18th Dec
Kemarin, tanggal 17 Desember 2015, kami terbang
menuju benua lain. Pesawat kami take off sekitar pukul setengah 6 sore.
Berangkat dari rumah 6 jam sebelum keberangkatan dengan cita-cita bisa mampir
ke mall untuk potong rambut dan beli beberapa snacks untuk bekal rupanya
nggak kesampean. Lalu lintas Jakarta
yang luar biasa (one of a kind pokoknya), berhasil bikin kami deg-degan takut
ditinggal pesawat instead of sempat mampir ke mall. Fortunately, we made it!
Walau agak buru-buru, tapi kami juga nggak terlambat boarding.
17 jam penerbangan berikutnya membawa kami ke
destinasi liburan kami yang pertama, Amsterdam.
Begitu mendarat di Schiphol Airport dan
mengambil koper-koper di luggage claim, tujuan pertama kami adalah mencari
tiket untuk public transportation di Amsterdam. Terakhir kami main ke Amsterdam
(tahun 2011), ada relative yang jemput dan mengantar ke mana-mana, jadi
perjalanan kali ini rasanya agak seperti pengalaman pertama di Amsterdam.
Nah, sebelum sempat beli tiket, ada satu hal
kecil yang jadi ‘kecelakaan’ lucu. Waktu lagi jalan ke arah information, Mami
sempat nyeletuk, “Wih, kok ada bau rendang nih. Bikin laper, deh,”. Masalahnya,
kami memang bawa rendang di koper.
Begitu jalan agak jauh dan bau rendangnya masih mengikuti, rasa curiga makin
kuat. Dengan agak deg-degan, dibukalah akhirnya salah satu koper besar yang
kami bawa. Rupanya yang dicurigai beneran terjadi. Rendang yang kami bawa
tumpah di koper! Well, technically, sebagian besar kuah dan minyaknya sih yang
tumpah. Untung baju yang ada di dalam koper itu semuanya dimasukkan ke sealer
plastic bag, jadi nggak ada yang ikut ketumpahan. Mau nggak mau, menyingkirlah
kami ke pinggir dan nyolong tissue agak banyak dari toilet untuk pertolongan
pertama. Setelah mengeringkan sebagian besar barang (walaupun pastinya mostly
masih berminyak), kami lanjut jalan lagi untuk cari tiket.
Pertamanya kami keukeuh coba beli tiket di
ticket machine, walau udah baca di internet bahwa untuk beli tiket di machine
itu nggak cocok untuk tourist karena harus bayar pake kartu. Tapi setelah
dicoba, dan memang nggak bisa, akhirnya baru kami tanya ke information center.
Petugasnya memberi arahan singkat untuk menuju counter yang menjual tiket.
Gampang ketemunya, cuma memang harus agak
sabar ngantri, apalagi kalau lagi rame. Tulisan di counter-nya ini memang
sebagian besar tentang destinasi antarkota atau antarnegara, tapi ticket
counter itu juga menjual tiket dalam kota.
Kami tanya ke petugasnya tentang tiket yang
paket, untuk 4 orang dan berlaku harian. Petugasnya kemudian memberi kami
rekomendasi untuk menggunakan Amsterdam Travel Ticket. Amsterdam Travel Ticket
ini terdiri dari 3 pilihan. Ada yang 1-day ticket, 2-day ticket, dan 3-day
ticket. Akhirnya kami memutuskan untuk beli 3-day ticket dengan harga 24
euro/person (dan akhirnya sadar bahwa kami sebetulnya hanya perlu beli 2-day
ticket, tapi yaudahlahya).
Setelah dapat tiket, kami meminta arahan ke
Stasiun Sloterdijk, stasiun yang terdekat dengan hotel yang akan kami inapi,
Meininger Hotel. Rupanya Sloterdijk ini salah satu stasiun besar (bukan minor)
dan hanya 1 station away dari Amsterdam Centraal kalau naik kereta (GVB).
Walau awalnya agak kebingungan menemukan
lokasi hotelnya, kami berhasil sampai. Karena itu baru sekitar jam 10 pagi,
kami memang belum bisa check-in. Seperti biasa, kami akhirnya menitipkan
koper-koper kami di hotel setelah mengambil jaket-jaket winter kami sebelumnya.
Kami kembali ke Sloterdijk Station, dan
karena liburan kali ini sangat nyantai (bahkan kami nggak bikin itinerary),
kami akhirnya naik kereta lagi ke Amsterdam Centraal. Turun, kami keluar dari
stasiun, dan tujuan pertama kami (tentunya) adalah Manekken Pis, salah satu
shop penjual Vlaamse frites paling terkenal di Amsterdam.
“Vlaamse Frites”, atau kalau dalam bahasa
Inggris berarti Flemish Fries, referring
to “Vlaanderen” (Flanders), which is the northern, Dutch-speaking part of
Belgium. Dutch ini nggak mengadaptasi bahasa Prancis seperti Jerman, makanya
makanan ini disebut Vlaamse Frites, bukan Pommes Frites.
“Vlaamse” dianggap sebagai sebuah quality
label dan berarti fries yang dijual standarnya lebih tinggi dari fries baisa
yang dijual di snackbars biasa Belanda. In general, the quality of the fries is
reasonably good which should not surprise as the Bintje potato, specially
cultivated for fries, is a Dutch produce. Shop-shop terkenal seperti Manneken
Pis, De Belg, atau Vleminckx, benar-benar hanya menjual fries, whereas shops
lain biasanya menjual snack-snack lain.
Nah, beruntung waktu kami sampai di Manneken
Pis terdekat dari Centraal (harus nyebrang dari stasiun, mengarah ke pusat kota
sedikit, di sepanjang main canal), Manneken Pis sedang tidak gila antrinya,
hanya 2 orang di depan kami. Biasanya, antriannya bisa super panjang karena
peminatnya banyak sekali.
So afterwards, Mami kepengin naik tram.
Seperti biasa, kami senang naik tram sembarangan dan turun di tempat yang
menurut kami menarik. Akhirnya kami naik salah satu tram di halte terdekat,
yang arahnya berlawanan dengan arah Centraal. Setelah beberapa stop, kami
melihat ada Christmas Market kecil (kecil sekali kalau dibandingkan dengan
Chrtistmas Market-nya Jerman), jadi kami memutuskan turun. Kami turun di
stasiun yang bernama Rembrandtplein. Tristan akhirnya membeli waffle dan Mami
membeli crepes yang dijual di salah satu hut.
Kami lanjut berjalan kaki tanpa arah, took
some cute pics here and there, mengagumi cantiknya Amsterdam yang nggak berubah
dari tahun ke tahun. Kami jalan dari satu jembatan ke jembatan lain, senang
sekali melihat pemandangan kanal-kanalnya.
Setelah hari semakin siang dan akhirnya kami
mulai merasa lapar, kami naik tram kembali ke arah Centraal, tapi turun di
pusat kota. Kami berusaha mencari restoran yang menarik di salah satu
lorong-lorong kecil Amsterdam, tapi akhirnya memutuskan untuk berhenti di salah
satu Argentinian restaurant (yang ada di mana-mana di Amsterdam. Very famous
for its steaks.) dekat Centraal. Nah, kalau mau makan di Eropa, lebih baik
jangan langsung pesan banyak. Karena biasanya 1 porsi cukup untuk 2 orang.
Well, setelah makan siang, kami jalan-jalan
lagi sedikit. Sekitar jam 4 sore, kami mulai capek dan memutuskan untuk kembali
ke hotel, check in, dan get some rest. Salahnya adalah kami sudah tidur sekitar
jam 7 malam, jadilah kami jet lag sekali dan bangun jam 2 pagi keesokan
harinya.
19th December
As I was saying, we got up extremely early.
Mami, Daddy, dan Tristan akhirnya turun ke dapur (dapur bersama yang disediakan
hotel), karena Tristan lapar dan pengin makan rendang. Afterwards, we managed
to get 1 more hour of sleep sebelum kami mandi dan turun untuk sarapan beneran.
Tujuan pertama dan utama kami hari ini adalah
Rijksmuseum. Kami berangkat dari hotel sekitar jam 10 pagi. Sesuai arahan yang
kami lihat dari internet, kami naik tram nomor 12 dari Sloterdijk ke
Museumplein. Seperti namanya, Museumplein memang sebuah daerah di mana
mayoritas museum-museum Amsterdam berkumpul. Ada Van Gogh Museum, Amsterdam
Museum, Rijksmuseum, Diamond Museum, juga the famous Concert Gebouw Opera House.
Cuaca hari ini cukup bersahabat walau
terkadang angin dingin bertiup. Kami berjalan menyeberangi lapangan hijau dan
super luas. Banyak orang yang sedang berolahraga, main sepak bola, main
frisbee, main dengan anjingnya, atau sekadang sedang duduk-duduk saja. Museum
Van Gogh ada di sebelah kiri kami, sementara bangunan besar dan megah
Rijksmuseum mulai terlihat. Sebelum mencapai Rijksmuseum, kami foto-foto dulu
di depan tulisan I AMSTERDAM yang
sangat terkenal. Ada juga Christmas market yang cukup besar di sini, plus ice
rink bagi yang mau main ice skating.
Kami membeli tiket di official souvenir shop
yang ada di seberang bangunan Rijksmuseum. Harga tiket masuk ke museum ini
adalah 17.50 euro/person untuk yang berusia di atas 18 tahun dan tidak memegang
kartu pelajar. Sementara untuk yang berusai di bawah 18 tahun, it’s free
admission! Memang, harganya agak pricey, tapi setelah masuk ke Rijksmuseum, I
get to say that it’s freaking worth the price. Trust me on this. The museum
blew my mind away.
Rijksmuseum sendiri merupakan museum nasional
utama di Belanda. Museum ini menampilkan karya seni dan sejarah Belanda mulai
dari abad pertengahan sampai saat ini. Banyak karya seni terkenal dunia dari
Golden Era-nya Belanda ditampilkan di sini. Penataan ruangan, penyusunan
lukisan, penjelasan yang detail dan membuat kita berkali-kali melihat kembali
ke lukisannya untuk menganalisa, juga tata cahaya lampu di museum ini ju-wa-ra!
Ini adalah beberapa karya seni yang
dinyatakan sebagai Rijksmuseum’s top-list:
- 1. Night Watch, yang merupakan lukisan karya Rembrandt van Rijn yang paling terkenal di seluruh dunia.
- 2. Galeri Kehormatan (Gallery of Honour) museum, dimana lukisan-lukisan karya para pelukis besar di ditampilkan, termasuk Frans Hals, Jan Steen, Vermeer dan Rembrandt. Bahkan jika Anda hanya memiliki sedikit waktu luang untuk berkunjung, museum ini adalah tempat dimana Anda dapat melihat karya seni terbaik dari Zaman Keemasan, di satu tempat.
- 3. Mempelajari kehidupan Zaman Keemasan, dengan menjelajahi rumah boneka berusia berabad-abad ini, yang tertua berasal dari tahun 1676.
- 4. Koleksi tembikar cantik dari Delft Blue, mulai dari satu set cangkir minum teh sampai vas bunga.
- 5. Cuypersbibliotheek, yang merupakan perpustakaan sejarah seni terbesar dan tertua di Belanda.Renovasi besar-besaran telah mengembalikan tempat ini pada kemegahan aslinya. (THIS IS INSANE!!!)
But, here are my personal favorites. Saat
memasuki ruangan pertama, lukisan pertama yang digantung di sebelah kiri
berjudul Summer Luxuriance oleh Jac van Looij. The first thing I said was,
“Memang beda rupanya.” Maksudnya, ada jutaan orang di dunia ini yang bisa
melukis dengan bagus, dan ada sekelompok kecil orang yang bisa melukis dengan
sangat bagus. Tapi, di samping lukisan ini ‘sangat bagus’, pengalaman melihat
langsung lukisan-lukisan yang memiliki nilai sejarah tersendiri rupanya memang
pengalaman spesial. Bisa melihat dari jarak hanya beberapa centimeter gradasi
warna dan pattern polesannya adalah sesuatu yang luar biasa. Kalau sudah
melihat langsung, pasti akan mengerti mengapa lukisan-lukisan ini memiliki
value tersendiri.
Dan Summer Luxuriance ini… sulit dijelaskan.
There’s something meaningful and special about it. You don’t merely see it, you also can feel it.
Nah, first of all, I want to tell you that
they have a little piece of Indoesia here and there, tapi nggak
disangka-sangka, rupanya di dekat ruangan pertama ini, ada ruangan yang khusus
didedikasikan untuk Indonesia. Ruangan ini berisi lukisan-lukisan tentang
Indonesia (places, people, traditions), ada miniature pasar tradisional di
Jawa, ada batu berlian yang berasal dari Kalimantan dan dulunya dipakai oleh
seorang Sultan. Ada juga beberapa senjata tradisional dan sculptures. Tapi
lukisan yang (personally, I think) sangat berkesan adalah yang berjudul The
Arrest of Pangeran Diponegoro.
The Arrest of Pangeran Diponegoro |
Kalau melihat lukisan in dari dekat, pasti
bisa dengn jelas melihat wajah Pangeran Diponegoro. Dan bukan hanya wajahnya,
tapi ekspresi marah, kecewa, dan dikhianati tergambar jelas di lukisan ini.
Also, ada lukisan yang menggambarkan seorang
petinggi Belanda dan Mangkunegoro sedang mengendarai kereta kuda kesultanan.
Dan ada sebuah scenery painting. Dari judulnya, kita bisa tahu bahwa itu adalah
pemandangan dari Rajapolah. Ingat sesuatu tentang Postaal Weg, salah satu
proyek paling besar dari Daendels? That’s it. That’s the paiting of Postaal
Weg.
Tapi yang (once again, I think) sangat
intriguing dari lukisan ini selain lukisannya adalah penjelasan mengenai
lukisan ini. Dijelaskan secara singkat bahwa Postaal Weg adalah salah satu
proyek Daendels yang paling prestigious. But it also wrote the fact that the
project had caused a vast amount of death of the workers. And I smiled a little
when I read the last line; “but it (the
deaths) is clearly not depicted here, on this romanticized painting.”
Okay, moving on. Lukisan berikutnya adalah
lukisan yang menggambarkan Pharaoh dan istrinya yang sedang meratapi kematian
putra sulung merea akibat 10 tulah. The pharaoh sits stiffly on what I suppose
is his throne, with his son on his lap, his eyes are teary, while his wife
buried her face on her dead son’s torso. Dan kalau membaca penjelasan tentang
lukisan ini, you’ll notice that on the right upper corner of the painting,
there’s this silhouette of 2 men. They’re Moses and Aaron. How intriguing is
that?
Salome |
Well, selain beberapa lukisan di atas,
sisanya adalah karya-karya yang sudah disebutkan di top-list nya. Ceramic
collections nya memang sangat cantik, jadi berkunjunglah kalau sempat.
Akhirnya setelah capek dan lapar (padahal
belum puas keliling), kami keluar mengambil barang yang dititipkan sebelum
masuk tadi, dan mulai membuka logistik untuk menggajal perut. Hehe. Untung Mami
sempat bawa telur, roti, keju, dan beberapa slice daging ham. Kemudian kami
memanfaatkan wifi yang tersedia untuk googling tentang Thai Restaurant di
Amsterdam (because a bowl of hot tom yam would be sooo nice in the cold
weather). Memang sih restoran yang keluar ada banyak, tapi mayoritas
restoran-restoran Thailand itu baru buka sekitar jam 4 atau jam 6 sore, padahal
saat itu masih jam 1 siang.
Untungnya, akhinrya kami berhasil menemukan
satu Thai Restaurant yang buka sepanjang hari. Jasmine Thai Restaurant, namanya,
ada di jalan yang bernama Zeedijk. Akhirnya kami naik tram Centraal-bound,
kemudian turun di Dam Station. Blessed Dutch’s generosity on wifi, kalau nggak
ada bantuan wifi di tengah kota, pasti akan agak sulit untuk menemukan restoran
ini. Dari Dam Station, kami menyebrangi jalan dan berjalan ke arah main canal
lagi. Setelah berjalan dari alley ke alley dan melewati 2 jembatan, kami
akhirnya sampai di Zeedijk. Zeedijk terlihat agak seperti China Town karena ada
klenteng di gang ini dan restoran-restoran yang berjejer di sepanjang jalan ini
adalah Non-Dutch’s restaurants.
Jasmine letaknya nggak terlalu jauh dari
klenteng, jadi kami masuk dan langsung pesan makanan. It’s a mid-range price
restaurant dengan masakan Thailand yang masih terasa asli dan enak. The service
was also very nice.
