Ya sudahlah, apa boleh buat kan?

Bus datang tepat waktu seperti biasa, dan perjalanan kembali ke Takayama tidak terasa. Setengah 11 siang kami sudah menginjakkan kaki kami di Takayama lagi. Di stasiun bus Takayama, kami sempat bertemu sebentar lagi dengan keluarga Belgia yang menginap satu home stay dengan kami untuk berpamitan. Kami juga meletakkan koper kami di loker yang telah disediakan di stasiun. 1 loker besar seharga 500 yen.

Bus yang akan mengantarkan kami kembali ke Tokyo hari ini akan berangkat pukul 13.30. Jadi, kami masih punya waktu sekitar 3 jam. Hal pertama yang dicari oleh Tristan adalah Maruaki (again). Karena saya mau makan ramen, akhirnya kamipun splitting group untuk makan siang. Saya dan Daddy pergi mencari ramen, sementara sisanya makan di Maruaki.

Restoran ramen yang kami datangi terletak di belokan persis sebelum jembatan menuju kota tua. Ramen di Jepang, justru berbeda dengan jenis ramen yang disediakan di Indonesia dengan bumbu berwarna merah. Ramen di sini justru kuahnya bening, lebih mengarah seperti kaldu. Mie-nya memang enak dan berbeda, sayangnya ramen di restoran tersebut tidak bisa dibungkus.

Jadilah setelah selesai makan, saya dan Daddy akhirnya berjalan kembali ke arah Red Bridge untuk membeli ice cream di sebuah kios. Kemudian kami berjalan balik lagi ke Maruaki untuk bertemu yang lainnya.

Selesai semuanya makan siang, dengan perut kenyang kami mengunjungi sebuah toko pernak-pernik yang dari kemarin ingin Mami kunjungi tapi tidak sempat karena tokonya tutup. Untunglah di hari itu, toko tersebut buka. Being a Mami she is, seperti biasa, tentunya nggak tahan melihat barang-barang pecah belah dan pernak-pernik unik.

Dari cangkir, piring kecil, pajangan-pajangan, sumpit, sampai tempat panggangan kecil ala Jepang pun dibeli oleh Mami.

Dari toko tersebut, kami langsung berjalan kembali ke stasiun bus karena jam sudah menunjukkan pukul 1 siang.

Sekitar 6 jam berikutnya kami habiskan di dalam bus, plus dengan mampir-mampir sebentar di tempat pemberhentian. Sekitar pukul 7 malam, kami turun di Shinjuku. Pemberhentian bus tidak terletak jauh dari kantor Keio Bus tempat keberangkatan kami sebelumnya, yang juga terletak di seberang Shinjuku Station yang luar biasa besar.

Jadi kami langsung mengarah ke stasiun, naik kereta Toei Oedo line yang mengarah ke Nishi Shinjuku Gochomae untuk mencari apartment yang telah kami book sebagai tempat tinggal kami untuk 4 hari lagi ke depan di Tokyo.


15th July

Karena lelah, hari ini kami bangun agak siang dan sedikit leyeh-leyeh di apartment. Sektar pukul 11 siang baru akhirnya kami berangkat. Hari ini kami memutuskan untuk pergi ke Kawagoe.

Kawagoe adalah sebuah kota yang terletak di perfektur Saitama dan memiliki barisan lumbung toko serta rumah-rumah tradisional yang disebut machinami. Kota yang dikenal sebagai Edo kecil ini memiliki atmosfer layaknya jaman Edo dengan tata kotanya yang indah. Akses yang mudah dari pusat kota membuat daerah wisata di Saitama-ken ini layak untuk dikunjungi. Kota ini disebut sebagai Edo kecil karena tadinya merupakan daerah penyokong basis benteng penjaga kota Edo dan sengaja dibuat mirip dengan Edo.

Untuk pergi ke Kawagoe, kami harus naik kereta ke Ikebukuro, kemudian naik Tobu line yang akan langsung mengarah ke Kawagoe. Untuk membeli pass Tobu line, memang paling murah tersedia di Ikebukuro (beli di kantornya Tobu line seharga 700 Yen/person, pulang-pergi).

Sampai di Kawagoe sudah jam setengah 1 siang. Matahari bersinar luar biasa terik di luar pekiraan kami. Rasanya hampir tidak sanggup berjalan jika tidak di bawah bayang-bayang atap rumah atau pertokoan. Bus kota yang dicari pun agak sulit ditemukan.

Jadi dengan segenap tenaga kami berjalan kaki. Maunya sih langsung mencari Kurakuzurim yaitu old town-nya Kawagoe. Tapi karena rasanya hampir tidak ada tenaga, kamipun mampir ke sebuah restoran Thailand yang ada di pinggir jalan, di lantai 2 sebuah restoran Italia.

Lumayan mengisi bensin dulu dengan tom yum, nasi, air dingin, dan dessert-dessert kecil ala Thailand. Hebatnya, sang empunya restoran (seorang ibu-ibu), merangkap menjadi pelayan, tukang cuci piring, pembersih meja, dan koki sekaligus. Dia mengerjakan semuanya sendirian. You heard me right. Sendirian.

Luar biasa bukan? Terbayang kan betapa efisiennya orang-orang Jepang ini karena tingginya biaya untuk menyewa tenaga kerja.