Well, setelah makan, kami hanya
berjalan-jalan lagi seperti biasa, menyempatkan diri beli postcards dan
international stamps. Dan nggak lama kemudian langit mulai menggelap dengan
cepat. So we went back to the hotel to pack things up.
20th December
Basically hari ini kami habiskan di kereta
menuju ke Leipzig, Jerman.
Kami berangkat dari hotel sekitar pukul
setengah 8 pagi. And to our surprise, kereta pertama yang menuju ke Centraal
dari Sloterdijkj adalah pukul 7:56 am. Jadilah kami berdiri di pinggir rel,
dengan agak kedinginan, menunggu keretanya datang. Dan cita-cita kami untuk
bisa naik kereta yang jam 8 pagi (because it’s ICE) gagal.
Kami sampai di Centraal sekitar jam 8:05 dan
langsung menuju ke ticket office untuk validasi tiket Eurail yang akan kami
gunakan untuk berpindah-pindah kota (dan negara) selama perjalanan ini.
Karena sudah nggak mungkin naik kereta yang
jam 8, kami memutuskan untuk naik kerete berikutnya yang berangkat pukul 09:01
am. Perjalanan ke Leipzig memakan waktu sekitar 7 jam dengan layover di
Hannover Station.
Kami sampai di Leipzig sekitar pukul setengah
5 sore. The Hauptbahnhof (main station) was very beautiful with the Christmas
ornaments dan lagu-lagu Natal di mana-mana.
Me and my brother were sent to buy the tram
tickets. Kami harus putar-putar di 2 lantai dan bertanya ke 2 orang ibu-ibu
super jutek yang bertugas di information center (and they don’t even speak
English, for cheese’s sake!) sebelum akhirnya kami berhasil menemukan machine
ticket. Tapi karena bingung dengan metode pembelian tiketnya, akhirnya kami ke
travel center office, untuk jaga-jaga agar tidak salah beli tiket.
Setelah sukses melakukan tugas, kami akhirnya
makan malam di salah satu Asian Restaurant yang ada di mall satu lantai di
bawah stasiun. Really good food for very reasonable price!
Setelah itu kami naik tram menuju ke
apartment yang telah kami booking untuk stay di Lepzig. Tram yang kami naiki
adalah tram nomor 4 yang mengarah ke Stotteritz, dan kami turun di Ostrasse
Stasion.
21st December
Hari ini adalah hari pertama dan satu-satunya
hari di mana kami bisa explore Leipzig sebelum cabut ke Dresden. Jadi setelah
kami sarapan dan bersiap-siap, kami kembali naik tram nomor 4 ke arah Hbf
(Hauptbahnhof) untuk mencari informasi mengenai bus yang berangkat menuju
Dresden. Dari beberapa searching yang kami cari, kami sudah menetapkan bahwa
karena jarak yang tidak terlalu jauh, kami akan naik bus saja ke Dresden
dibanding harus menggunakan Eurail Pass kami. Bus yang kami cari adalah
FlixBus.
Tapi begitu sampai di travel center di Hbf,
kami harus mengantri dan menunggu 23 orang di depan kami sebelum bisa membeli
tiket (padahal belum tentu juga bisa beli tiket di sini). Jadi kami
menggeleng-gelengkan kepala saja dan keluar dari Hbf. Daripada membuang waktu,
kami memutuskan untuk mengunjungi Evangelisch-reformierte Kirche. Letak gereja
ini tidak jauh dari Hbf, akan kelihatan kalau berdiri di bagian depan Hbf dan
melihat ke sebelah kanan. Jadi kami tentunya memutuskan untuk berjalan kaki
saja ke sana Setelah sampai di bagian depan gereja, rupanya ada 2 orang yang
sedang berusaha memindahkan pohon Natal dari truk ke dalam gereja. Dan setelah
bertanya, rupanya kami tidak diizinkan untuk masuk ke dalam gereja (I had no idea
whether it’s due to the Christmas tree thing or if it really was prohibited for
tourist on a daily basis).
Jadi kami hanya foto-foto saja di bagian
depan gerejanya dan memutuskan untuk berjalan kaki ke halte FlixBus yang kami
lihat saat dalam perjalanan menuju Hbf pertama kali tadi pagi. Nah, di tempat
ini ada seorang perempuan yang memakai jaket seragam FlixBus. Awalnya agak ragu
apakah perempuan ini memang petugas FlixBus atau kebetulan punya jaketnya saja,
tapi daripada lama, kami beranikan diri saja bertanya. Untungnya, kam tidak
salah orang, dan dia langsung memberi petunjuk ke sebuah kantor agen perjalanan
di mana kami bisa membeli tiket FlixBus menuju Dresden.
Karena kantornya dekat, kami langsung menuju
ke kantor tersebut supaya merasa aman setelah tahu bahwa kami punya tiket untuk
besok. Long story short, petugas di
travel agency ini (who looks a lot like Jeremy Davis!) memberitahu kami bahwa
kalau kami naik kereta lokal, harga tiketnya lebih murah 5.50 euro dibanding
kalau kami naik bus. Jadi tentu saja kami memilih untuk pergi naik kereta. (Oh,
also there’s an extra 10 euro we had to pay for the travel agency fee).
Setelah misi utama di hari itu dilengkapi,
kami jadi lebih tenang. Karena dingin, kami jadi cepat sekali lapar (alasan aja
:p). Jadilah kami mampir ke McD untuk menghangatkan diri dan makan apple pie.
Woohoo!
Johann Sebastian Bach |
So after that, we got back to our best habit,
which is fooling around the Christmas Market dan jajan-jajan makanan. Hehe.
Finally I was reunited with the mandeln peanuts aka the best peanuts in the
entire universe aka the love of my life. <3
Setelah jam 5 sore, kami akhirnya naik tram
kembali ke Hbf dengan cerita bahwa tadi pagi Mami nggak sengaja merusak
spatulanya Mr. Ho (the apartment’s owner). Hm. Jadilah kami harus mencari
replacement untuk spatulanya, of course. Walau gagal menemukan spatula yang
persis, kami berhasil ketemu yang mirip di salah satu supermarket di Hbf. At
least niat ganti, kan? Hehe. (Padahal emang wajib).
Then we called it a day and went back home.
22nd December
Pagi ini kami naik kereta pukul 11 pagi dari
Leipzig Hbf menuju Dresden Hbf. Perjalanan ke Dresden tidak memakan waktu
sebanyak dari Amsterdam ke Leipzig, hanya sekitar 2 jam perjalanan dengan
kereta lokal.
Sekitar siang hari, kami sudah sampai di
Dresden Hbf. Kami membeli tiket public transportation setempat dan mengikuti
arahan dari apartment renter kami, kami mencari tram yang menuju ke Alaunplatz.
Anehnya, sampai pada tujuan terakhir dari tram yang kami tumpangi, kok tidak
ada stop yang bernama Alaunplatz.
Rupanya kami kelewatan, mungkin tidak melihat
pengumuman stop-nya dan tidak memencet stop button sehingga tram berjalan terus
saja tanpa berhenti. Untuk mencari apartment yang kami sewa juga memakan waktu
yang cukup banyak. Apartment kami terletak di Fuhrlingerstrasse, dan rupanya
kami baru tahu bahwa jaraknya cukup jauh dan terpencil dari stasiun Alaunplatz.
Ketika kami akhirnya berhasil menemukan
apartment-nya dan memasukkan barang-barang kami, jam sudah menunjukkan pukul
setengah 4 sore. Setelah makan sebentar di apartment, kami segera keluar lagi.
Sama seperti di Leipzig, kami hanya akan menghabiskan 2 malam di Dresden, maka
dari itu kami nggak mau rugi dengan hanya berdiam diri di apartment walaupun
memang agak capek.
Jadi kami naik tram kembali ke Altmarkt untuk
melihat Christmas Market-nya Dresden. Main gate Christmas market langsung ada
di hadapan kami ketika kami turun dari tram. Dresden’s Christmas market was
even more beautiful than Leipzig’s. Kami disambut dengan patung Nutcracker
Prince super besar di depan gate-nya, kemudian ada jembatan buatan, ada pohon
natal yang terang dan besar sekali di tengah-tengah market, dan ada ferris
wheel yang sangat eye-catching. Pokoknya, memang orang Jerman nggak main-main
deh kalau bikin Christmas market. It’s part of the Germans’ tradition, so they
take it very seriously.
Dresdner's Xmas Market |
Nah, satu-satunya masalah adalah Christmas
market ini super duper crowded. Like, SUPER crowded. Mau jalan dengan bebas
jadi susah karena kiri-kanan-depan-belakang sudah didesak orang lain. Karena
pusing dengan banyaknya orang, kami memutuskan untuk keluar dari tengah-tengah
keramaian dan menyingkir saja. Tapi untungnya kami sempat mencoba salah satu
makanan yang hanya dijual saat Christmas, yaitu Lángos.
Originally, Lángos ini adalah fried bread yang berasal dari
Hungary, hanya terbuat dari tepung, ragi, garam, dan air. Lángos ini harus langsung dimakan begitu baru
selesai digoreng, supaya masih fresh dan panas. Biasanya dimakan dengan sour
cream dan grated cheese di atasnya, bisa juga dengan ham, susages, atau kadang
hanya diberi garlic butter di atasnya (optional). Enak sekali! Rotinya tidak
berminyak walaupun baru digoreng, dan sour cream serta cheese-nya juga pas.
Nah, akhirnya setelah sempat
mencoba Lángos, barulah kami menyingkir ke tempat yang paling aman dan hangat
untuk berlindung, yaitu mall. Hehe. Karena Altmarkt ini merupakan salah satu
bagian dari pusat kotanya Dresden, jadi ada salah satu mall (or mungkin
satu-satunya) yang bernama Altmarkt Gallerie di sini.
Kami berencana untuk sekaligus
mencari makan malam yang ‘bener’ di mall ini, tapi setelah putar-putar,
kebanyakan yang tersedia hanya fast food restaurant dan kami sama sekali tidak berminat untuk makan di
fast food restaurant. Tapi akhirnya kami menemukan sebuah restoran Asia di
belakang mall. Anh-Tu, nama restorannya.
Jadi lah kami order tom yam
dan nasi lagi. Well, untuk yang ini, I wouldn’t recommend this one. The tom yam
smelt like tom yam but tasted like ‘eh’. Yah, paling enggak kami menemukan
tempat untuk makan malam ini sebelum kembali ke apartment.
Yep, saatnya
keliling-keliling Dresden hari ini. Kami berangkat pukul 9.30 pagi dengan
tujuan pertama adalah Theaterplatz. Theaterplatz adalah tempat di mana hampir
semua main attraction dan old buildings di Dresden berkumpul. Tempat ini ada di
sekitar Zwinger, opera building, gereja-gereja tua, museum-museum, dan masih
banyak lagi.
Nah, berbekal hasil
searching di internet, berangkatlah kami. Kami naik tram nomor 13 (Prohlis),
turun di Bautznerstrasse/Rothenburgerstrasse. Kemudian ganti tram nomor 6
(Wolfnitz), turun di Neustadt Bahnhof. Kemudian setelah meminta petunjuk
singkat dari petugas bahnhof, kami jalan kaki ke Anton/Leipzigerstrasse
station, kemudian –seharusnya- kami naik tram nomor 4.
Yang terjadi setelah kami
sampai di Neustadt Bahnhof dan harus jalan kaki sekitar 7 menit ke
Anton/Leipzigerstrasse station adalah….. nggak ada tram nomor 4 di stasiun ini.
Untungnya, setelah bertanya
kami bertemu dengan orang lokal yang dengan baik hati mau mencarikan tram untuk
kami di jadwal keretanya (yang full berbahasa Jerman), dan kami diberitahu
untuk naik tram nomor 11 (Zschertnitz) dan turun di Postplatz, akan cukup dekat
untuk jalan kaki menuju ke Theaterplatz.
Dan rupanya, stasiun
Postplatz station ini adanya di belakang Altmarkt Gallerie. Yaelah, tau gitu
kan naik tram yang ke Altmarkt aja ya, nggak pake ribet naik-turun dan
kebingungan. Tapi yaudahlah, yang penting sudah sampai juga.
Jadi akhirnya kami masuk ke
mall dulu untuk ke toilet dan tadinya sih mau cari tempat makan juga, tapi
tetep nggak ada yang pas di hati. Membatalkan rencana makan, kami langsung
berjalan ke daerah Zwinger yang ada di sebelah Altmarkt Gallerie.
The Zwinger (Dresdner
Zwinger) adalah sebuah istana di Dreden, eastern Germany, yang dibangun dengan
gaya Rococo dan didesain oleh court architect, Matthäus Daniel
Pöppelmann. It served as the orangery,
exhibition gallery, and festival arena of the Dresden Court.
Lokasi Zwinger ini dulunya
merupakan salah satu bagian dari benteng kota Dresden. Nama Zwinger berasal
dari salah satu kata dalam bahasa Jerman yang berarti an enclosed killing
ground in front of a castle or city gate (gimana deh tuh bahasa Indonesia-nya).
Nah, kalau sekarang, Zwinger
menjadi semacam kompleks yang berisi museum-museum, antara lain Gemäldegalerie Alte Meister
(Old Masters Picture Gallery), the Dresden Porcelain Collection (Porzellansammlung)
dan the Mathematisch-Physikalischer Salon
(Royal Cabinet of Mathematical and Physical Instruments).
Karena hari belum terlalu
siang, jadi belum terlalu banyak grup-grup tour yang berkeliaran di sini. We
took the advantage to take some nice pictures, of course.
Kalau sudah ada di daerah
ini, sebetulnya nggak perlu khawatir untuk harus pergi ke mana-mana lagi, sih.
Karena ini benar-benar pusat kotanya Dresden. Seperti yang sudah disebutkan
tadi, di sini ada banyak old churches yang bisa dikunjungi dan naik ke
tower-nya untuk melihat pemandangan kota Dresden dari atas, kemudian ada
square-square besar dan penting, ada food court (or something like that), ini
juga tempat di mana Neumarkt berada, Christmas market, the Catholic Church of
the Royal Court, Semper Opera House, museums, patung-patung dan monumen-monumen
penting tersebar di sini, juga mural Procession of the Princes yang sangat
terkenal. Kurang apa lagi, coba? Almost everything you want (and need) to see
in Dresden. Habiskan seharian lah untuk putar-putar di sini. Rasanya
benar-benar seperti kembali ke jaman dahulu, sampai lupa ini sudah abad ke-21.
Nah, ceritanya nih, kami
ingin masuk ke dalam Gemäldegalerie Alte Meister
museum. Tapi karena semua orang yang berjalan-jalan di sekitar museum ini pakai
tour group, jadilah kami berasumsi bahwa we should be with one, too. Selain itu, pintu gerbang museumnya tuh tertutup dan para
tour group yang mau masuk ke museum ini mengantri di depan pintu.
Jadi, kami mencari informasi lah tentang tour group. Ada
beberapa poster dan informasi mengenai jam tour di depan Semper Opera House.
Rupanya, Dresdner Altsadt tour yang berbahasa Inggris baru akan mulai jam 3
sore nanti. Tour ini diberi harga 10 euro untuk adult, 6 euro untuk kategori
reduced, 25 euro untuk family. Kalau di sini ‘family’ berarti 2 adult dan
maksimal 5 orang anak yang berusia di bawah 18 tahun.
Karena saat itu masih jam 12 siang, jadi kami memutuskan
untuk mencari makan siang dulu sekalian menunggu tour nya mulai. Oh, kalau mau
ikut tour nya ya harus siap-siap aja di depan Semper Opera House dan tunggu
loket tiketnya dibuka.
Jadi akhirnya kami jalan-jalan dulu, sempat nonton
‘pengamen-pengamen’ super keren dengan grand piano dan saxophone. Dan sambil
jalan-jalan akhirnya kami sampai ke sebuah corner yang isinya restaurant semua.
Eh, memang dasar jodoh, ada Samui Thai Restaurant di depan mata. Tanpa pikir 2
kali, langsung saja masuk ke restaurant-nya. Yang ini jelas jauh lebih baik
rasanya daripada Anh Tu kemarin, dan waitress-nya juga fasih berbahasa Inggris.
It was already 2 past something when we finally finished
our lunch. Kami bertanya ke waitress-nya tentang lokasi Church of the Holy Cross yang ingin
didatangi, dan rupanya gereja itu hanya berjarak 1 menit jalan kaki dari Samui.
Alasan ingin mengunjungi gereja ini adalah karena menurut review yang kami baca di
internet, kalau ingin melihat pemandangan Dresden dari tower gereja, lebih baik
pergi ke Church of the Holy Cross daripada Frauenkirche yang sebenarnya lebih terkenal. Kenapa? Karena
tiket masuknya jauh lebih murah sementara pemandangan yang didapatkan sama aja
dibanding kalau kita naik ke tower gereja Frauenkirche.
Well, akhirnya kami masuk ke gereja. The stairs were quite climb-able (tetep aja ada
banyak dan semakin ke atas semakin menyempit, pastinya) walaupun harus berhenti
sekitar 3 kali untuk ambil napas dulu. But the view from up above was
magnificent. We were really on top of the city dan bisa dapet 360 degree view
karena bagian puncak tower ini bulat. Agak tricky aja untuk ambil foto karena
anginnya kencang sekali dan bikin rambut terus-terusan berantakan. Hahaha. Kita
stay di atas sekitar 15 menit dan kemudian turun lagi.
Begitu turun, Mami menawarkan lagi untuk mengejar tour
yang jam 3, walaupun it’s a slim chance to get there on time. Karena sudah tau
kemungkinan besar akan terlambat juga, akhirnya kami menyempatkan diri juga
untuk mampir ke Frauenkirche sebelum kembali ke museum, karena jalannya pun satu
arah.
Frauenkirche was enormous dan tempat duduknya terdiri dari 5
lantai, jadi terlihat hampir persis seperti sebuah gedung opera. Lukisan di langit-langit dan kubahnya juga luar biasa
indah dan berwarna.
Kami nggak menghabiskan banyak waktu di dalam gereja ini.
Setelah sekitar 10 menit di dalam, kami keluar dan menyempatkan diri untuk
menonton latihan sebuah konser (semacam Christmas Carol) besar yang akan
diadakan di depan Frauenkirche ini.
Seputar Theaterplatz |
Tau gitu masuk aja dari tadi, ya. Dan rupanya memang
pintu yang kami lihat bukanlah pintu yang salah. Memang harus buka sendiri aja
pintunya kalau mau masuk. Lho, kok kayak rumah sendiri ya?
Entrance fee-nya adalah 10 euro per orang dan long story
short, I have to say that I was a bit disappointed. Maksudnya, kalau sudah
pernah ke Rijksmuseum, ada kemungkinan sekitar 75% akan kecewa kalau berkunjung
ke museum ini. Pencahayaan, penataan, dan pengkategorian ruangannya tidak
menarik. Terutama permasalahan ada di pencahayaannya, to be honest. Karena Gemäldegalerie Alte Meister
ini sebenarnya juga memuat beberapa lukisan yang sangat terkenal di dunia, saya
secara personal merasa bahwa pencahayaannya harus lebih baik lagi.
So…. pay a visit to this museum if you’re curious about
it, but I don’t recommend it.
Karena ukuran museumnya juga lebih kecil dari Rijksmuseum
dan tidak begitu banyak hal menarik perhatian, kami sudah keluar 45 menit
kemudian. Hari sudah mulai gelap dan kamipun memutuskan untuk kembali ke main
square dan makan pizza di salah satu Piazza Nova sambil mendengarkan Christmas
Carol yang sedang ditampilkan.
The magical Theaterplatz |
Bratapfel |
Rasanya? IH, jangan ditanya enaknya. Apelnya sudah lembut
karena direbus, tapi tidak lantas menjadi lembek saat digigit. Berbagai macam
spices yang dimasukkan juga terasa dan porsinya pas, tidak berlebihan. Agak
sedikit mahal memang harga bratapel biasanya sekitar 5 atau 6 euro, tapi
benar-benar worth the delicacy!
24th
December
So, here’s one of the days I’ve been waiting for! Kami
akan pindah negara ke Czech Republic dan mengunjungi Praha. Selalu penasaran
dengan Praha yang katanya unik dan berbeda dari kota-kota lainnya di Eropa.
Balsamic chicken with risotto on the train! |
Karena menghabiskan siang hari di kereta, maka kami
memutuskan untuk makan siang di restoran kereta saja dibanding harus menunggu
sampai ke Praha nanti. Makanan yang ada di restoran, surprisingly, enak.
Menunya juga bervariasi. It was quite pricey, tapi tetap bisa dikategorikan
mid-range price lah, terutama di Eropa.
Kami sampai di stasiun Praha sekitar jam 2 siang. Hal
pertama yang kami lakukan adalah mencari ATM untuk tarik tunai Czech Crown
(mata uang yang digunakan di Czech adalah Czech Crown, bukan Euro). Setelah
itu, seperti biasa kami mencari informasi mengenai tiket kereta dan bertanya
tentang cara mencapai stasiun yang kami tuju, IP Pavlova.
Berbeda dengan negara-negara lainnya yang memiliki sistem
metro yang agak ribet dan banyak cabangnya, Prague hanya memiliki 3 line metro
(A, B, dan C), jadi sangat mudah untuk menentukan kereta mana atau stasiun mana
yang harus dipilih.
Soal tiket, kami membeli tiket public transportation yang
berlaku selama 72 jam (3 hari) dengan harga 310 CZK untuk dewasa dan harus
membeli 3 tiket dengan durasi 24 jam untuk Tristan dengan harga 55 CZK/ticket
karena tidak ada tiket 72 jam untuk anak-anak.
Kami berhasil sampai di IP Pavlova dengan mudah dan tidak
kesulitan mencari apartment kami walaupun jaraknya lumayan jauh (sekitar 600 m)
dari stasiun. Kami disambut oleh Mrs. Tatiana, ibu dari penyewa apartment kami,
Yana.
Baru juga sampai, kami diberi kabar gembira bahwa lift
apartment sedang rusak sehingga kami mau tidak mau harus naik tangga sambil
menggotong 2 koper super besar dan 2 koper kecil. Lebih menggembirakannya lagi,
kami harus naik 5 lantai. Asik, kan?
Well, it was quite a struggle but of course we made it!
Setelah perjuangan yang lumayan bikin ngos-ngosan, Mrs.
Tatiana memberikan kami beberapa informasi tentang transportasi, supermarket
terdekat, dan lain-lain, setelah itu pamit.
Begitu Mrs. Tatiana pergi, kami juga segera memakai jaket
kami lagi dan keluar dengan misi utama untuk mencari supermarket dan membeli
keperluan-keperluan penting karena pada umumnya, semua toko dan restoran (and
whatever) akan tutup pada malam natal dan hari natal.
Nama supermarket yang diberikan oleh Mrs. Tatiana adalah
Billa, tapi setelah berjalan mengikuti direction yang disampaikan, kami tidak
melihat ada tanda-tanda kehadiran Billa di sekitar kami. But, we did fid one
shop which sells quite lots of daily products (semacam toko Asia). Dan setelah
bertanya pada kasirnya, kami diberitahu bahwa toko ini buka 24/7, bahkan besok,
jadi kami agak tenang nggak akan kehabisan makanan dan kelaparan di apartment.
Hehe. #hiperbola
Setelah itu kami kembali ke metro station untuk pergi ke
pusat kota dan mencari Tyn Church sekaligus mencari informasi tentang misa
Natal besok pagi. Tyn Church memang agak sulit ditemukan di peta kota, tapi
kalau melihat dengan teliti, pasti akan menemukan Tynska neighborhood. There’s
where the church is located.
Dan setelah bertanya pada petugas di stasiun, kami
diberitahu untuk turun di stasiun Staromestska, stasiun yang terdekat dengan
Old Town (Tyn Church lokasinya di tengah Old Town).
Prague and all its beauty |
Begitu keluar dari stasiun, sungai ada di sebelah kiri
kami, dan menurut peta kota pegangan saya, untuk mencapai Tynska, harus
berjalan berlawanan arah dengan arah yang menuju ke sungai. Kalau sudah sekali
berjalan ke sana, pasti akan ingat terus dan tidak sulit untuk menemukan Tyn
Church karena kalau sudah berjalan maju dari stasiun, tower gereja akan
terlihat. Apalagi waktu itu bel gereja berdentang terus-menerus dan juga ada
keramaian Christmas market di depan gereja. Pokoknya, it’s not hard to locate.
Kami sih inginnya masuk ke dalam gereja, tapi rupanya
pintu gereja sudah ditutup (itupun kami harus mengelilingi gerejanya untuk
mencari pintu masuknya). Jadi kami hanya memotret mini poster tentang jadwal
misa di papan pengumuman. Tapi, senang sekali karena malam itu bisa melihat
secara langsung Astrological Clock yang sangat terkenal berdentang dan
boneka-bonekanya yang berputar-putar di dalam tower jamnya.
Well, setelah itu kami akhirnya jajan makanan lagi di
Christmas market. Hehe. And I finally got to taste the roti gulung setelah
antrian yang cukup panjang. Tadinya nggak tahu apa sih nama rotinya (dijual
juga di Christmas market-nya Jerman), dan rupanya namanya adalah TrdelnĂk atau biasanya ditulis TRDLNIK di
plang yang menjual atau TRDLO (slang dari TRDLNIK, yang arti sebenarnya adalah clodpole,
or clodpoll or goofy). Aduh, it was the heavenliest roti on
earth!
TRDLNIK |
TrdelnĂk terbuat dari adonan
roti yang digulung dengan sebuah stick khusus, dipanggang, kemudian disiram
dengan gula, cinnamon, atau walnut mix.
Nah, selain nyobain TrdelnĂk, Daddy juga membeli hot apple cider yang terbuat dari fermented
apple juice. Minuman ini juga menjadi salah satu Christmas treat terbaik di
Czech. Rasanya manis, agak sedikit asam, dan yang penting bisa menghangatkan
badan di cuaca yang dingin.
25th December
Pagi ini, kami akhirnya
memutuskan untuk misa Natal di St. Vitus Cathedral yang sangat terkenal di
Praha. Jadi dari IP Pavlova, kami naik metro ke Malostranska station dan naik
tram nomor 22. The tram was packed up with tourists dan hampir semuanya turun bersamaan
di Prasky Hard station. Kami akhirnya mengikuti kerumunan orang yang
menyebrangi jalan saja karena percaya bahwa pasti sebagian besar juga menuju ke
St. Vitus.
Kami melewati 2 terowongan
pendek dan harus menyebrangi sebuah square dulu sebelum bisa mencapai St. Vitus
Cathedral yang sangat tinggi dan megah dengan ukiran-ukirannya.
Misa Natal mulai pukul 10
pagi dan saat itu sudah jam 10 lewat. Jadi Mami bertanya pada petugas yang
menjaga dan mendapat keterangan bahwa akan ada holy mass lagi jam 12 siang
nanti. So we said, “We’re gonna come back later.”.
Kami akhirnya berjalan-jalan
mengitari gereja dan mengunjungi Christmas market yang ada di belakang gereja.
Tadinya kami ingin mencari café sekadar untuk ngopi-ngopi dan menghangatkan
diri sambil menunggu misa berikutnya, tapi akhirnya kami memutuskan untuk jajan
makanan saja di Christmas market dan duduk di atas tembok pembatas (preman!).
Haha.
I bought another TrdelnĂk
(of course, dude), Tristan beli hot dog, sementara Mami dan Daddy mencoba jacket
potato yang dibumbui (dan ini enak, lho!). Kami juga mencoba hot chocolate. Hot
chocolate di sini gelasnya sekecil gelas espresso, dan bisa diibaratkan sebagai
espresso juga. Chocolate yang dipakai di sini benar-benar pure chocolate. Jadi
memang porsi hot chocolate-nya kecil sekali dan dalam beberapa menit bisa
langsung beku lagi menjadi chocolate.
We enjoyed our little picnic
dan sekitar hampir jam setengah 12, kami memutuskan kembali ke pintu depan
gereja untuk berjaga-jaga saja. Kami berdiri di depan pintu masuk dan menunggu.
Singkat cerita, setelah bertanya ulang, rupanya petugas yang kami tanyai tadi
salah mengerti pertanyaan kami dan baru kali ini dia mejelaskan bahwa misa jam
10 tadi adalah misa terakhir hari itu. Yang dia maksud tadi adalah gereja baru
akan buka untuk turis yang mau berkunjung pada pukul 12 siang.
Kami yang panikpun bertanya
pada petugas lain tentang holy mass yang mungkin masih ada di gereja lain. Kami
mendapat informasi bahwa kemungkinan besar masih ada misa di Jesus of Prague
Church dan kami diarahkan untuk jalan kaki saja. Tapi, tanpa petunjuk arah dan
tanpa google map (karena tidak ada internet), kami cukup kesulitan untuk
mencari gerejanya.
Untung pada akhirnya kami
berhasil menemukan gerejanya setelah kami naik tram beberapa stasiun. Walau
cukup terlambat, akhirnya kami misa Natal di Jesus of Prague Church. Setelah
misa Natal, kami kembali ke arah St. Vitus dan tadinya berencana untuk
mengunjungi castle-nya. Tapi karena sudah terlalu sore, kami merasa tidak akan
ada cukup waktu untuk bisa mengelilingi castle sore ini.
Akhirnya kami pergi ke spot
di mana kami bisa melihat hampir keseluruhan kota Praha dari atas, tempatnya
ada di dekat St. Vitus (try to ask people there). Setelah itu kami berjalan
kaki menuruni tangga kembali menuju downtown dan mendapat kesempatan untuk
mengunjungi St. Nikolas Church sebentar.
Karena sudah kelaparan,
akhirnya kami makan (makan sore kayaknya ini mah) di restoran yang ada di depan
St. Nikolas Church. Selesai makan, lagi-lagi langit sudah gelap. Kami
sebenarnya sudah tidak ada rencana khusus lagi, hanya ingin berjalan-jalan di
sekitar old town saja. Tapi di tikungan, kami melihat plang iklan konser musik
klasik. Akhirnya kami memutuskan (impulsively) untuk mencoba menonton konser di
salah satu kota music di Eropa. Baguuuuussss sekali konsernya! Ini adalah
four-string concert, jadi ada 1 cello, 1 contra-bass, dan 2 violin.
Selesai menonton konser,
kami melanjutkan berjalan kaki menuju ke Charles Bridge yang rupanya tidak
terlalu jauh.
Charles
Bridge ini dulu disebut sebagai Stone Bridge (KamennĂ˝ most) atau Prague Bridge
(PraĹľskĂ˝ most), tapi diubah namanya menjadi Charles Bridge pada tahun 1870.
Charles Bridge adalah sebuah jembatan historikal dan sangat terkenal yang
menyebrangi Vltava River, sungai terpanjang di Czech Republic.
Jembatan
ini mulai dibangun pada tahun 1357 di bawah kepemimpinan King Charles IV dan
baru selesai dibangun pada awal abad ke-15. Panjang jembatan ini adalah 621
meter dengan lebar sekitar 10 meter, ditopang dengan 16 tiang. Jembatan ini dihiasi dengan continuous alley dari 30
patung (statues and statuaries) yang kebanyakan bergaya baroque dan gothic.
Patung-patung yang menghiasi jembatan ini dibangun pada tahun 1700 dan sekarang
semuanya sudah digantikan oleh replika.
Di jaman dahulu, tujuan
jembatan ini dibangun menyeberangi sungai Vltava (sampai tahun 1841) adalah
sebagai penghubung yang sangat penting antara Prague Castle, kota tua, dan
daerah sekitarnya. This “solid-land” connection made Prague important as a
trade route between Eastern and Western Europe.
Nah, karena jembatan ini penuh dengan histori
dan sangat indah (pemandangan dari jembatan ini juga sangat wow, lho), nggak
heran kalau banyaaaaakk sekali turis yang berkunjung ke sini setiap harinya.
Sekadar saran, kalau ingin menikmati jembatan ini sedikit dalam damai dan bisa
ambil foto yang decent tanpa harus terdesak-desak orang, lebih baik berkunjung
ke Charles Bridge saat sudah agak malam, saat di mana jumlah turisnya sudah
sangat menyusut.
Sekalian sambil jalan-jalan
ini juga kami sempat membeli beberapa souvenir keren dan postcard yang
lucu-lucu. Dan nggak disangka, akhirnya kami membeli tiket konser lagi untuk
besok malam. Hehe. Godaan memang banyak.
Setelah jalan-jalan, foto-foto
dan menyebrangi Charles Bridge sambil mengagumi patung-patung dan Prague’s city
light, akhirnya kami naik metro kembali ke IP Pavlova dari stasiun
Staromestska.
26th December
Nah, khusus untuk hari ini
kami berjalan terpisah. It’s a very exciting day for me because I finally got
to meet one of my good cyber friends! How cool is that?
Jadi pagi ini kami berangkat
sama-sama sekitar jam 9 pagi. Mami dan Daddy mau misa pagi dulu di St. Vitus
dan akan turun di Malostranska, sementara aku dan Tristan janjian dengan Kate
(yes, my cyber friend) di depan Tyn Church (Staromestska Station, 1 stasiun
sebelum Malostranska).