Nah, selesai makan siang, kamipun mulai berjalan lagi mengikuti petunjuk di peta untuk menemukan Kurakuzuri. Setelah makan siang memang rasanya lebih baik. Tenaga lebih terisi dan kami tidak selemas tadi untuk jalan kaki. Hehe

Setelah berjalan kaki sekitar 15 menit dan mampir ke sebuah toko kacang khas Jepang (tersedian kacang rasa jeruk, rasa blueberry, rasa rumput laut, rasa caramel, bahkan rasa wasabi juga ada) dan berbelanja kacang sebentar, akhirnya kami sampai juga di daerah Kurazukuri.

Memang, old town di Jepang sungguh luar biasa. Lucunya Kurazukuri ini sulit digambarkan dengan kata-kata. Jadi lebih baik dicantumkan saja fotonya di sini…..

source: travelblog.org

Di Kurazukuri, toko pertama yang kami kunjungi adalah toko sumpit. Uniknya, di toko sumpit ini, ada beberapa sumpit yang bisa digrafir dengan nama kita. Atau, kalau kita mau membelikan teman atau saudara oleh-oleh, ini pastinya jadi oleh-oleh yang berkesan kan?

Tapi, karena terbatas oleh jumlah uang cash yang kami pegang dan kesulitan menemukan atm, kami tidak bisa membeli begitu banyak barang di Kawagoe ini. Jadi selain memborong sumpit (karena bayarnya bisa dengan kartu), yang berikutnya kami beli adalah sebuah kue.

Jadi kue ini seperti kue sus. Bedanya, kalau kue sus berisi fla susu, kue ini fla nya dibuat dari ubi ungu. Luar biasa bukan? Dan rasanya juga luaaarrr biasaaaa enaknya. Fla yang dibuat dari ubi ungu ini bahkan rasanya lebih meledak di dalam mulut; tidak tawar dan tidak terlalu manis, semuanya pas pada porsinya.

Kawagoe's Bell Tower

Keluar dari dalam toko kue, hari sudah sore dan toko-tokopun sudah mulai tutup. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari Kita-in Temple dalam perjalanan kembali ke stasiun. Berbekal google map dan celingak-celiinguk karena orang lokal di sekitar sini kesulitan berbahasa Inggris, kamipun berjalan walau dengan bingung dan tersesat sana-sini. Tak lama kemudian kami menemukan temple kecil tersebut di antara rumah-rumah penduduk lokal di pinggir jalan. Kami tidak menghabiskan waktu banyak dan tidak memasuki area halaman temple tersebut, hanya berfoto di bagian depannya.

Tujuan kami berikutnya adalah candy lane yang terkenal dari Kawagoe, tapi berhubung hari yang sudah sore, sepertinya semua toko permen sudah tutup dan candy lane sudah sangat sepi. Jadilah kami mengikuti petunjuk google map berjalan kembali ke stasiun kereta, melalui area Acrea Mall yang berupa deretan toko dan restoran di sepanjang jalan (outdoor). Selagi kami berjalan, langit sudah mulai mengggelap. Stasiun kereta terletak di ujung lorong Acrea Mall dan kami naik kereta kembali menuju Ikebukuro dengan Tobu line.

Ketika sampai di Ikebukuro, kami turun dari kereta dan menunjukkan pass yang telah kami beli khusus untuk mengunjungi Kawagoe, namun menurut penjaga loket tiket, pass yang kami beli tidak ditujukan untuk turun di stasiun Ikebukuro, melainkan masih harus melanjutkan naik kereta ke 3 stasiun berikutnya. Kalau kami mau turun di Ikebukuro, kami harus membeli tiket lagi seharga 240 Yen/person. Karena sudah malam dan kami juga sudah terlalu lelah (plus kami berjalan bersama Omah dan Eyang), akhirny akami memutuskan untuk membeli tiket tersebut dan keluar dari stasiun Ikebukuro.


16th  - 17th July

2 hari berikutnya kami habiskan untuk berputar-putar dan berbelanja di seputar Shibuya dan Shinjuku dari pagi sampai pagi lagi. Hehehe… Sampai malam maksudnya. Sempat kami pergi ke Ueno untuk mengunjugi Ueno Park, tapi sepertinya memang tidak jodoh, begitu kami sampai di sana, turunlah hujan deras. Jadi kami berjalan-jalan saja di dalam food center kecil di dalam stasiun Ueno.


18th July

Sayang sekali, ini adalah hari terakhir kami di negara yang imut-imut, super bersih, dan berteknologi super canggih ini. Karena pesawat kami akan take off sore nanti, kamipun menggeret koper kami ke stasiun Shinjuku. Setelah memasukkan koper-koper dan tas-tas kami ke dalam loker yang disewakan, kami berputar-putar Shinjuku untuk yang terakhir kalinya sampai sekitar pukul 1 siang.

Pukul 1 lewat, kami mengambil kembali barang bawaan kami, refund sisa uang dari Suica pass di ticket office, kami membeli tiket untuk ke Nippori (Yamanote Line) untuk naik Keisei Ltd Express menuju Narita. Sekali jalan, harga tiket Keisei Ltd Express adalah 1030 Yen/person dengan waktu tempuh 1 jam.


Untunglah kami sampai lebih awal (perks of always being on time in Japan), kami langsung check in, melewati proses passport check, kami menikmati early dinner di salah satu restoran di airport, dan langsung boarding ke pesawat.