Nggak sulit untuk mengenali
Kate, bahkan dari jauh, yang duduk sendirian di bawah pohon natal super besar
di depan Tyn Church. Hehe. We said hi, we hugged, kemudian immediately cari
tempat ngopi. Karena tempat terdekat, ter-nggak-ribet, dan ter-pasti-ada-wifi
adalah Starbucks di situ, ke sana lah kami menuju.
Ngopi singkat sampai sekitar
jam 10, kemudian kami cabut jalan kaki ke Apple Museum. Yes, Apple di sini
adalah Apple-nya Steve Jobs. Konon katanya sih Apple Museum di Prague adalah
yang terbesar di dunia, tapi ini juga ukurannya kecil banget kok. Menarik sih,
isinya iPhone, iPod, Macbook, iMac, bahkan sampai se-mouse dan se-CPU jaman
dulu juga dipajang di sana. Agak aneh melihat Apple dengan tampilan yang masih
‘tebal’ dan ‘besar’ karena sekarang kan sangat terkenal karena praktis dan
tipisnya ya.
Shot ini diambil secara ngasal saking silaunya. Ini 'asal', lho. |
Kemarin sih memang enak pas perjalanan turun dari Prague Castle ke Charles Bridge, tapi rupanya kalau track-nya dibalik……. Hm. Lumayan membakar juga. Jalanan yang kemarin mudah dilalui karena turunan semua, sekarang jadi super berat karena tanjakannya yang terjal, belum lagi ratusan
anak tangga untuk sampai ke puncaknya.
Walau harus
berhenti-berhenti beberapa kali untuk ambil napas (dan Kate yang hanya menatap
dengan maklum. “Payah nih orang Indonesia gak bisa jalan jauh,” kayaknya sih
dia mikir dalam hati), tapi akhirnya kami berhasil sampai di atas tepat waktu.
Sesuai janji, kami bertemu
Mami dan Daddy di depan sumur yang ada di dekat St. Vitus’ treasure museum.
Setelah perkenalan dan ini itu, kami kembali ke Christmas market untuk nyemil-nyemil
cantik. Setelah diskusi singkat, akhirnya diputuskan kami berpisah lagi setelah
ini. Adiknya Daddy, Om Ronny, yang bekerja di Slovakia hari ini ada trip ke
Prague bersama teman-teman kantornya, jadi kemungkinan bisa sekaligus bertemu.
Untuk memastikan, Mami dan Daddy harus mencari wifi dulu agar bisa menghubungi
Om Ronny.
St. Vitus Cathedral |
Setelah berpisah lagi dengan
janji akan bertemu di bawah Astrological Clock sekitar jam 3 sore nanti,
rombongan yang bertiga ini ingin mengunjungi Prague Castle (karena Kate juga tidak
tinggal di Prague), tapi sayangnya English Tour untuk seputar castle baru akan
ada jam 2 sore nanti. Wassalam. Siapa yang mau menunggu 2 jam lebih?
Setelah berpikir keras,
akhirnya Kate bilang, “Let’s just go back downtown, have a stroll along the river
and I’ll show you some not-so-famous things that I find interesting”. Karena
memang sudah nggak ada ide, kami berdua hanya mengangguk dengan semangat.
Pokoknya jalan-jalan, deh!
Jadi kami turun tangga lagi
sampai ke Charles Bridge dan mengikuti arahan Kate keluar masuk alley, jalan di
pinggir sungai Kampa (sempat duduk-duduk dulu lho dan dengan dramatisnya
menikmati pemandangan), lewat taman-taman lokal, sampe keluar masuk alley yang
lain lagi. Belok-beloknya di mana sudah nggak inget deh. Pokoknya manut aja mau
diseret ke mana juga. Hehe.
Hal pertama yang kami lihat
adalah patung. Awalnya agak bingung, ini patung apa sih? Plus agak geli dan
serem juga.
Jadi, patung ini
surprisingly nggak memiliki nama sendiri. Tapi patung ini adalah salah satu
patung paling terkenal dari seorang seniman ternama di Czech, yang bernama
David Cerny. Well, let’s just call it Barcode Babies.
Kampa River |
Rupanya, Barcode Babies ini
ada di beberapa lokasi di Prague. Ada di Kampa Park (tempat di mana kita lihat
patung ini), ada di pintu masuk Kampa Museum, dan originally, ada pertama di
Zizkov TV Tower di Prague 3. Kalau sedang melihat pemandangan skyline Prague,
patung-patung bayi ini akan terlihat mencolok sedang dalam posisi memanjat TV
Tower tersebut, sebuah simbol yang berasal dari era komunis, unable to reach
adulthood, the babies are stifled.
John Lennon's Wall |
Nah, dari patung ini (nggak pengin foto sih di patung ini), kami lanjut berjalan keluar masuk alley lagi, dan nggak jauh dari Kampa Park ini ada John Lennon’s Wall. John Lennon’s Wall ini berupa sebuah tembok di salah satu lorong kota Prague yang dihiasi oleh mural tentang John Lennon. Some of his lyrics, his words of wisdom, his face, etc. Kata Kate, biasanya ada beberapa orang yang menyanyikan lagu-lagu John Lennon di sini, tapi berhubung ini masih sehari setelah Natal, kemungkinan para ‘pengamen’ nya juga masih sedang liburan.
Setelah lihat-lihat John
Lennon’s Wall, kami akhirnya baru merasa kecapekan. Nggak terasa, kalau
diingat-ingat jalan dari tadi siang sudah jauuuuh sekali. Plus belum makan
siang juga. Akhirnya kami kembali ke Old Town dan naik metro dari Staromestska
ke Museum. Turun di Museum, kami sudah kelaparan dan yang ada di depan mata
hanya McDonald’s. Yaudah, apa aja yang ada deh, yang penting bisa makan dulu.
Hehe.
Selesai makan, rupanya sudah
jam 3 kurang sedikit. Tanpa putar-putar di Museum, kami segera kembali ke
Staromestska dan menunggu di bawah Astrological Clock. Sebenarnya kami sudah
terlambat kurang lebih 15 menit, tapi begitu sampai di bawah Astrological Clock
kok belum ada tanda-tanda kehadiran Mami dan Daddy. Kami menunggu, menunggu,
menunggu sampai akhirnya jam 4. Belum muncul-muncul juga.
Akhirnya kami kembali ke
Starbucks dan baru mendapat wifi untuk sms Daddy. Cerita punya cerita, rupanya
Mami dan Daddy salah naik tram sehingga nyasar dan malah jadi jauh untuk pergi
ke Staromestska. Sekitar pukul setengah 5, akhirnya mereka datang menyusul kami
di Starbucks.
Mami pun mulai bercerita
bahwa tadi mereka berdua pergi mencari tiket bus untuk pergi ke ÄŚeskĂ˝
Krumlov besok, tapi rupanya kantor yang
menjual tiketnya tutup karena masih libur. Mau tidak mau, akhirnya kami harus
membeli tiket secara online. Untungnya ada Kate yang membawa laptop dan bisa
dengan mudah membantu kami untuk purchase tiket bus secara online.
Dari situ, karena Mami dan
Daddy kelaparan, akhirnya kami mampir ke sebuah restoran Italia sebelum
akhirnya janjian bertemu dengan Om Ronny sebentar di bawah Astrological Clock
(yet again).
Sisa malam kami habiskan
untuk menonton konser di St. Clementinum Church sebelum kembali ke apartment
kami karena udara yang semakin dingin.
27th December
Thanks to Kate, hari ini
kami berhasil berangkat ke kota tujuan kami berikutnya (walau masih agak berat
hati meninggalkan Praha), ÄŚeskĂ˝ Krumlov.
Kami berangkat ke stasiun bus di Andel pada pukul 10,
menunggu bus jam 11 berangkat. Perjalanannya tidak memakan waktu terlalu
banyak, hanya 2 setengah jam. Jalanan di Czech sangat mulus sehingga perjalanan
jadi tidak melelahkan. Pemandangan yang kami lalui mayoritas adalah padang
rumput yang cantik, atau beberapa kota kecil terkadang kami lewati.
Sekitar jam setengah 2 siang, kami sudah sampai di
stasiun bus yang kami tuju, yaitu Spicak Station. Walau agak kesulitan mencari
apartmentnya, tapi kami berhasil sampai di apartment dalam waktu yang tidak
terlalu lama, dan jarak dari Spicak Station ke apartment yang kami sewa juga
sangat dekat.
Senang sekali karena apartment kami letaknya sudah
persis di seberang tembok yang membentengi Old ÄŚeskĂ˝ Krumlov, tempat yang akan
kami explore selama 2 hari ke depan. Konon katanya tempat ini benar-benar masih
kental suasana abad pertengahannya, dan yang membuat ÄŚeskĂ˝ Krumlov semakin
spesial adalah ketiadaan brand-brand ternama di sini. Jadi, barang-barang yang
dijual di ÄŚeskĂ˝ Krumlov adalah 100% produk lokal. Jangan berangan-angan ada
McD, or Starbucks, or Louis Vuitton, dan lain-lain. Pokoknya strictly cuma
produk lokal!
Nah, begitu sampai di depan apartment, kami disambut
oleh Jan dan Luc, pemilik apartment. Kami diberi arahan tentang penggunaan ini
dan itu dan beberapa rekomendasi restoran. Setelah Jan dan Luc pergi, kami yang
sudah kelaparan akhirnya membuat makanan seadanya dulu sebelum pergi mencari
makan keluar, at least untuk mengganjal perut.
Selesai makan, ada sesuatu yang janggal terjadi. Jadi,
botol-botol minum seharusnya berada di backpack Daddy, tapi saat mau minum, kok
backpack Daddy nggak ada. Agak sedikit kaget dan panik, kami baru sadar
backpack Daddy tertinggal di bus tadi. Aduh, padahal isinya barang-barang
penting. Cash, credit card, passport, dan beberapa dokumen lain ada di backpack
itu.
Daddy segera menghubungi Jan dan Luc untuk minta
bantuan agar bisa berkomunikasi dengan pihak bus. Dengan sigapnya, Jan dan Luc
langsung menjemput Mami dan Daddy dengan mobil supaya bisa segera pergi ke
kantor agency bus terdekat.
Setelah beberapa diskusi dan
koordinasi, akhirnya kami diberi kabar bahwa backpack Daddy akan bisa diambil
sore nanti sekitar jam 6 di Spicak Station. Kami haya harus menunggu di station
dan bertanya pada sopir bus yang berhenti di station tersebut sekitar waktu
yang ditentukan.
Bersyukur sekali rasanya
setelah sekitar setengah jam menunggu di station (walau agak kedinginan juga),
tapi backpack berhasil sampai kembali dengan selamat dan semua dokumen penting
lengkap dan tidak tersentuh.
Tembok benteng di malam hari |
Karena sudah malam dan tidak mau pergi terlalu jauh,
akhirnya kami makan di restoran pertama yang kami lihat. European food yang
enak dengan harga yang reasonable.
Kami hanya stay 2 malam di ÄŚeskĂ˝ Krumlov, maka dari
itu, kami harus menggunakan hari ini sebaik-baiknya.
Jadi, ÄŚeskĂ˝ Krumlov ini adalah sebuah kota kecil di
South Bohemian Region dari Czech Republic, tempat di mana ÄŚeskĂ˝ Krumlov Castle
yang terkenal berada. Old ÄŚeskĂ˝ Krumlov telah dideklarasikan sebagai salah satu
UNESCO World Heritage Site dan diberi status ini bersamaan dengan distrik
Prague Castle.
Biasanya, (terutama para group tour) nggak ada yang
akan menginap untuk menikmati kota ini. Jadi hanya mampir ke ÄŚeskĂ˝ Krumlov
karena memang kota ini sangat kecil. Tapi, kami nggak mau rugi dong. Masa udah
jauh-jauh ke Czech terus cuma sekadar mampir di kota tua ini. Karena itu kami
mengambil keputusan untuk menginap di sini.
Nah, karena kami ingin menikmati kota kecil super
cantik ini sebelum akan ada gerombolan turis dan tour group di mana-mana,
begitu matahari mulai naik sekitar jam 9 pagi, kami sudah menyeberangi
jembatan.
Kami sengaja tidak sarapan di apartment hari ini
supaya bisa berangkat lebih pagi. Tapi tetap saja tujuan pertama kami di old
town adalah mencari tempat sarapan. Hehe. Sesuai salah satu rekomendasi dari
Jan dan Luc, kami mencari coffee shop yang bernama Deli 99.
Walau agak sedikit putar-putar mencarinya, tapi kami
berhasil menemukan Deli 99 yang letaknya ada di ujung jalan Latrán.
The portal to the fairytale world |
Tempatnya kecil tapi nyaman sekali. Hanya ada 1 sofa, 3
meja untuk 4 orang, dan 3 lainnya berupa stool untuk 2 orang. Kebetulan sekali
waktu kami masuk, ada 4 orang yang juga baru selesai sehingga kami bisa
langsung duduk.
Antara terkejut dan tidak terkejut, rupanya hanya ada 1
orang yang melakukan semua tugas di sini; yang menyambut tamu, yang memberikan
menu, mengambil pesanan, memasak, sebagai kasir, bahkan cuci piring pun dia
yang melakukan. Agak gila, ya? Kalau orang Indonesia disuruh kerja seperti ini
pasti sudah orangnya bilang, “memangnya ini masih zaman romusha?”
Tapi nyatanya kalau di Eropa, pekerjaan seperti ini sudah
sangat biasa karena faktor menyewa tenaga kerja yang sangat mahal dan atas nama
efficiency.
Pagi ini cuacanya bagus sekali. Langit terlihat biru dan
cerah, udara juga tidak terlalu dingin karena matahari menampakkan diri,
padahal kemarin kelabu sekali. Kami duduk dan cepat memutuskan pesanan.
Tapi karena memang yang melakukan semua tugasnya hanya 1
orang, akibatnya pelayanan di sini jadi lambat sekali. Mau pesan saja kita
harus menunggu agak lama. Apalagi setelah pesan, menunggu makanan dan
minumannya dibuat, duuuuuuhh sampe pengen makan kusen pintu rasanya. Jadi saran
kami, kalau mau berkunjung ke sini, lebih baik jangan kalau sedang buru-buru
atau sedang kelaparan. Santai-santai aja kalau mau makan atau ngopi-ngopi di
sini. Hehe.
Hot chocolate dan chai chai latte di sini super enak.
Selain itu Deli 99 ini mayoritas menunya roti dengan gaya semacam sandwich atau
panini. Rotinya enak, isinya juga segar-segar sekali. Pokoknya sempatkan mampir
lah kalau sedang berkunjung ke kota ini.
One of the vintage alleys |
Setelah mengisi perut, kami kembali berjalan-jalan
lagi. Karena ini kota kecil dan kami tidak perlu naik public transportation
apapun (semuanya ada dalam jangkauan berjalan kaki kok), jadi kami memang tidak
punya rencana khusus selain keliling-keliling saja.
Tadinya, rencana awal kami adalah untuk mampir ke
kastil hari ini, tapi kami kan maunya melihat kastil ini waktu masih pagi hari
dengan cahaya matahari yang bagus dan juga tidak terdesak turis yang datangnya
berbondong-bondong. Jadi kami menunda rencana kunjungan ke kastil jadi besok
pagi saja dibanding harus siang ini.
Berjalan kembali ke tengah kota, kami akhirnya tiba di
Centrum (ini square di tengah kotanya). Christmas market-nya ÄŚeskĂ˝ Krumlov
terletak di Centrum. Di salah satu sudut Centrum, rupanya ada information
center. Kami memutuskan mampir untuk minta peta atau melihat kalau-kalau ada
event tertentu.
Kami melihat ada brosur yang mengiklankan tour
beberapa jam di old town dan castle, sepertinya asik juga kalau ada tour guide
yang menjelaskan beberapa sejarah yang tidak kami ketahui. Baru mau mendaftar,
eh, kami diberitahu bahwa rupanya castle tutup sepanjang winter. Batal deh.
Ya sudah, akhirnya dengan berbekal peta kota yang
tidak seberapa besar, kami agak sedikit mendaki jalan ke St. Vitus Cathedral
(he-eh, namanya sama kayak katedral di Praha). Kami hanya masuk sebentar dan
melihat-lihat, kemudian keluar lagi dan foto-foto di depannya.
Selanjutnya, ya, seperti biasa; kami melangkahkan kaki
aimlessly saja, yang penting bisa keliling-keliling di kota kecil ini. Kalau
ada tempat bagus ya mampir dulu numpang jepret-jepret sedikit. Hehe.
Sempat melewati Regional Museum, sudah niat banget mau
masuk, eh rupanya tutup juga. Hm. Semacam tutup semua ya kalo winter.
Akhirnya kami kembali lagi ke Centrum dan dengan perut
agak lapar, mulai hunting makanan di Christmas market. Wah, mata tiba-tiba
menangkap ada yang menjual mie goreng. Iya, MIE GORENG di ÄŚeskĂ˝ Krumlov. Fresh
from the wajan lagi dijualnya. Gimana nggak tergiur, kan? Akhirnya nyobain deh.
Siapa tahu emang seenak kelihatannya.
Goulash soup |
Selain itu kami mencoba goulash soup juga. Ini juga
enak (sekali lagi, makanan panas apapun tuh enak kalau winter). Ingredients nya
agak banyak nih kalau goulash soup. Coba searching, deh. Intinya goulash soup
ini rasanya cukup berbumbu, sedikiiiiiit kecut, biasanya pakai garlic, beef
broth, paprika, sama marjoram. Isinya biasanya potatoes. Ini juga wajib dicoba.
Bratwurst |
Sisa sore kami habiskan masuk-masuk gang dan berakhir
mengitara Vltava River di Český Krumlov dan mampir ke strudl café (Strudl
Krumlov, ada di dekat Deli 99) karena di Czech ini apelnya terkenal, jadi kami
mau mencoba apple strudl lokal.
Setelah kami kenyang (lagi), langit sudah gelap
gulita, udara makin mendingin, dan kota juga sudah gelap dan seperti tidak
berpenduduk karena toko-toko sudah tutup, kami kembali ke apartment.
29th
December
Jam 9 pagi ini kami berangkat lagi dari apartment.
Karena tidak bisa masuk ke castle, akhirnya kami hanya naik ke halamannya saja
dan melihat pemandangan ÄŚeskĂ˝ Krumlov dari atas. Masih enak kalau naik ke
halaman castle jam segini, karena belum terlalu banyak orang. Dan juga kalau
beruntung dan matahari bersinar, pemandangannya indaaaah sekali.
ÄŚeskĂ˝ Krumlov from the castle |
Tapi sayang beruang yang sangat terkenal dan menjadi
maskot ÄŚeskĂ˝ Krumlov tidak terlihat di mana-mana pagi ini.
Benar-benar hari ini adalah jalan-jalan tanpa arah
(bahkan tanpa mampir ke toko manapun juga) sambil menunggu sore hari, karena
kami harus berpindah kota hari ini. Akhirnya dari pada kelaparan, kami beli TrdelnĂk dan hot dog di pinggir jalan untuk
mengganjal perut karena kami sudah mendatangi 3 restoran dan semuanya penuh.
Maklum, sudah jam 1, jadi pasti semua orang mencari makan siang.
Saat mau berjalan balik, eh
kami menemukan Czech cuisine restaurant yang tidak penuh. Jadi akhirnya kami
makan siang sebentar di situ. Jam setengah 3, kami agak sedikit terburu-buru
berjalan kembali ke apartment untuk final packing sebelum dijemput oleh CK
Shuttle yang telah kami pesan jam 3.45 pm dan akan mengantar kami ke kota
tujuan berikutnya, Vienna.
Sistem shuttle ini sama seperti travel di Indonesia. Semacam Cipaganti, atau City Trans. Jadi kami booking kursi untuk tujuan Vienna (bayar pada sopirnya nanti), kemudian kami diberitahu akan dijemput pukul sekian di apartment kami, dan begitu sampai di Vienna, kami juga diturunkan tepat di depan tempat kami menginap. Jadi, tidak perlu repot mencari-cari tempatnya lagi.
Kami dijemput tepat pada
waktu yang ditentukan. Perjalanan ke Vienna dengan mobil pada umumnya memakan
waktu sekitar 3 jam, menurut keterangan Jerry, sopir kami yang ramah dan dengan
bangganya bercerita dia pernah berlibur ke Bali selama 3 bulan.
Setelah menjemput 2 orang
penumpang lagi dari Centrum, yang kemudian kami ketahui sebagai turis dari
Jepang setelah perkenalan singkat, kami berangkat sekitar jam 4 lewat sedikit.
Sekitar jam 5 sore, kami
sudah berada di antah berantah dengan pemandangan yang sama sekali tidak
terlihat di kiri kanan kami karena hari sudah gelap dan kabut yang turun sangat
dahsyat. Agak seram juga rasanya karena jalanan sangat sepi, hanya berpapasan
dengan mobil lain setiap beberapa menit sekali. Jarak pandang juga sangat
pendek karena semakin malam kabutnya semakin tebal, dihiasi dengan hujan
segala.
Sekitar jam setengah 7, kami
berhenti dan dipersilakan meregangkan badan dulu atau beli minuman hangat di
McD selama 15 menit sebelum melanjutkan perjalanan. Kami sampai di Vienna
sekitar jam 8 malam dan disambut oleh Yanita di apartment yang akan kami
tempati.
Wah, kami yang norak cukup
terkagum-kagum juga dengan apartemennya Yanita yang luas sekali dan bersih.
Besar, dengan gaya minimalis, tapi terang dan juga homey. Yanita pamit setelah
memberi penjelasan singkat tentang cara membuka kasur tambahan dan lokasi
supermarket terdekat.
Mami dan Daddy masih sempat
pergi ke Merkur, supermarket yang tadi disebut-sebut oleh Yanita, untuk membeli
buah-buahan, telur, susu, dan kebutuhan lain. Begitu pulang, Mami langsung
heboh tentang betapa SUPER-nya supermarket itu. Rupanya supermarket-nya terdiri
dari 3 lantai dan super duper lengkap. Berbagai jenis bumbu atau roti atau
daging atau keju atau sereal atau susu atau buah atau apapun lah yang mau
dicari, pokoknya ada semua di situ!
Setelah ngobrol-ngobrol
sambil ngopi di ruang makan, kamipun memisahkan diri untuk tidur di kamar
masing-masing.
30th December
Pagi ini kami berangkat agak
siang. Ketika jam hampir menunjukkan pukul 10, baru kami keluar dari apartment.
Sungguh beruntung bagi kami karena apartment yang kami sewa terletak di tengah
kota, dan sangat dekat dengan Stephensplatz, salah satu main station di Vienna.
Dengan bekal beberapa
referensi itinerary orang di Vienna, kami memulai hari ini dengan mengunjungi
Stephen’s Dome yang terletak di seberang Stephensplatz Station.
Stephen’s Dome, atau yang
lebih terkenal dengan sebutan Jermannya; Stepheansdom, merupakan salah satu
landmark Vienna. Pembangunan katedral ini dimulai pada abad ke-12, dengan Duke
Rudolf IV sebagai inisiatornya. Sekarang Stephansdom menjadi salah satu
bangunan Gothic paling penting di Austria.
Stephansdom |
Dengan panjang 107.2 meter
dan lebar 34.2 meter, Stephansdom memiliki 4 tower yang menambah kemegahannya.
Tower yang tertinggi terletak di bagian selatan katedral dan tingginya mencapai
136.44 meter. Stephansdom juga terkenal karena memiliki 13 bell yang tergantung
di tower-tower dan merupakan rumah bagi Pummerin, the second biggest
free-swinging chimed church bell in Europe.
Kalau sekadar ingin masuk
dan melihat-lihat bagian dalam Katedral ini memang tidak perlu membayar. Tapi,
kalau ingin menyewa audio guide, naik ke tower, atau turun ke katakombe, ada
beberapa tiket yang harus dibeli (disediakan secara package juga).
Setelah mengitari gereja,
Tristan dan Daddy naik ke tower (ada lift-nya kok). Untuk naik ke puncak tower,
dewasa harus membayar 5 euro, dan anak-anak seharga 2,20 euro. Begitu turun,
Daddy langsung bercerita akan ‘ngilu’-nya berdiri di atas karena lantai di
puncak tower terbuat dari besi yang bolong-bolong, jadi benar-benar bisa
melihat ke bawah juga. Tristan juga heboh bercerita tentang anginnya yang
sangat kencang di atas.
Setelah puas, kami keluar lagi dan
melanjutkan perjalanan ke Pestsäule, atau yang dalam bahasa Inggris berarti plague column. Pestsäule terletak di
Graben, sebuah jalan di pusat kota Vienna, dan merupakan salah satu sculpture
paling penting dan terkenal di kota tersebut.
Sejarah dari column ini cukup panjang dan
berbelit-belit. Intinya, pada tahun 1679, Wina diserang
salah satu epidemi wabah terbesar pada abad itu. Kabur dari kota, kaisar
Habsburg, Leopold I, bersumpah untuk mendirikan sebuah kolom jika epidemi tersebut
berakhir. Walaupun proses pembangunannya sangat lama, melibatkan banyak sekali
perubahan dan banyak sculptors, akhirnya kolom ini berhasil diselesaikan dan
diresmikan pada tahun 1693.
Kami mengagumi detail dari kolom tersebut, mengambil
beberapa foto, dan melanjutkan berjalan kaki sampai diujung jalan Graben. Di
sebelah kanan kami, sudah ada tujuan kami yang berikutnya, yaitu Peterskirche.
Peterskirche juga merupakan sebuah baroque roman
catholic church di Vienna. Udara hari ini sangat sangat dingin dan angin yang
bertiup semakin kencang juga tidak membantu, jadi kami terburu-buru masuk ke
dalam gereja. Begitu kami masuk, rupanya sedang ada misa yang berlangsung. Kami
memutuskan untuk mengikuti misa sebentar.
Misa berakhir sekitar pukul 11:30 siang dan kami
langsung menuju ke Ofenloch Restaurant untuk makan siang. Kami agak ngeri
sekarang kalau mencari makan siang pada jam puncak makan siang, biasanya
orang-orang yang makan di restoran sudah booking tempat, jadi terkadang agak
mustahil untuk menemukan tempat yang kosong.
Ofenloch Restaurant terletak jalan Kurrentgasse, hanya
sekitar 5 menit berjalan kaki dari Peterskirche. Restoran ini terletak sangat
tua dari luar, dan sebagian besar interiornya di dalam terbuat dari kayu. Kami
memesan makanan yang kami inginkan. Untungnya, makanan datang lumayan cepat.
Well, it was good but not impressive. Enak aja, tapi nggak lebih dari sekadar
enak.
Selesai makan, tadinya kami ingin langsung berjalan ke
Hofburg Palace, tapi karena udara yang semakin dingin, akhirnya kami terpaksa
kembali dulu ke apartment untuk memakai baju tambahan, daripada sengsara
kedinginan di jalan, kan?
Barulah setelah itu kami berjalan ke Hofburg Imperial
Palace. Dari apartment kami (dekat Stephensplatz, remember?), berjalan kaki ke
Hofburg Palace hanya memakan waktu sekitar 10 menit. Nggak terasa juga karena
sambil cuci mata lihat-lihat barang bagus di sepanjang jalan. Hehehe.
Hofburg Palace ini letaknya di tengah kota dan dekat
sekali dengan banyak main attraction-nya Vienna, seperti museum-museum besar,
Burggarten Park, opera building, dan shopping center. So it’re pretty much a
very touristic area, meaning quite crowded and tongsis is everywhere.
Sebenarnya despite the freezing weather and wind,
cuaca hari ini cukup menyenangkan karena langit terlihat biru cerah. Karena
tidak ada tanda-tanda bahwa Hofburg Palace ini bisa dimasukki, jadi kami
berjalan terus ke arah Museum Square. Tadinya kami mau langsung berjalan ke
Burggarten Park untuk melihat patung Mozart, tapi waktu berjalan ke arah sana,
kami melihat pintu masuk ke salah satu museum yang cukup terkenal di Vienna,
Kunsthistoriches Museum.
Nah, long story short, Tristan and I decided to go
inside (karena kalau di bawah 19 tahun nggak perlu beli tiket masuk alias
gratis. Keren nggak, tuh? Museum besar, lho.) sementara Mami dan Daddy
berjalan-jalan di luar saja.
Museum ini terdiri dari 3 bagian (atau begitulah yang
kita lihat); The Ephesos Museum, Armours Collections, dan Ancient Musical
Instrument Collections.
Museumnya besaaaaar sekali (nggak sebesar Louvre,
pastinya, tapi besar!), tapi anehnya 1 jam lebih sedikit saja sudah cukup kok
untuk mengitari museum ini. Agak menyesal kita nggak menyewa audio guide tadi
karena rupanya penjelasan di dalam museum tidak disediakan dalam bahasa
Inggris. Jadi, agak buta sih melihat ini dan itunya. But oh well, it was a nice
visit. We loved it!
Kami keluar dan bertemu lagi dengan Mami dan Daddy
yang kayaknya lagi sibuk update di FB mentang-mentang dapet wifi. Hehe. Terus
kami lanjut berjalan kaki ke Burggarten Park untuk berfoto bersama patung Mr.
Mozart yang sangat terkenal.
Mr. Mozart <3 |
150 meter dari Burggarten Park, kami sudah dapat
melihat Vienna Opera State yang juga tidak kalah terkenalnya. Tapi karena
udaranya ini dingin beyond kutub utara, kayaknya kami jadi kebingungan (iya,
dingin banget sampe susah mikir) dan bukannya foto di depan opera building,
kami malah masuk ke souvenir shop dan beli beberapa knick-knacks.
Setelah itu kami malah nangkring di Starbucks yang ada
di dekat opera building dan buru-buru pulang karena malas kedinginan lagi. What
a freezing day.
31st
December
Wow, nggak terasa sebentar lagi sudah tahun 2016, nih.
Hari ini kami sebenarnya nggak punya agenda khusus
selain menonton konser musik lagi nanti malam di Schonborn Palace. Jadi pagi
ini kami cukup santai. Untuk pertama kalinya di Vienna, kami akhirnya naik
metro ke Karlsplatz, salah satu stasiun utama juga, dengan tujuan mengunjungi
Karlskirche, sebuah gereja bergaya baroque yang dibangun pada abad ke-17.
Waktu kami keluar dari stasiun bawah tanahnya
Karlsplatz, kami memperhatikan bahwa jalan raya besar di Karlsplatz sedang
di-blok dan banyak orang yang berdiri di pinggir jalan, seperti menunggu sesuatu.
Kami pikir akan diadakan parade berhubung hari ini adalah hari terakhir dari
tahun 2015.
Tunggu punya tunggu, rupanya sedang ada marathon.
Sepertinya marathon ini terbuka untuk umum (siapa saja bisa mendaftar) dan
nggak harus lari juga kok, jalan cepat juga boleh. Senang sekali melihat
rombongan peserta marathon yang lewat dengan heboh. Ada yang mengenakan
kostum-kostum unik, banyak yang lari bersama anjingnya, banyak anak-anak kecil
yang ikut jalan cepat, ada juga yang lari sambil dorong-dorong kereta bayi.
Pokoknya seru, deh!
Ketawa-ketawa melihat kostum yang aneh-aneh, gemes
melihat anjing-anjing lucu yang lewat, dan pastinya foto-foto juga di sini.
Suasana tambah asik karena banyak juga yang lari dengan membawa speaker sambil
memutar lagu.
Selain suasana menyenangkan ini, penjagaan dari polisi
juga terbilang ketat, dilihat dari siaganya polisi di banyak spot dan ada mobil
polisi yang mengawal.
Setelah barisan terakhir lewat, kami lanjut berjalan
kaki ke Karlskirche berbekal GPS. Rupanya kami salah memilih pintu keluar dari
stasiun tadi, karena sebenarnya ada pintu keluar yang langsung mengarah ke
gerejanya. Tapi yaudahlah, namanya juga nggak tahu ya tadi.
Cuaca hari ini baik, tapi udara dinginnya makin
menjadi-jadi. Ampun deh, kalau lagi super dingin begini, rasanya sampai males
jalan-jalan. Dinginnya terasa sampe ke tulang, lho. Hmmm…
Karlskirche |
Agak terburu-buru kami berlari ke dalam gereja dengan
harapan bisa menghangatkan badan. Tapi baru sampai di depan pintu masuk,
rupanya harus membeli tiket. Melihat harga tiketnya (8 euro/person), saya
langsung menggelengkan kepala. Hitungannya terlalu mahal untuk masuk ke sebuah
gereja.
Akhirnya kami kembali naik metro (seperti di Jerman,
metro di Vienna, disebut juga U-Bahn) ke Hauptbahnhof. Well, karena kami tidak
berintensi untuk banyak-banyak naik kereta di Vienna, kami hanya membeli tiket
one-way seharga 2.20 euro di ticket machine. Tiket one-way ini berlaku dengan
cara boleh naik kereta sejauh-jauhnya, asal tidak ke arah yang berlawanan
dengan arah kereta saat keberangkatan pertama (nggak boleh naik kereta balik).
Kami ke Hauptbahnhof karena ingin memastikan jadwal
keberangkatan kereta untuk perjalanan ke Rothenburg ob der Tauber esok hari.
Information center ada di main hall Hauptbahnhof dan untungnya tidak sedang
dalam situasi mengantri. Setelah mendapatkan kertas yang berisi keterangan
jadwal keberangkatan dan stasiun-stasiun mana saja yang akan kami lewati, kami
berangkat ke arah Belvedere Schloss, salah satu istana yang menjadi landmark
Vienna selain Schonbrunn Palace.
Jarak dari Hauptbahnhof ke Belvedere Schloss sekitar
1,2 km. Dengan jarak demikian, kami memutuskan untuk jalan kaki saja. Memang
sih, jaraknya nggak jauh. Tapi saking dingin udaranya itu lho, jalan kaki
sekilo aja jadi terasa menyiksa. Angin nggak berhenti-berhenti bertiup pula.
Mantap, deh.
Tadinya kami memang berencana untuk melihat bagian
dalam Belvedere Schloss, tapi kami lihat antrian tiketnya nggak manusiawi.
Mending kalau ngantrinya di dalam ruangan yang hangat, ini mah di luar banget.
Makasih banyak deh kalau harus berdiri diam-diam di situ.
Akhirnya kami berjalan ke bagian belakang istananya
dan berfoto di taman istana yang luas. Sekitar jam 1 siang, kami memutuskan
untuk berjalan kembali ke Hauptbahnhof untuk makan siang, karena tadi kami
lihat ada beberapa restoran di main hall Hauptbahnhof.
Selesai makan siang, kami naik metro lagi ke Rathaus.
Tadinya kami ingin foto-foto aja di depan Rathaus, tapi rupanya asik juga
karena ada panggung yang sedang dipersiapkan untuk konser NYE, ada lagu-lagu
asik yang sedang diputar, dan masih ada Christmas market juga. Lumayan lah
menghangatkan badan dengan cara joget-joget bersama para be-bule-an di situ.
Hehe.
Sekitar setengah 5 sore, kami memutuskan untuk kembali
ke apartment dulu sebelum keluar untuk nonton konser malam ini.
Jam 7 malam, kami sudah mulai berjalan kaki ke arah
Schonborn Palais, tempat konser akan dilangsungkan jam 8.15 malam nanti. Why so
early? Karena 1) kami belum tahu pasti tempatnya ada di sebelah mana, dan 2) karena
tempat duduk bebas, jadi kalau datang duluan, bisa mengantri di depan dan dapat
kursi di depan.
Sepanjang jalan menuju Schonborn Palais, kami melihat
panggung-panggung yang sudah dibangun dari kemarin di pinggir atau tengah jalan
kini sudah dihiasi para musisi-musisi. Ada yang menyanyikan lagu jazz, di
panggung lain ada yang lagu rock, di panggung lain ada yang folks music, di
sudut lain terdengar lagu-lagu EDM. Rame banget deh pokoknya. Manusia tersebar
di mana-mana, kebanyakan sambil menangkupkan tangannya di mug berisi gluhwein
mereka.
Sesuai tujuan kami, begitu sampai di Schonborn Palais,
baru ada 1 grup orang yang sedang menunggu pintu dibuka di depan kami. Konser
mulai agak sedikit terlambat, jam setengah 9, dan berlangsung sampai sekitar
jam setengah 11.
Agak bingung harus pergi ke mana setelah konser
berakhir (karena tujuan kami memang ingin melihat fireworks – setelah 2 kali
melewati NYE di tempat yang super sepi dan bahkan nggak ada suara sedikitpun
terdengar), kami kembali ke Stephensplatz.
Kami mencoba mencari café atau restaurant untuk tempat
menunggu fireworks daripada harus kedinginan di luar, tapi café/restaurant yang
buka sudah bukan penuh lagi, malahan sampai pada ngantri di depan situ! Gila
deh pokoknya. Belum lagi ada terlalu banyak orang, jadi memang bikin sedikit
pusing dan overwhelmed.
Jam setengah 12 malam, kami memutuskan untuk pulang
aja deh daripada harus kedinginan dan puyeng di sini (selain rame, bau rokok –
even marijuana ones – dan beer juga ada di maaaaanaaa-maaaanaaa). Kayaknya
memang paling enak merayakan tahun baru di dapur aja. Hangat, ada hot
chocolate, pake PJs, habis itu langsung tidur. J
1st
January
Happy new year!
Wiiii pagi pertama di tahun 2016 dikejutkan oleh suara
teriakan Mami dari dapur.
“Kenapa? Kenapa?”
Kita bertiga jadi panik denger suara teriakannya.
“ITU! SALJUNYA……. TURUUUUUUUNNNNNNN!!!!!!!”
Teria Mami dengan semangat sambil sibuk buka jendela
sebagai pembuktian. Benar saja, begitu jendela dibuka, terlihat jelas salju
sedang turun. Di bawah, mobil dan jalanan sudah diselimuti salju semua. Well,
nggak heran dari kemarin dinginnya nggak manusiawi; rupanya mau turun salju.
Langsung dong kita yang mau eksis ambil hape dan
dengan berbagai upaya berusaha foto dan merekam momen ini.
Setelah berhasil mendapatkan foto dan video yang
diinginkan (dan disebar di medsoc pastinya), kami langsung mandi dan
bersiap-siap untuk kembali ke Hauptbahnhof. Kereta yang kami tumpangi hari ini
akan membawa kami ke sebuah kota yang konon katanya bahkan lebih magis dari
ÄŚeskĂ˝ Krumlov. Kebayang nggak, tuh? Namanya Rothenburg ob der Tauber. Jangan
salah lho, ya, karena ada beberapa Rothenburg lain di Eropa. Jadi kalau mau
berkunjung, pastikan itu Rothenbur ob der Tauber (atau biasa disebut Rothenburg
odt).
Intinya hari ini full kami habiskan di kereta. Pake
ada insiden kereta yang ditumpangi rusak jadi kami harus turun dan berlari
mengejar kereta lain bersama penumpang-penumpang seperjalanan.
Kami menjejakkan kaki di Rothenburg ODT sudah sekitar
jam 9 malam. Yaampun, ini sih memang seperti ÄŚeskĂ˝ Krumlov. Jam 9 malam kotanya
sudah berubah menjadi kota mati. Rasanya kayak lagi ada zombie apocalypse deh.
Sepiiiiiiii….
Sepinya tuh bukan sepi yang ada sedikit orang di situ.
Ini jenis sepi di mana kotanya beneran kosong, nggak ada orang, nggak ada
kendaraan lewat, lampu yang nyala cuma remang-remang aja. Pernah ke Kidzania?
Kebayang nggak kalau Kidzania udah tutup kayak apa? Nah, kayak gitu deh.
Tapi at least udaranya sudah lebih bersahabat di sini
dibanding di Vienna.
Kami menggeret koper kami menuju hotel yang akan kami
inapi selama 3 malam ke depan, Gasthof Butz. Nggak begitu sulit mencari hotel
kami, cuma agak berat aja nyeret-nyeret koper di cobblestone street.
Daddy cukup mengucapkan namanya saja dan kami langsung
diberikan kunci kamar kami. Kamarnya kuno, tapi cukup besar untuk kami ber-4,
bersih, dan juga nggak mau apak. Dan berhubung Rothenburg ini kota tua yang
dengan sangat hati-hati dijaga seperti ÄŚeskĂ˝ Krumlov, di sini juga nggak ada
lift. Jadi ya lumayan olah raga ngangkut koper segede gila lagi ke lantai 2 (at
least bukan lantai 5, deh).
2nd
January
Wah, hari pertama di Rothenburg! Nggak sabar pengin
liat kayak apa kota ini kalau terang dan toko-tokonya buka.
Jadi ceritanya, Rothenburg ob der Tauber adalah sebuah
kota tua yang terletak di districk Ansbach, Bayern, Jerman. Kota ini merupakan
sebuah kota peninggalan wilayah Bavaria yang tidak tersentuh selama
berlangsungnya Perang Dunia. Dengan luas 41.45 km², Rothenburg odt memiliki
penduduk sebanyak 11.226 jiwa.
Rothenburg odt in the morning |
Kota ini terkenal karena old town-nya yang masih
dilestarikan dengan sangat baik serta keunikan sehingga disebut sebagai “kota
yang merayakan Natal sepanjang tahun”.
Jadi pagi ini setelah sarapan di hotel, kami sudah
tidak sabar dan langsung menuju ke town hall yang untungnya hanya 1-2 menit
jalan kaki kalau dari hotel kami.
Memang Rothenburg nggak main-main cantiknya. Foto-foto
yang dipasang di internet itu bukan bohongan atau overrated. Memang secantik
kalau di foto! Wih, sampai terkagum-kagum deh pokoknya. Bener-bener seperti
lagi di negeri dongeng. Gedung-gedung yang ada masih merupakan gedung-gedung
tua asli dan sangat well-preserved. Warnanya juga bermacam-macam, ada yang
kuning, ada yang hijau, ada yang pink, ada yang orange dan masih banyak lagi.
Belum lagi bagian depannya dihiasi oleh pohon natal, patung Nutcracker prince,
mistletoe, etc. Aduuuuhhh pokoknya sampai berseri-seri deh melihat kota ini
secara langsung.
Padahal waktu kami keluar dari hotel pagi ini, belum
ada banyak orang (di town hall sekalipun) dan mayoritas toko juga masih belum
buka.
Seperti ÄŚeskĂ˝ Krumlov, kebanyakan orang yang
berkunjung ke sini juga tidak menginap. Hanya 1 hari kunjungan. Padahal
rugiiiiii ihhhhh! Wajib banget nginep di sini. Nyesek dan nyesel kalo enggak.
Jadi sambil menunggu toko-toko pada buka (which means
museum dan tempat lainnya juga baru akan buka nanti), kami jalan-jalan aja dan
mulai ‘nandain’ toko-toko yang punya barang lucu (red: semua toko).
Waktu berjalan-jalan kami akhirnya sampai di bagian
pinggir kota, semacam bagian atas tembok benteng sebuah kerajaan, terus
pemandangannya hutan dan ada tanda jalan raya di kejauhan. Gimana nggak kayak
di negeri dongeng tuh?
Saat jalan balik ke kota, eh, tiba-tiba hujan. Waduh.
Untung kami melihat Kaethe
Wohlfahrt Christmas Village store, salah satu Christmas store
terbesar di Rothenburg baru buka, jadi kami masuk dan berteduh dulu di situ.
Ya, niatnya sih berteduh awalnya… Begitu udah di dalam toko dan melihat
berbagai macam handcrafted Christmas ornaments-nya……. all hell broke loose.
Yang tadinya cuma berencana sebentar di dalam toko,
rupanya jadi menghabiskan 1 jam (atau mungkin lebih) dan beli ini itu. Kami
diberi penjelasan bahwa barang yang dijual adalah asli produk setempat dan
tidak dijual di tempat lain, secara karena memang Rothenburg terkenal akan
Christmas ornaments-nya. Beberapa barang di sini, kalau mau beli, pasti akan
dapat box super bagus beserta sertifikatnya. Keren, ya?
Untuk ornamen-ornamen Natal dengan ukuran standard
(yang biasa digantung di pohon Natal), harganya berkisar antara 7-25 euro,
tergantung kerumitan pembuatan, cat, dan bahan dasarnya.
Setelah puas memilih barang di dalam, kami keluar dari
toko. Sayangnya, masih hujan juga, walaupun sudah agak reda dan tinggal gerimis
(gerimis di musim dingin sebenarnya sangat biasa). Kemudian kami kembali dulu
ke hotel untuk drop barang karena nggak mungkin jalan-jalan seharian sambil
bawa kantong plastik berisi beberapa kardus.
Tujuan kami berikutnya adalah Weihnachts Museum (Christmas
Museum), yang merupakan museum paling terkenal di Rothenburg dan terletak di
lantai kedua Kaethe Wohlfahrt
Christmas Village (store pusat, berbeda dengan store yang tadi pagi kami
datangi). Tiket masuk ke museum ini bisa dibeli di meja kasir yang
ada di sebelah kiri pintu masuk. Karena kami ber-4, 1 keluarga, kami membeli
tiket untuk family seharga 7 euro (murah sekali, kan?). Tiket yang diberikan
kepada kami berupa koin emas mainan dan harus dimasukkan ke mesinnya sebelum
bisa melangkah ke dalam museum.
Shortly after
the grand opening of the world famous store, Harald Wohlfahrt started to
contemplate traditional Christmas celebrations during the era of the town’s
forefathers. Wohlfahrt berkeyakinan bahwa berbagai macam aspek dari selebrasi
tradisional ini harus didokumentasikans secara layak. Museum ini dipersembahkan
khusus untuk memajang berbagai macam old Christmas decorations yang asli
berasal dari Jerman, dan juga sejarah tentang perkembangan cara orang Jerman
merayakan festive season ini.
Museum ini
disusun dengan apik, pencahayaan dan dekorasi yang cantik. Penjelasan untuk
berbagai barang yang dipajang di dalam lemari kaca juga lengkap dan tersedia
dalam bahasa Inggris.
Setelah sampai
pada ujung museum, sebelum keluar kita pasti akan melewati Christmas store
dulu. Christmas store ini tentunya memiliki nama yang sama dengan yang tadi
pagi kami kunjungi, yaitu Kaethe Wohlfahrt Christmas Village store. Tapi karena
store yang berada satu gedung dengan museum adalah main store, tentu saja ini
jauh lebih besar. Lebih tepatnya, besaaaaaaarrrrrrr sekali! Ditata seperti kita
ada dalam sebuah desa kecil dengan 1 pohon natal super besar di tengahnya dan
satu wooden tower yang berputar. Aduh sampe pusing puter-puter cari pintu
keluar (dan akhirnya Mami tetep nggak kuat dan jadi nyomot beberapa barang
lagi).
Setelah akhirnya
kami berhasil keluar (dan rupanya di luar masih aja gerimis), kami makan siang
di sebuah restoran kecil di pinggir jalan (entah namanya apa hehehe), dekat
dengan pizzeria yang berada di seberang John the Baptist Church. Kedatangan
kami disambut dengan seorang ibu-ibu yang berbadan gempal dan mirip dengan
tokoh animasi Jepang (#lho).
Buku menu yang
diberikan oleh si ibu ini hanya memberikan kami 3 pilihan jenis makanan untuk
makan siang; schnitzel, pasta, atau bratwurst. Ya karena pilihan makanannya
hanya itu, kami pesan saja semua, ditambah dengan satu mangkok (besar) salad
yang ditawarkan oleh si ibu.
Selesai makan,
kami langsung berjalan ke Historical Vault yang ada di seberang pintu masuk
Weihnachts Museum. Harga tiket masuknya sama dengan museum Natal (7 euro/
family).
Historical Vault
ini sangat kecil namun menarik. Dibagi menjadi beberapa ruangan, museum ini
menampilkan tiruan dari suasana jaman dahulu dengan patung dan dekorasi ruangan
yang dibuat sesuai dengan ukuran aslinya. Ada pakaian jaman dahulu, skrip-skrip
tua, dan bisa juga turun ke dungeon-nya (which is a bit spooky, but small).
Selesai menengok
semua ruangan di Historical Vault, kami kembali ke hotel. Mami yang
menyebut-nyebut Japanese food bikin kami semua jadi kepengin juga. Untung saja
setelah searching, kami menemukan 1 (iya, cuma 1) Japanese restaurant di kota
super kecil ini, Louvre Japanese Food. Tapi, berhubung menurut keterangan di
internet restorannya baru akan buka jam 6 sore, kami akhirnya rebahan dulu di
kamar.
Sekitar pukul
setengah 6, kami memakai peralatan tempur kami lagi (jaket dan lain-lain) dan
keluar. Untungnya Louvre letaknya tidak terlalu jauh dari hotel kami, mungkin
sekitar 8 menit jalan kaki. Awalnya memang agak ragu memasuki gang di sebelah St. Jacobi Church karena sepi dan gelap, tapi rupanya memang betul harus masuk gang
yang itu.
Ketika kami
sampai, restorannya belum buka dan karena kami ogah menunggu 20 menit di luar,
akhirnya kami jalan-jalan dulu deh, sekalian bakar kalori sebelum diisi lagi.
Hehe.
Tidak begitu
jauh dari Louvre, kami mampir ke salah satu toko yang masih buka untuk membeli
post card. Waktu bayar, si penjual toko ini bilang bahwa karena besok adalah
hari Minggu, maka semua tempat akan tutup, kecuali restoran dan hotel. Hmm…
agak sangsi sih. Masa sih semuamuanya tutup? Repot juga dong kalo betul.
Akhirnya jam 6
sore tepat, kami kembali ke arah Louvre. Di luar dugaan, restoran Jepang di
kota kecil ini, yang adanya di sebuah gang yang gelap dan sepi, rupanya cukup
ramai. Waktu kami sampai, jam 6 lewat sedikit, sudah ada 1 keluarga lain yang
duduk. Begitu kami duduk, datang 2 pengunjung lagi.
Bahagianya
ketemu restoran Jepang yang menunya variatif dan masih original. Karena kami
sangat menikmati makan malam kami yang enak, fresh, worth the price, dan juga
pelayanan yang super ramah, akhirnya kami booking tempat untuk makan besok
malam.
3rd January 2016
Yeay, hari
ketiga di Rothenburg! Ini hari terakhir kami bisa explore kota ini sepuasnya
karena besok pagi kami sudah harus kembali ke peradaban.
Pagi ini kami
mengikuti misa pagi di John the Baptist Church. Dan sepanjang perjalanan, kami
melihat bahwa memang benar kata-kata pemilik toko tadi malam; semua tempat hari
ini tutup. Kota hari ini jadi sepiii sekali. Tidak banyak rombongan tur yang
berkeliaran seperti kemarin.
Selesai misa
sekitar jam setengah 12 siang, kami belum merasa cukup lapar untuk makan siang
dan rasanya juga masih pikir-pikir ‘mau ke mana lagi, ya?’. Jadi kami asal
jalan saja keluar masuk gang dan foto-foto di tempat yang latar belakangnya
menarik.
Sambil kami
berjalan-jalan, kami juga menyempatkan diri berkunjung ke dalam St. Jacobi Church
(yeps, yang dekat dengan Louvre) dan menyewa audio guide di sana. Setelah itu
kami mau mengunjungi town museum (belokannya ada beberapa gang setelah Louvre),
tapi sayangnya museum pun tutup hari ini.
Karena sudah
siang, kami akhirnya kembali ke town hall dan memutuskan untuk naik ke puncak tower. Naiknya rupanya lebih tinggi daripada kelihatannya. Hehe. Sebelum
sampai di tower (emang dasar pinter yang ngatur), rupanya kami harus bayar
kalau mau naik ke puncaknya. Yaiyalah, akhirnya bayar. Siapa juga yang mau
turun lagi tanpa lihat pemandangan padahal udah ngos-ngosan naik tangga.
Rothenburg from the top of the tower |
Karena bagian
top-nya sangat kecil dan sempit, jadi dibatasi hanya boleh maksimal 5 orang
yang berada di atas, dan 1 orang hanya kebagian waktu 5 menit. Naik ke bagian
top-nya memang naik tangga sih, tapi ini lebih tepatnya ‘manjat’ dibanding
bilang ‘naik tangga’ (cobain sendiri, deh). Agak deg-degan sih memang naiknya,
tapi pemandangannya memang pantas diperjuangkan kok. Dari atas kelihatan kota
Rothenburg dengan warna-warninya. Kelihatan juga hutan dan bukit-bukit di
kejauhan.
Sebelum 5 menit,
kami sudah memutuskan untuk turun lagi karena memang agak sulit bergerak di
bagian atas menara ini. Nah, kalo naiknya agak susah dan serem, turunnya
lebih-lebih lagi. Huahahah. Agak bingung posisi turunnya gimana biar nggak
jatuh dari tangganya yang super curam, tapi ya untungnya berhasil.
Setelah turun
dari menara, kami mampir ke sebuah toko schneeballen dan beli beberapa kue
bola-bola salju yang asli dari Rothenburg ini untuk cemilan (yang pake coconut
enak banget btw). Dan kami akhirnya makan siang di pizzeria yang mungkin
merupakan satu-satunya pizzeria di kota ini juga.
Setelah makan
siang, kami lanjut berjalan-jalan. Kali ini kami berjalan ke arah yang lebih
sepi. Dalam perjalanan ini, kami menemukan beberapa toko-toko menarik yang (SAYANGNYA)
kok malah tutuuuuuuupppp????? L
Jadi karena
nggak mau rugi, kami mulai menandai toko demi toko supaya besok pagi sebelum
cabut, kami sempat lari dulu ke toko-toko ini untuk membeli beberapa barang
unik yang kami lihat dipajang di etalasenya.
Sepanjang
perjalanan, kami juga akhirnya bertemu dengan tembok kota tua, yang dulunya
berfungsi sebagai benteng. Kalau keluar dari gerbang tembok ini sih memang
hanya akan ketemu dengan lahan parkir untuk bus. Ada tangga yang bisa mengantar
kita naik ke bagian atas tembok, tapi well, kami rasa kurang menarik. Kami
akhirnya hanya mampir ke sebuah toko yang menjual wine (dan beberapa jenis
minuman lain) dan membeli beberapa botol untuk oleh-oleh.
Setelah capek
jalan kaki ke sana kemari, kami kembali ke hotel untuk baring-baring sebentar
sebelum kembali makan malam di Louvre.
4th January
8.30 am kami
sudah selesai sarapan. Semangat banget deh bangun pagi-pagi kalau buat belanja.
Hehe. Nah, surprise, surprise! Pagi ini salju turuuuunn! Aduh, senang sekali
sebelum pergi kami kebagian kesempatan untuk melihat pemandangan Rothenburg
yang memang katanya paling cantik kalau sedang diselimuti salju (dan memang
benar!).
Jam 9 pagi, kami
keluar dari hotel dan menyambangi satu demi satu toko yang sudah kami tandai
kemarin. Ada toko yang menjual pena bulu khas abad pertengahan, kemudian toko
renda yang Mami incar, dan sebuah toko embroidery. Di depan setiap toko,
pemilik-pemiliknya sudah keluar dengan ember yang berisi garam. Garamnya
ditaburkan supaya salju yang berada di luar toko mereka cair dan tidak
menghalangi pengunjung. Kami juga menyempatkan diri untuk berfoto-foto di salah
satu tembok batas kota dengan latar belakang bukit yang kini berwarna putih
semua karena salju.
Sekitar jam
setengah 11, kami sudah terburu-buru memasukkan pernak-pernik yang baru kami
beli ke dalam koper. Jam 11, kami sudah mengurus administrasi hotel dan
menunggu kedatangan taksi yang akan menjemput dan mengantar kami menuju
stasiun. Phew, untung pesan taksi! Bisa gempor kalau harus menggeret-geret
koper di jalanan yang sudah berbatu, diselimuti salju pula.
Taksinya
terlambat datang sekitar 20 menit, tapi untunglah jarak dari hotel ke stasiun
dengan naik mobil hanya 5 menit. Kami tiba di stasiun beberapa menit sebelum
keberangkatan kereta.
Kami turun di Wuzburg, dan naik kereta yang mengarah ke Nuremberg. Nah, karena kami memiliki
banyak waktu siang hari ini, kami sudah memutuskan untuk mampir terlebih dahulu
ke Nuremberg daripada terburu-buru sampai di Frankfurt. Lumayan kan kalau bisa
layover beberapa jam dan putar-putar di sebuah kota yang belum pernah kami
lihat sebelumnya.
Kami tiba
sekitar pukul 1 siang di Nuremberg. Setelah memasukkan koper kami ke dalam
loker-loker yang telah disediakan, kami berjalan kaki (sekitar 1.7 km) ke arah Nuremberg
Castle yang juga terkenal.
Wah, rupanya
kami Nuremberg juga merupakan kota yang sangat cantik! Dari hauptbahnhof memang
terlihat agak sepi, tapi setelah memasuki daerah downtown (di balik tembok tua
yang membentengi pusat kota dari hbf), rupanya kota ini ramai dan hidup sekali,
lho. Lampu-lampu natal masih bergelantungan di sepanjang jalan dan putihnya
salju yang teronggok di sudut-sudut jalan dan atap-atap bangunan semakin
menambah cantiknya kota tua ini.
Perjalanan ke
castle tidak begitu terasa karena surrounding kami yang sangat menarik. Tapi…….
begitu benar-benar mendekati castle……… jalanannnya langsung berubah menjadi
tanjakan terjal dan curam. Lumayan juga harus tarik napas beberapa kali sebelum
bisa lanjut menanjak.
Nuremberg from the castle |
Turun ke kota,
hasil searching di map membuahkan hasil karena kami menemukan restoran Thailand
(yeps, lagi! Hehe). Tawan Thai Restaurant letaknya tidak terlalu jauh dari
Hauptbahnhof, namun agak ke pinggir dari keramaian kota. Masakannya enak,
segar, dan original (plus reasonable price). Jadi kalau kebetulan sedang mampir
ke Nuremberg dan kepengin makan sesuatu yang Asian, silakan mampir ke sini.
(PS: Di seberang Tawan, ada restoran Jepang juga yang cukup besar)
Sekitar jam 3
sore, kami sudah berjalan lagi ke Hbf, mengumpulkan koper-koper kami dan menuju
platform kereta yang akan bergerak langsung ke Frankfurt Hbf setelah bertanya
pada information center.
Nuremberg –
Frankfurt hanya memakan waktu sekitar 2 setengah jam. Jadi sekitar pukul 6
sore, kami sudah menjejakkan kaki di Frankfurt Hbf dan berpelukan dengan Opa
Kamto dan Oma Tati yang menjemput kami.
Seperti biasa,
karena hanya ada 1 mobil, kamipun dipecah 4 yang naik mobil, dan 2 orang naik
U-Bahn ke Offenbach.
Malam hari kami
habiskan untuk makan malam bersama dan ngobrol-ngobrol di dapur Oma Tati yang
hangat dan selalu menjadi tempat nangkring yang menyenangkan.
5th January
Ini adalah salah
satu hari yang spesial karena 2 teman kami, Susan dan Sandy, akan datang
jauh-jauh dari Cologne, untuk mengunjungi dan mengajak kami berkeliling
Frankfurt (walaupun mereka sendiri yang orang asli Jerman buta sama sekali
mengenai Frankfurt).
Kami menunggu
kedatangan Susan dan Sandy di rumah Oma Tati. Sekitar jam 1 siang, akhirnya
mereka berdua sampai di Offenbach, disambut oleh Opa Kamto yang telah menunggu
di bawah.
Setelah
berkenalan dan ngobrol sedikit dengan Oma dan Opa, kami ber-6 pamit untuk pergi
jalan-jalan hari ini ke kota. Oma Tati telah memberikan catatan pegangan pada
Susan tentang U-Bahn dan S-Bahn yang dapat digunakan untuk sampai ke pusat
kota, atau secara spesifik, ke Zeil, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di
Frankfurt.
Kami naik bus
dari Bieber Main (bukan Justin Bieber, ya) sampai di Kaiserlei, kemudian lanjut
dengan U-Bahn sampai dengan Hauptwache. Keluar dari stasiun Hauptwache, kami
hany berjarak sekitar 250 meter dari MyZeil Mall (ini penanda bagian pusat Zeil
shopping center, walaupun ada beberapa departments store di daerah ini).
Karena sudah
lewat jam 1, kami memutuskan untuk mencari makan siang terlebih dahulu. Agak
bingung karena tidak terlihat ada banyak restoran di daerah ini, akhirnya kami
masuk ke dalam MyZeil dan segera naik ke lantai paling atas karena kami ingat
ada 1 restoran Asia di mall ini.
Untung saja
ingatan kami benar. Begitu sampai di lantai paling atas, COA Asian Cuisine
langsung terlihat. Karena memang sedang jam makan siang, kami harus menunggu
sekitar 10 menit untuk mendapat meja yang kosong.
COA menyediakan
berbagai macam pilihan makanan Asia, dari Thai food, Indian food, Chinese food,
Indonesian (ada gado-gado dan nasi goreng juga di sini), serta beberapa pilihan
lain.
Makanan utamanya
memang membutuhkan beberapa waktu untuk dihidangkan, tapi untungnya rasa lapar
kami lumayan terpadamkan lebih dahulu dengan dumpling yang dipesan sebagai
appetizer.
Sambil makan,
kami mendiskusikan rencana hari ini. Apa-apa saja yang mau dicari dan mana-mana
saja yang mau didatangi. Kesimpulan singkatnya adalah Tristan wants to find a
pair of soccer shoes, I want to find a nice headphone (it’s Germany anyway,
right?), and Mami wants to find a specific styled white shirt.
Jadilah akhirnya
Sandy segera searching di handphone-nya, mencari tempat-tempat yang tepat untuk
menemukan barang-barang yang ada di list. Setelah ngobrol-ngobrol singkat, kami
setuju bahwa kami hanya perlu mencari di seputar Zeil hari ini.
Selesai makan
siang, Tristan sudah heboh mau putar-putar di Adidas store yang ada di seberang
MyZeil. Karena yang perempuan-perempuan masih ingin ke toilet dan menurut Susan
headphone juga bisa dicari di Saturn (electronical store terbesar di Jerman)
yang ada di dalam MyZeil, jadi kami sepakat untuk berpisah dulu dan bertemu 1
jam lagi di Adidas.
Setelah
kunjungan wajib para wanita ke toilet, kami langsung beranjak ke Saturn. Betul
saja, setelah bertanya pada seorang petugas, kami langsung dapat melihat
deretan headphone yang dipajang di sebuah shelf. Setelah mencoba beberapa
pilihan yang ada, saya langsung menjatuhkan pilihan pada 1 headphone cantik
berwarna blue-ish grey dan membayar di kasir (setelah mendapat approval dari
Mami, tentunya. Hehehe…)
Saat di jalan
turun, hendak langsung menuju Adidas, saya dan Sandy sempat berbincang seputar
make-up (duh, maklum ya namanya juga perempuan), dan Sandy pun mengajak untuk
turun ke lantai dasar dulu dan mencari eye liner serta mascara (waterproof,
pastinya) yang biasa dia pakai.
Nggak
berlama-lama di dalam mall karena takut 2 laki-laki terlalu keasyikan di Adidas
dan lupa sama kami, kami bergegas keluar dan menyebrang jalan menuju Adidas.
Baru saja masuk, kami melihat Tristan yang sudah lompat-lompat di tangga dengan
1 plastic bag. Widih, sudah dapat barang dia.
“Iya, dapat
celana, nih. Tapi sepatunya bukan di sini carinya,” kata Tristan dengan riang
gembira. Maka berputar-putarlah kami di Zeil hari itu. Dari satu department
store ke department store yang lain, dari satu sports store ke sports store
yang lain, karena rupanya mencari sepatu yang diinginkan Tristan tidak mudah.
Not much to tell
from today. Ketika akhirnya Tristan mendapatkan sepatu yang diinginkan, hari
sudah gelap dan jam sudah menunjukkan pukul 7 malam (iya, beneran lama dan
capek banget cari sepatu ini) dan Mami memutuksan untuk mencari kemejanya di
lain kesempatan saja karena kasihan Susan dan Sandy yang masih harus menyetir
pulang ke Cologne dari Offenbach nanti.
So…. we called
it a day and went back home.
6th January
Hari ini, Opa akan mengajak
kami untuk berkunjung ke sebuah kota tua yang memiliki kastil yang juga sangat
terkenal di Jerman, Heidelberg. Jarak tempuhnya sekitar 2 jam dengan mobil dari
Offenbach. Kami berangkat sekitar pukul 11 dan sampai di Heidelberg pukul 1
siang.
Jalan menuju kastilnya
berupa tanjakan curam yang berliku-liku, sungguh bersyukur rasanya naik mobil,
bukan jalan kaki. Hehe. Kastil yang berada di puncak bukit sudah terlihat dari
jauh.
Setelah mendapatkan parkir
di pinggir jalan, kami langsung turun dan dengan bersemangat masuk ke pelataran
kastil. Wow, sungguh sangat terkesan dengan kastil ini. Super well-preserved,
mengingat tahun pembangunannya, juga sangat bersih, dan karena sedang musim
dingin, tidak begitu banyak orang yang berkunjung ke sini (terutama jika
dibandingkan dengan saat musim panas).
Kami berputar-putar di taman
bagian depan kastil, di mana kita bisa melihat reruntuhan kastil dengan jelas
dan juga mendapatkan pemandangan kota Heidelberg secara keseluruhan dari atas.
Setelah berputar-putar di
taman, kami menuju ticket office untuk membeli tiket masuk dan menyewa 1
audioguide. Harga tiket untuk dapat masuk ke bagian dalam kastil ini adalah 7
euro/adult dan 5 euro/child (plus 2.50 euro untuk 1 audioguide).
Bagian dalam kastil ini
terdiri dari beberapa bangunan. Kami mendengarkan penjelasan dari audioguide
dengan saksama. Sebagai saran saja, kalau sempat berkunjung ke sini, menyewa
audioguide adalah pilihan yang bijaksana (terutama jika tertarik atau penasaran
dengan sejarah dan berbagai simbol yang terpatri di banyak bagian kastil).
The inside square |
Dari yang kami lihat, kami
tetap tidak dapat masuk ke bagian dalam ruangan kastil kecuali jika kami
bergabung dengan tour group. However, ada Apothecary Museum yang bisa
dikunjungi secara gratis di bagian dalam museum ini.
Apothecary Museum ini berisi
berbagai macam obat tradisional (ada yang boleh kita cium baunya), peralatan
medis jaman dahulu, replika ruangan-ruangan apotek, sejarah dan filosofi dari
kegiatan medis, dan masih banyak lagi. Jangan bayangkan ini hanya museum
sepetak. Apothecary ini berada di bawah tanah dan berbentuk hampir seperti
labirin karena berputar-putar dan seperti tidak ada habisnya. Sangat menarik
dan educating, bahkan untuk orang dewasa.
Karena capek berjalan dan
lumayan lapar juga karena belum makan siang, akhirnya kami nangkring dulu
bersama Opa juga di café yang ada di ruangan yang dulunya merupakan ruang
menyimpan wine milik istana (keren, kan?). Lumayan mengganjal perut dulu dengan
apple strudl dan hot chocolate.
Hari sudah semakin sore dan
kami belum sempat melihat kota Heidelberg sendiri. Jadi kami keluar dari
lingkungan kastil setelah mengembalikan audioguide dan mengambil passport yang
dijadikan sebagai jaminan, dan karena kata Opa akan sangat sulit untuk mencari
parkir di Old Town, kami akhirnya setuju untuk jalan kaki saja.
Ingat kan bahwa untuk ke
kastil ini jalannya nanjak setengah mati? Nah, berarti kalau mau ke bagian
downtown, kami harus berjalan turun (yang juga curam), plus menuruni ratusan
anak tangga yang untungnya sudah disediakan bagi para turis yang mau langsung
berjalan kaki untuk mengunjungi kota tuanya Heidelberg.
Menapaki anak tangga
terakir, kami harus keluar dari gang kecil terlebih dahulu sebelum berhadapan
dengan sebuah square yang dihiasi dengan sebuah monumen di bagian tengahnya. Ada
beberapa anak kecil yang sedang berlarian dan 2 orang ibu yang sedang ngobrol
di bangku taman yang disediakan.
Kalau sudah sampai di square
ini, sebrangi dulu square-nya, kemudian berbalik badanlah. Wih, pemandangan
kastil yang terlihat menjulang di atas sebagai background dari square kuno ini
priceless, deh. Difoto pun tidak akan menggambarkan kerennya dibandingkan
dengan melihat secara langsung.
Sampai di downtown,
toko-toko sudah tutup dan langit sudah mulai gelap. Kami sempat berkunjung ke
gereja kecil yang ada di old town tersebut dan mampir ke Subway untuk
mengganjal perut sebelum perjalanan pulang karena malam ini kami ada janji
makan malam bersama Howard dan Sandra (anak Oma dan Opa).
7th January
Hhmmm… Betah banget nih kami
stay di Frankfurt sepertinya. Hari ini kami memutuskan untuk menginap semalam
lagi dan baru kembali ke Amsterdam besok. Jadi, karena hari ini kosong, kami
akan jalan-jalan bersama Oma Tati ke kota lagi!
Hari ini, karena lebih
santai dan ingin menikmati pemandangan sekitar, kami diajak naik tram saja oleh
Oma. Jadi kami naik mobil sampai stasiun tram Offenbach dan menitipkan mobil di
garasi rumah temannya Oma (karena kalau parkir di pinggir jalan tidak boleh
lebih dari 2 jam).
Untuk naik kendaraan umum
ber-5 dan seharian, kami membeli tiket dengan judul ‘Gruppenkarte’ (berlaku
untuk maksimal 5 dewasa) dengan harga 11.50 euro di mesin tiket.
Belum ada tujuan, Oma Tati
mengusulkan untuk naik tram sampai stasiun terakhir saja dan nanti baru naik
tram kembali dan turun di tempat lain (memang metode jalan-jalan kita agak
ngaco, nih. Hahaha).
Jadi rutenya adalah
Offenbach - Ginnheim dulu. Kami melewati old town-nya Frankfurt yang tidak
begitu ramai. Old town ini memang bukan merupakan salah satu tourist attraction
di Franfkurt, berbeda dengan kota-kota lain pada umumnya. Bagian kota ini
disebut ‘old town’ karena bangunan-bangunan di sepanjang jalan ini memang belum
diperbaharui dari jaman dahulu.
Kemudian kami juga melewati
Messe Frankfurt, salah satu gedung yang selalu ramai dan terkenal di Franfkurt.
Kenapa selalu ramai? Karena setiap harinya pasti ada pameran di sini. Messe
Frankfurt kurang lebih sama artinya seperti Jakarta Fair.
Sepanjang perjalanan pasti
deh melihat taman-taman kota yang nggak sekadar taman ecek-ecek atau kecil.
Taman biasanya berada di tengah kota, dengan rumput yang sangat rapi dan juga
pohon-pohon besar yang membentengi tamannya. Setiap beberapa meter akan
terlihat bangku taman yang biasanya ditempati orang-orang yang sedang membaca
koran atau mengobrol dengan temannya sambil memegang paper cup yang (mungkin)
berisi kopi. Banyak anak-anak kecil yang bermain sepeda dan ibu-ibu yang
mendorong baby stroller di taman. Sangat menyenangkan deh pokoknya. Kalau
melihat yang seperti ini, benar-benar berharap Indonesia juga kelak akan punya
taman-taman kota seperti ini.
Kemudian Oma Tati menunjuk
sebuah bangunan yang terlihat setengah-modern-setengah-kuno yang merupakan
University of Frankfurt. Tak lama, kami sampai di stasiun terakhir, yaitu
Ginnheim.
Kami turun dan menunggu tram
berikutnya yang muncul dan memutuskan untuk turun di Frankfurt Hbf. Dari Hbf,
akhirnya Oma mengajak kami ke Rommerberg, salah satu bagian dari pusat kota
Frankfurt, dan merupakan old town yang menjadi tourist attraction. Kalau sedang
Christmas, berkunjunglah ke sini. Christmas market di Rommerberg sangat
menyenangkan dan cantik. Akan banyak makanan tradisional, ada carousel, dan
musik di mana-mana.
Sayang, karena Natal telah
berlalu, sudah tidak ada Christmas market di sini. Kami hanya sempat
menyaksikan pohon natal segede pohon (iya, maksudnya segede pohon cemara yang
ada di hutan, tuh) sedang akan diturunkan. Kami kemudian mampir ke sebuah
souvenir shop untuk membeli postcard.
Hari sudah siang, jadi kami
berjalan kaki menuju Zeil (yeuh, Zeil deui) untuk mencari makan siang. Rupanya,
di salah satu department store, tepatnya Kaufhof Galerie, di bagian atasnya ada
sebuah food court dengan menu yang cukup bervariasi (tapi tetap European). Dan
karena memang tiba-tiba hujan, kami akhirnya tidak punya banyak waktu dan
pilihan untuk mencari restoran di luar.
Setelah selesai makan siang,
rupanya langit masih mendung dan gerimis masih turun. Tapi daripada diam-diam
di satu department store, kami akhirnya memilih untuk jalan melipir mepet ke
gedung supaya tidak kehujanan dan mampir untuk melihat-lihat department store
lain.
Hari dihabiskan dengan
putar-putar dan hunting beberapa barang lucu. Hehe. Kalau sedang cuci mata
memang waktu tidak terasa deh. Tiba-tiba hari sudah malam dan kami sudah harus
kembali lagi ke rumah karena masih harus packing untuk keberangkatan kami ke
Amsterdam besok.
8th January
Kami akan naik kereta
sekitar pukul setengah 12 siang. Karena harus berangkat secara terpisah supaya
koper-koper bisa dibawa dengan mobil, makan saya, Mami, dan Oma berangkat lebih
dahulu dengan bus dan U-Bahn, sementara 3 laki-laki akan naik mobil ke Hbf.
Kami bertemu di Hbf dan
masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum keberangkatan kereta (dan kereta
kami belum muncul juga di peron). Enough time for Tristan and I to frantically
lari-lari seputar Hbf untuk cari kotak pos. Hehe.
Nggak lama kemudian, kami
melihat bahwa kereta kami sudah tiba dan parkir. Segera kami mencari gerbong
kami dan menaikkan koper-koper. Setelah yakin semuanya beres, Oma dan Opa pamit
pulang dan kami berpeluk-pelukan dulu dengan harapan akan bisa bertemu lagi
dalam waktu dekat.
Perjalanan ke Amsterdam
memakan waktu kurang lebih 3 jam. Perbatasan Jerman dan Belanda ditandai oleh 1
hal yang sangat jelas terlihat. Apakah itu?
Wifi.
Hahahaha. Tapi ini serius.
ICE, kereta cepat Jerman, dilengkapi dengan fasilitas free wifi bagi
penumpangnya (dan wifi-nya nggak abal-abal, lho). Jadi begitu tiba-tiba wifi di
hape hilang, kami langsung tahu bahwa kami sudah masuk ke negara lain.
Hilangnya tiba-tiba banget sih, nggak pake aba-aba (kok jadi bahas wifi?).
Selain itu juga,
pemandangannya langsung terlihat berbeda. Bangunan-bangunan gaya Belanda dengan
ciri khas bata merah, kanal-kanal, dan orang-orang yang bersepeda langsung
memberi kesan yang jauh berbeda.
Sekitar 20 menit setelah
memasuki Negeri Kincir Angin, kami sudah bersiap-siap di pintu kereta untuk
turun di Amsterdam Centraal. Keinginan untuk turun dan jalan-jalan sebetar di
Utrecht kami batalkan karena jam sudah menunjukkan hampir pukul 3 sore.
Kami turun di Centraal dan
langsung naik kereta lanjut ke Sloterdijk karena kami telah memutuskan untuk
menginap di Meininger Hotel dengan pertimbangan tempatnya yang tidak jauh
dengan pusat kota dan juga kami sudah mengetahui tempatnya, jadi tidak perlu
mencari-cari lagi.
Karena datang di sore hari,
kami dapat langsung check in dan masuk ke kamar kami. Kami hanya meletakkan
barang-barang bawaan yang memberatkan kami, kemudian kami naik kereta kembali
ke Centraal, telah memutuskan untuk makan di Jasmine Thai lagi malam ini.
Untung jalan menuju Jasmine Thai mudah diingat.
"Today I Love You" from Amsterdam's Light Festival at the Main Canal |
Selesai makan malam, kami
berjalan-jalan sebentar mengelilingi lorong-lorong kota dan kemudian kembali ke
Centraal untuk naik kereta kembali pulang.
9th January
Hari terakhir bisa full dihabiskan
di kota yang super cantik ini huhuhu L
Satu-satunya rencana kami
yang spesifik hari ini adalah untuk mengunjungi Anne Frank Huis yang merupakan
salah satu museum paling terkenal di Amsterdam. Kami sudah memegang peta kota,
peta tram, dan telah meminta arahan dari resepsionis hotel tentang cara
mencapai Anne Frank Huis dari Centraal.
Nah, karena kami punya
banyak waktu dan hanya ingin jalan-jalan santai saja hari ini di Amsterdam,
kami memutuskan untuk naik bus menuju Centraal. Di tengah perjalanan pun kami
asal turun di sebuah stasiun hanya untuk mencoba jalan-jalan di daerah
pinggiran (kemudian naik lagi di stasiun berikutnya).
Sampai di Centraal, kami
sarapan terlebih dahulu di restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari
Centraal sebelum kami melanjutkan perjalanan dengan tram menuju arah Anne Frank
Huis.
Karena sudah diperlengkapi
dengan petunjuk yang jelas, juga arahan dari Google Map, sangat mudah menemukan
rumah Anne Frank yang sangat terkenal itu, tapi rupanya…….. ngantrinya nggak kuat,
man. Panjaaaaaaaannnggg banget. Aduh, sorry deh, tapi kayaknya nggak kuat kalau
harus mengantri sepanjang dan selama itu di luar dengan udara yang dingin.
Jadi kami langsung mundur
dari daerah itu. Batal sudah rencananya untuk berkunjung ke Anne Frank Huis.
Karena sudah tidak punya rencana, akhirnya kami naik tram kembali lagi ke arah
tengah kota, memutuskan untuk mampir ke sebuah Magna Plaza Mall yang kami lihat
saat perjalanan pergi tadi.
Putar-putar di dalam mall
rupanya membuahkan beberapa tentengan baru yang lucu-lucu. Hohoho. (hashtag:
sorrynotsorry)
Kemudian kami lanjut lagi
naik tram dengan arah tak pasti, seperti biasa, dan turun di tempat yang kami lihat
sedang mengadakan pasar. Tadinya kami kira itu adalah flea market yang memang
terdapat cukup banyak di Amsterdam, turned out it was a flower market.
Mostly bunga yang dijual
adalah bunga tulip. Dari yang masih bibit, yang masih kuncup, bahkan yang sudah
mekar dengan warna-warni yang sangat terang ada semua di sini. Yang lain adalah
tanaman-tanaman bonsai, dan puluhan jenis bunga lain. 17th Century
Canal Ring adalah nama daerah dari flower market ini. Kalau sempat atau memang
tertarik dengan tanaman, silakan menyempatkan diri untuk berkunjung ke sini!
Sisa hari kami habiskan
untuk lanjut naik turun tram. Sempat kami melewati Amsterdam Zoo dan sudah
berniat masuk. Tapi begitu melihat harga tiketnya 20 euro/person……….. hm, hatur
nuhun, deh ya. Walau tahu bahwa kebun binatang ini sangat bagus (terlihat lah
dari luar sudah bagus sekali), tapi tetep aja sepertinya terlalu mahal harga
tiketnya kalo 20 euro. Hehe.
Singelgracht |
Kemudian sempat juga masuk
pasar sayur dan buah, baju dan sepatu bekas, pasar makanan, dll. Pokoknya hari
ini benar-benar jalan-jalan sampai gempor dan menjelajah setiap sudut Amsterdam
yang bisa dijelajah deh.
Sore hari, kami kembali ke
kota dan kami menikmati early dinner yang memang sangat nikmat di El Rancho
Argentinian Grill, salah satu Argentinian Grill yang dinilai terbaik di kota
ini. Ini sih wajib dicoba. Cabangnya ada di banyak tempat di Amsterdam kok,
silakan dicari di internet.
Langit sudah benar-benar
gelap ketika kami selesai makan. Kami kembali naik tram dengan niat untuk
kembali ke tengah kota, tapi belum benar-benar sampai di tengah kota, kami
turun di satu stasiun, yang bernama Spui, karena melihat beberapa toko yang
menarik mata.
ABC. Kalau suka buku, wa-jib-ke-si-ni! |
Saya melihat 2 buah toko
buku yang sangat besar berseberangan, sementara Mami dan Tristan melihat
H&M. Long story short, saya memutuskan untuk stay di dalam toko buku saja
(America Book Center) sementara Mami, Daddy, dan Tristan lihat-lihat baju ke
toko lain. 1 jam kemudian kami sudah bertemu lagi, membayar buku yang dibeli
(bahasa Inggris, kok, bukan Belanda :p), kemudian melanjutkan berjalan kaki
dulu sampai kami melihat bahwa hampir semua toko telah tutup, kemudian kami
kembali ke hotel untuk packing.
10th January
Hiks, hiks, hiks. Ini
benar-benar hari terakhir kami di Amsterdam.
Pesawat kami akan terbang
pukul sekitar pukul 12 siang ini. Kami sudah siap di halte bus nomor 69 yang
akan langsung mengantar kami ke Schiphol dari Sloterdijk pukul 9 pagi.
Perjalanan dengan bus dari
Sloterdijk menuju Schiphol memakan waktu sekitar 45 menit (dengan kereta hanya
7 menit). Tapi karena memang kami tidak terburu-buru, kami memutuskan untuk
naik bus saja, karena tidak perlu ganti juga.
Well, berikutnya adalah
proses-proses pada umumnya. Check in, pemeriksaan passport, kemudian boarding.
It’s been a wonderful and fantastic holiday, now it’s time to go back to
the 32 Celcius degree of Jakarta’s heat! Hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar