Minggu, 24 Januari 2016

Europe Trip Dec 2015 - Jan2016

18th Dec

Kemarin, tanggal 17 Desember 2015, kami terbang menuju benua lain. Pesawat kami take off sekitar pukul setengah 6 sore. Berangkat dari rumah 6 jam sebelum keberangkatan dengan cita-cita bisa mampir ke mall untuk potong rambut dan beli beberapa snacks untuk bekal rupanya nggak  kesampean. Lalu lintas Jakarta yang luar biasa (one of a kind pokoknya), berhasil bikin kami deg-degan takut ditinggal pesawat instead of sempat mampir ke mall. Fortunately, we made it! Walau agak buru-buru, tapi kami juga nggak terlambat boarding.

17 jam penerbangan berikutnya membawa kami ke destinasi liburan kami yang pertama, Amsterdam.


Begitu mendarat di Schiphol Airport dan mengambil koper-koper di luggage claim, tujuan pertama kami adalah mencari tiket untuk public transportation di Amsterdam. Terakhir kami main ke Amsterdam (tahun 2011), ada relative yang jemput dan mengantar ke mana-mana, jadi perjalanan kali ini rasanya agak seperti pengalaman pertama di Amsterdam.

Nah, sebelum sempat beli tiket, ada satu hal kecil yang jadi ‘kecelakaan’ lucu. Waktu lagi jalan ke arah information, Mami sempat nyeletuk, “Wih, kok ada bau rendang nih. Bikin laper, deh,”. Masalahnya, kami memang bawa rendang di koper. Begitu jalan agak jauh dan bau rendangnya masih mengikuti, rasa curiga makin kuat. Dengan agak deg-degan, dibukalah akhirnya salah satu koper besar yang kami bawa. Rupanya yang dicurigai beneran terjadi. Rendang yang kami bawa tumpah di koper! Well, technically, sebagian besar kuah dan minyaknya sih yang tumpah. Untung baju yang ada di dalam koper itu semuanya dimasukkan ke sealer plastic bag, jadi nggak ada yang ikut ketumpahan. Mau nggak mau, menyingkirlah kami ke pinggir dan nyolong tissue agak banyak dari toilet untuk pertolongan pertama. Setelah mengeringkan sebagian besar barang (walaupun pastinya mostly masih berminyak), kami lanjut jalan lagi untuk cari tiket.

Pertamanya kami keukeuh coba beli tiket di ticket machine, walau udah baca di internet bahwa untuk beli tiket di machine itu nggak cocok untuk tourist karena harus bayar pake kartu. Tapi setelah dicoba, dan memang nggak bisa, akhirnya baru kami tanya ke information center. Petugasnya memberi arahan singkat untuk menuju counter yang menjual tiket.

Gampang ketemunya, cuma memang harus agak sabar ngantri, apalagi kalau lagi rame. Tulisan di counter-nya ini memang sebagian besar tentang destinasi antarkota atau antarnegara, tapi ticket counter itu juga menjual tiket dalam kota.

Kami tanya ke petugasnya tentang tiket yang paket, untuk 4 orang dan berlaku harian. Petugasnya kemudian memberi kami rekomendasi untuk menggunakan Amsterdam Travel Ticket. Amsterdam Travel Ticket ini terdiri dari 3 pilihan. Ada yang 1-day ticket, 2-day ticket, dan 3-day ticket. Akhirnya kami memutuskan untuk beli 3-day ticket dengan harga 24 euro/person (dan akhirnya sadar bahwa kami sebetulnya hanya perlu beli 2-day ticket, tapi yaudahlahya).

Setelah dapat tiket, kami meminta arahan ke Stasiun Sloterdijk, stasiun yang terdekat dengan hotel yang akan kami inapi, Meininger Hotel. Rupanya Sloterdijk ini salah satu stasiun besar (bukan minor) dan hanya 1 station away dari Amsterdam Centraal kalau naik kereta (GVB).

Walau awalnya agak kebingungan menemukan lokasi hotelnya, kami berhasil sampai. Karena itu baru sekitar jam 10 pagi, kami memang belum bisa check-in. Seperti biasa, kami akhirnya menitipkan koper-koper kami di hotel setelah mengambil jaket-jaket winter kami sebelumnya.

Kami kembali ke Sloterdijk Station, dan karena liburan kali ini sangat nyantai (bahkan kami nggak bikin itinerary), kami akhirnya naik kereta lagi ke Amsterdam Centraal. Turun, kami keluar dari stasiun, dan tujuan pertama kami (tentunya) adalah Manekken Pis, salah satu shop penjual Vlaamse frites paling terkenal di Amsterdam.

“Vlaamse Frites”, atau kalau dalam bahasa Inggris berarti Flemish Fries, referring to “Vlaanderen” (Flanders), which is the northern, Dutch-speaking part of Belgium. Dutch ini nggak mengadaptasi bahasa Prancis seperti Jerman, makanya makanan ini disebut Vlaamse Frites, bukan Pommes Frites.

“Vlaamse” dianggap sebagai sebuah quality label dan berarti fries yang dijual standarnya lebih tinggi dari fries baisa yang dijual di snackbars biasa Belanda. In general, the quality of the fries is reasonably good which should not surprise as the Bintje potato, specially cultivated for fries, is a Dutch produce. Shop-shop terkenal seperti Manneken Pis, De Belg, atau Vleminckx, benar-benar hanya menjual fries, whereas shops lain biasanya menjual snack-snack lain.

Nah, beruntung waktu kami sampai di Manneken Pis terdekat dari Centraal (harus nyebrang dari stasiun, mengarah ke pusat kota sedikit, di sepanjang main canal), Manneken Pis sedang tidak gila antrinya, hanya 2 orang di depan kami. Biasanya, antriannya bisa super panjang karena peminatnya banyak sekali.

So afterwards, Mami kepengin naik tram. Seperti biasa, kami senang naik tram sembarangan dan turun di tempat yang menurut kami menarik. Akhirnya kami naik salah satu tram di halte terdekat, yang arahnya berlawanan dengan arah Centraal. Setelah beberapa stop, kami melihat ada Christmas Market kecil (kecil sekali kalau dibandingkan dengan Chrtistmas Market-nya Jerman), jadi kami memutuskan turun. Kami turun di stasiun yang bernama Rembrandtplein. Tristan akhirnya membeli waffle dan Mami membeli crepes yang dijual di salah satu hut.

Kami lanjut berjalan kaki tanpa arah, took some cute pics here and there, mengagumi cantiknya Amsterdam yang nggak berubah dari tahun ke tahun. Kami jalan dari satu jembatan ke jembatan lain, senang sekali melihat pemandangan kanal-kanalnya.


Setelah hari semakin siang dan akhirnya kami mulai merasa lapar, kami naik tram kembali ke arah Centraal, tapi turun di pusat kota. Kami berusaha mencari restoran yang menarik di salah satu lorong-lorong kecil Amsterdam, tapi akhirnya memutuskan untuk berhenti di salah satu Argentinian restaurant (yang ada di mana-mana di Amsterdam. Very famous for its steaks.) dekat Centraal. Nah, kalau mau makan di Eropa, lebih baik jangan langsung pesan banyak. Karena biasanya 1 porsi cukup untuk 2 orang.

Well, setelah makan siang, kami jalan-jalan lagi sedikit. Sekitar jam 4 sore, kami mulai capek dan memutuskan untuk kembali ke hotel, check in, dan get some rest. Salahnya adalah kami sudah tidur sekitar jam 7 malam, jadilah kami jet lag sekali dan bangun jam 2 pagi keesokan harinya.










19th December

As I was saying, we got up extremely early. Mami, Daddy, dan Tristan akhirnya turun ke dapur (dapur bersama yang disediakan hotel), karena Tristan lapar dan pengin makan rendang. Afterwards, we managed to get 1 more hour of sleep sebelum kami mandi dan turun untuk sarapan beneran.

Tujuan pertama dan utama kami hari ini adalah Rijksmuseum. Kami berangkat dari hotel sekitar jam 10 pagi. Sesuai arahan yang kami lihat dari internet, kami naik tram nomor 12 dari Sloterdijk ke Museumplein. Seperti namanya, Museumplein memang sebuah daerah di mana mayoritas museum-museum Amsterdam berkumpul. Ada Van Gogh Museum, Amsterdam Museum, Rijksmuseum, Diamond Museum, juga the famous Concert Gebouw Opera House.

Cuaca hari ini cukup bersahabat walau terkadang angin dingin bertiup. Kami berjalan menyeberangi lapangan hijau dan super luas. Banyak orang yang sedang berolahraga, main sepak bola, main frisbee, main dengan anjingnya, atau sekadang sedang duduk-duduk saja. Museum Van Gogh ada di sebelah kiri kami, sementara bangunan besar dan megah Rijksmuseum mulai terlihat. Sebelum mencapai Rijksmuseum, kami foto-foto dulu di depan tulisan I AMSTERDAM yang sangat terkenal. Ada juga Christmas market yang cukup besar di sini, plus ice rink bagi yang mau main ice skating.

Kami membeli tiket di official souvenir shop yang ada di seberang bangunan Rijksmuseum. Harga tiket masuk ke museum ini adalah 17.50 euro/person untuk yang berusia di atas 18 tahun dan tidak memegang kartu pelajar. Sementara untuk yang berusai di bawah 18 tahun, it’s free admission! Memang, harganya agak pricey, tapi setelah masuk ke Rijksmuseum, I get to say that it’s freaking worth the price. Trust me on this. The museum blew my mind away.

Rijksmuseum sendiri merupakan museum nasional utama di Belanda. Museum ini menampilkan karya seni dan sejarah Belanda mulai dari abad pertengahan sampai saat ini. Banyak karya seni terkenal dunia dari Golden Era-nya Belanda ditampilkan di sini. Penataan ruangan, penyusunan lukisan, penjelasan yang detail dan membuat kita berkali-kali melihat kembali ke lukisannya untuk menganalisa, juga tata cahaya lampu di museum ini ju-wa-ra!

Ini adalah beberapa karya seni yang dinyatakan sebagai Rijksmuseum’s top-list:
  • 1.     Night Watch, yang merupakan lukisan karya Rembrandt van Rijn yang paling terkenal di seluruh dunia.
  • 2.     Galeri Kehormatan (Gallery of Honour) museum, dimana lukisan-lukisan karya para pelukis besar di ditampilkan, termasuk Frans Hals, Jan Steen, Vermeer dan Rembrandt. Bahkan jika Anda hanya memiliki sedikit waktu luang untuk berkunjung, museum ini adalah tempat dimana Anda dapat melihat karya seni terbaik dari Zaman Keemasan, di satu tempat.
  • 3.     Mempelajari kehidupan Zaman Keemasan, dengan menjelajahi rumah boneka berusia berabad-abad ini, yang tertua berasal dari tahun 1676.
  • 4.     Koleksi tembikar cantik dari Delft Blue, mulai dari satu set cangkir minum teh sampai vas bunga.
  • 5.     Cuypersbibliotheek, yang merupakan perpustakaan sejarah seni terbesar dan tertua di Belanda.Renovasi besar-besaran telah mengembalikan tempat ini pada kemegahan aslinya. (THIS IS INSANE!!!)
But, here are my personal favorites. Saat memasuki ruangan pertama, lukisan pertama yang digantung di sebelah kiri berjudul Summer Luxuriance oleh Jac van Looij. The first thing I said was, “Memang beda rupanya.” Maksudnya, ada jutaan orang di dunia ini yang bisa melukis dengan bagus, dan ada sekelompok kecil orang yang bisa melukis dengan sangat bagus. Tapi, di samping lukisan ini ‘sangat bagus’, pengalaman melihat langsung lukisan-lukisan yang memiliki nilai sejarah tersendiri rupanya memang pengalaman spesial. Bisa melihat dari jarak hanya beberapa centimeter gradasi warna dan pattern polesannya adalah sesuatu yang luar biasa. Kalau sudah melihat langsung, pasti akan mengerti mengapa lukisan-lukisan ini memiliki value tersendiri.


Dan Summer Luxuriance ini… sulit dijelaskan. There’s something meaningful and special about it. You don’t merely see it, you also can feel it.

Nah, first of all, I want to tell you that they have a little piece of Indoesia here and there, tapi nggak disangka-sangka, rupanya di dekat ruangan pertama ini, ada ruangan yang khusus didedikasikan untuk Indonesia. Ruangan ini berisi lukisan-lukisan tentang Indonesia (places, people, traditions), ada miniature pasar tradisional di Jawa, ada batu berlian yang berasal dari Kalimantan dan dulunya dipakai oleh seorang Sultan. Ada juga beberapa senjata tradisional dan sculptures. Tapi lukisan yang (personally, I think) sangat berkesan adalah yang berjudul The Arrest of Pangeran Diponegoro.


The Arrest of Pangeran Diponegoro

Kalau melihat lukisan in dari dekat, pasti bisa dengn jelas melihat wajah Pangeran Diponegoro. Dan bukan hanya wajahnya, tapi ekspresi marah, kecewa, dan dikhianati tergambar jelas di lukisan ini.

Also, ada lukisan yang menggambarkan seorang petinggi Belanda dan Mangkunegoro sedang mengendarai kereta kuda kesultanan. Dan ada sebuah scenery painting. Dari judulnya, kita bisa tahu bahwa itu adalah pemandangan dari Rajapolah. Ingat sesuatu tentang Postaal Weg, salah satu proyek paling besar dari Daendels? That’s it. That’s the paiting of Postaal Weg.

Tapi yang (once again, I think) sangat intriguing dari lukisan ini selain lukisannya adalah penjelasan mengenai lukisan ini. Dijelaskan secara singkat bahwa Postaal Weg adalah salah satu proyek Daendels yang paling prestigious. But it also wrote the fact that the project had caused a vast amount of death of the workers. And I smiled a little when I read the last line; “but it (the deaths) is clearly not depicted here, on this romanticized painting.”

Okay, moving on. Lukisan berikutnya adalah lukisan yang menggambarkan Pharaoh dan istrinya yang sedang meratapi kematian putra sulung merea akibat 10 tulah. The pharaoh sits stiffly on what I suppose is his throne, with his son on his lap, his eyes are teary, while his wife buried her face on her dead son’s torso. Dan kalau membaca penjelasan tentang lukisan ini, you’ll notice that on the right upper corner of the painting, there’s this silhouette of 2 men. They’re Moses and Aaron. How intriguing is that?

Salome
Berikutnya, ada lukisan Salome. Salome ini digambarkan sebagai gadis yang sangat cantik dengan gaun yang cantik juga (clearly, because she’s a royal), kerudung putih, curly brown hair, and fair skin. Tadinya lukisan ini hanya memikat karena kecantikan Salome, tapi setelah membaca penjelasannya, baru memperhatikan bahwa perempuan cantik ini sedang membawa nampan. And…… it was John the Baptist’s beheaded head, covered with a white sheet. Hm. Tapi setelah melototin lukisan ini beberapa lama, analyzing and contemplating it, I couldn’t quite decode her expression. What was she feeling?

Well, selain beberapa lukisan di atas, sisanya adalah karya-karya yang sudah disebutkan di top-list nya. Ceramic collections nya memang sangat cantik, jadi berkunjunglah kalau sempat.

Akhirnya setelah capek dan lapar (padahal belum puas keliling), kami keluar mengambil barang yang dititipkan sebelum masuk tadi, dan mulai membuka logistik untuk menggajal perut. Hehe. Untung Mami sempat bawa telur, roti, keju, dan beberapa slice daging ham. Kemudian kami memanfaatkan wifi yang tersedia untuk googling tentang Thai Restaurant di Amsterdam (because a bowl of hot tom yam would be sooo nice in the cold weather). Memang sih restoran yang keluar ada banyak, tapi mayoritas restoran-restoran Thailand itu baru buka sekitar jam 4 atau jam 6 sore, padahal saat itu masih jam 1 siang.

Untungnya, akhinrya kami berhasil menemukan satu Thai Restaurant yang buka sepanjang hari. Jasmine Thai Restaurant, namanya, ada di jalan yang bernama Zeedijk. Akhirnya kami naik tram Centraal-bound, kemudian turun di Dam Station. Blessed Dutch’s generosity on wifi, kalau nggak ada bantuan wifi di tengah kota, pasti akan agak sulit untuk menemukan restoran ini. Dari Dam Station, kami menyebrangi jalan dan berjalan ke arah main canal lagi. Setelah berjalan dari alley ke alley dan melewati 2 jembatan, kami akhirnya sampai di Zeedijk. Zeedijk terlihat agak seperti China Town karena ada klenteng di gang ini dan restoran-restoran yang berjejer di sepanjang jalan ini adalah Non-Dutch’s restaurants.

Jasmine letaknya nggak terlalu jauh dari klenteng, jadi kami masuk dan langsung pesan makanan. It’s a mid-range price restaurant dengan masakan Thailand yang masih terasa asli dan enak. The service was also very nice.

Well, setelah makan, kami hanya berjalan-jalan lagi seperti biasa, menyempatkan diri beli postcards dan international stamps. Dan nggak lama kemudian langit mulai menggelap dengan cepat. So we went back to the hotel to pack things up.


20th December

Basically hari ini kami habiskan di kereta menuju ke Leipzig, Jerman.

Kami berangkat dari hotel sekitar pukul setengah 8 pagi. And to our surprise, kereta pertama yang menuju ke Centraal dari Sloterdijkj adalah pukul 7:56 am. Jadilah kami berdiri di pinggir rel, dengan agak kedinginan, menunggu keretanya datang. Dan cita-cita kami untuk bisa naik kereta yang jam 8 pagi (because it’s ICE) gagal.

Kami sampai di Centraal sekitar jam 8:05 dan langsung menuju ke ticket office untuk validasi tiket Eurail yang akan kami gunakan untuk berpindah-pindah kota (dan negara) selama perjalanan ini.

Karena sudah nggak mungkin naik kereta yang jam 8, kami memutuskan untuk naik kerete berikutnya yang berangkat pukul 09:01 am. Perjalanan ke Leipzig memakan waktu sekitar 7 jam dengan layover di Hannover Station.

Kami sampai di Leipzig sekitar pukul setengah 5 sore. The Hauptbahnhof (main station) was very beautiful with the Christmas ornaments dan lagu-lagu Natal di mana-mana.

Me and my brother were sent to buy the tram tickets. Kami harus putar-putar di 2 lantai dan bertanya ke 2 orang ibu-ibu super jutek yang bertugas di information center (and they don’t even speak English, for cheese’s sake!) sebelum akhirnya kami berhasil menemukan machine ticket. Tapi karena bingung dengan metode pembelian tiketnya, akhirnya kami ke travel center office, untuk jaga-jaga agar tidak salah beli tiket.

Setelah sukses melakukan tugas, kami akhirnya makan malam di salah satu Asian Restaurant yang ada di mall satu lantai di bawah stasiun. Really good food for very reasonable price!

Setelah itu kami naik tram menuju ke apartment yang telah kami booking untuk stay di Lepzig. Tram yang kami naiki adalah tram nomor 4 yang mengarah ke Stotteritz, dan kami turun di Ostrasse Stasion.


21st December

Hari ini adalah hari pertama dan satu-satunya hari di mana kami bisa explore Leipzig sebelum cabut ke Dresden. Jadi setelah kami sarapan dan bersiap-siap, kami kembali naik tram nomor 4 ke arah Hbf (Hauptbahnhof) untuk mencari informasi mengenai bus yang berangkat menuju Dresden. Dari beberapa searching yang kami cari, kami sudah menetapkan bahwa karena jarak yang tidak terlalu jauh, kami akan naik bus saja ke Dresden dibanding harus menggunakan Eurail Pass kami. Bus yang kami cari adalah FlixBus.

Tapi begitu sampai di travel center di Hbf, kami harus mengantri dan menunggu 23 orang di depan kami sebelum bisa membeli tiket (padahal belum tentu juga bisa beli tiket di sini). Jadi kami menggeleng-gelengkan kepala saja dan keluar dari Hbf. Daripada membuang waktu, kami memutuskan untuk mengunjungi Evangelisch-reformierte Kirche. Letak gereja ini tidak jauh dari Hbf, akan kelihatan kalau berdiri di bagian depan Hbf dan melihat ke sebelah kanan. Jadi kami tentunya memutuskan untuk berjalan kaki saja ke sana Setelah sampai di bagian depan gereja, rupanya ada 2 orang yang sedang berusaha memindahkan pohon Natal dari truk ke dalam gereja. Dan setelah bertanya, rupanya kami tidak diizinkan untuk masuk ke dalam gereja (I had no idea whether it’s due to the Christmas tree thing or if it really was prohibited for tourist on a daily basis).

Jadi kami hanya foto-foto saja di bagian depan gerejanya dan memutuskan untuk berjalan kaki ke halte FlixBus yang kami lihat saat dalam perjalanan menuju Hbf pertama kali tadi pagi. Nah, di tempat ini ada seorang perempuan yang memakai jaket seragam FlixBus. Awalnya agak ragu apakah perempuan ini memang petugas FlixBus atau kebetulan punya jaketnya saja, tapi daripada lama, kami beranikan diri saja bertanya. Untungnya, kam tidak salah orang, dan dia langsung memberi petunjuk ke sebuah kantor agen perjalanan di mana kami bisa membeli tiket FlixBus menuju Dresden.

Karena kantornya dekat, kami langsung menuju ke kantor tersebut supaya merasa aman setelah tahu bahwa kami punya tiket untuk besok. Long  story short, petugas di travel agency ini (who looks a lot like Jeremy Davis!) memberitahu kami bahwa kalau kami naik kereta lokal, harga tiketnya lebih murah 5.50 euro dibanding kalau kami naik bus. Jadi tentu saja kami memilih untuk pergi naik kereta. (Oh, also there’s an extra 10 euro we had to pay for the travel agency fee).

Setelah misi utama di hari itu dilengkapi, kami jadi lebih tenang. Karena dingin, kami jadi cepat sekali lapar (alasan aja :p). Jadilah kami mampir ke McD untuk menghangatkan diri dan makan apple pie. Woohoo!

Johann Sebastian Bach
Setelah itu kami basically hanya jalan-jalan di sekitar Augustusplatz neighborhood. Kalau sudah sampai di tengah kota ini, akan sangat mudah untuk locate Old Town Hall, the city’s mall, St. Thomas Church dan Bach Museum. Pasti akan kelihatan di sekitar. Kami sempat mampir ke gerejanya, tapi waktu kami mau masuk ke Bach Museum, rupanya museumnya sudah tutup (padahal baru jam 2 siang?!). Tapi rasanya sudah cukup lah melihat kuburan dan monument Mr. Bach di gereja St. Thomas tadi.


So after that, we got back to our best habit, which is fooling around the Christmas Market dan jajan-jajan makanan. Hehe. Finally I was reunited with the mandeln peanuts aka the best peanuts in the entire universe aka the love of my life. <3

Setelah jam 5 sore, kami akhirnya naik tram kembali ke Hbf dengan cerita bahwa tadi pagi Mami nggak sengaja merusak spatulanya Mr. Ho (the apartment’s owner). Hm. Jadilah kami harus mencari replacement untuk spatulanya, of course. Walau gagal menemukan spatula yang persis, kami berhasil ketemu yang mirip di salah satu supermarket di Hbf. At least niat ganti, kan? Hehe. (Padahal emang wajib).

Then we called it a day and went back home.



22nd December

Pagi ini kami naik kereta pukul 11 pagi dari Leipzig Hbf menuju Dresden Hbf. Perjalanan ke Dresden tidak memakan waktu sebanyak dari Amsterdam ke Leipzig, hanya sekitar 2 jam perjalanan dengan kereta lokal.

Sekitar siang hari, kami sudah sampai di Dresden Hbf. Kami membeli tiket public transportation setempat dan mengikuti arahan dari apartment renter kami, kami mencari tram yang menuju ke Alaunplatz. Anehnya, sampai pada tujuan terakhir dari tram yang kami tumpangi, kok tidak ada stop yang bernama Alaunplatz.

Rupanya kami kelewatan, mungkin tidak melihat pengumuman stop-nya dan tidak memencet stop button sehingga tram berjalan terus saja tanpa berhenti. Untuk mencari apartment yang kami sewa juga memakan waktu yang cukup banyak. Apartment kami terletak di Fuhrlingerstrasse, dan rupanya kami baru tahu bahwa jaraknya cukup jauh dan terpencil dari stasiun Alaunplatz.

Ketika kami akhirnya berhasil menemukan apartment-nya dan memasukkan barang-barang kami, jam sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore. Setelah makan sebentar di apartment, kami segera keluar lagi. Sama seperti di Leipzig, kami hanya akan menghabiskan 2 malam di Dresden, maka dari itu kami nggak mau rugi dengan hanya berdiam diri di apartment walaupun memang agak capek.

Jadi kami naik tram kembali ke Altmarkt untuk melihat Christmas Market-nya Dresden. Main gate Christmas market langsung ada di hadapan kami ketika kami turun dari tram. Dresden’s Christmas market was even more beautiful than Leipzig’s. Kami disambut dengan patung Nutcracker Prince super besar di depan gate-nya, kemudian ada jembatan buatan, ada pohon natal yang terang dan besar sekali di tengah-tengah market, dan ada ferris wheel yang sangat eye-catching. Pokoknya, memang orang Jerman nggak main-main deh kalau bikin Christmas market. It’s part of the Germans’ tradition, so they take it very seriously.

Dresdner's Xmas Market

Nah, satu-satunya masalah adalah Christmas market ini super duper crowded. Like, SUPER crowded. Mau jalan dengan bebas jadi susah karena kiri-kanan-depan-belakang sudah didesak orang lain. Karena pusing dengan banyaknya orang, kami memutuskan untuk keluar dari tengah-tengah keramaian dan menyingkir saja. Tapi untungnya kami sempat mencoba salah satu makanan yang hanya dijual saat Christmas, yaitu Lángos.

Originally, Lángos ini adalah fried bread yang berasal dari Hungary, hanya terbuat dari tepung, ragi, garam, dan air. Lángos ini harus langsung dimakan begitu baru selesai digoreng, supaya masih fresh dan panas. Biasanya dimakan dengan sour cream dan grated cheese di atasnya, bisa juga dengan ham, susages, atau kadang hanya diberi garlic butter di atasnya (optional). Enak sekali! Rotinya tidak berminyak walaupun baru digoreng, dan sour cream serta cheese-nya juga pas.

Nah, akhirnya setelah sempat mencoba Lángos, barulah kami menyingkir ke tempat yang paling aman dan hangat untuk berlindung, yaitu mall. Hehe. Karena Altmarkt ini merupakan salah satu bagian dari pusat kotanya Dresden, jadi ada salah satu mall (or mungkin satu-satunya) yang bernama Altmarkt Gallerie di sini.

Kami berencana untuk sekaligus mencari makan malam yang ‘bener’ di mall ini, tapi setelah putar-putar, kebanyakan yang tersedia hanya fast food restaurant dan kami  sama sekali tidak berminat untuk makan di fast food restaurant. Tapi akhirnya kami menemukan sebuah restoran Asia di belakang mall. Anh-Tu, nama restorannya.

Jadi lah kami order tom yam dan nasi lagi. Well, untuk yang ini, I wouldn’t recommend this one. The tom yam smelt like tom yam but tasted like ‘eh’. Yah, paling enggak kami menemukan tempat untuk makan malam ini sebelum kembali ke apartment.


Alaunplatz di pagi hari
23rd December

Yep, saatnya keliling-keliling Dresden hari ini. Kami berangkat pukul 9.30 pagi dengan tujuan pertama adalah Theaterplatz. Theaterplatz adalah tempat di mana hampir semua main attraction dan old buildings di Dresden berkumpul. Tempat ini ada di sekitar Zwinger, opera building, gereja-gereja tua, museum-museum, dan masih banyak lagi.

Nah, berbekal hasil searching di internet, berangkatlah kami. Kami naik tram nomor 13 (Prohlis), turun di Bautznerstrasse/Rothenburgerstrasse. Kemudian ganti tram nomor 6 (Wolfnitz), turun di Neustadt Bahnhof. Kemudian setelah meminta petunjuk singkat dari petugas bahnhof, kami jalan kaki ke Anton/Leipzigerstrasse station, kemudian –seharusnya- kami naik tram nomor 4.

Yang terjadi setelah kami sampai di Neustadt Bahnhof dan harus jalan kaki sekitar 7 menit ke Anton/Leipzigerstrasse station adalah….. nggak ada tram nomor 4 di stasiun ini.

Untungnya, setelah bertanya kami bertemu dengan orang lokal yang dengan baik hati mau mencarikan tram untuk kami di jadwal keretanya (yang full berbahasa Jerman), dan kami diberitahu untuk naik tram nomor 11 (Zschertnitz) dan turun di Postplatz, akan cukup dekat untuk jalan kaki menuju ke Theaterplatz.

Dan rupanya, stasiun Postplatz station ini adanya di belakang Altmarkt Gallerie. Yaelah, tau gitu kan naik tram yang ke Altmarkt aja ya, nggak pake ribet naik-turun dan kebingungan. Tapi yaudahlah, yang penting sudah sampai juga.

Jadi akhirnya kami masuk ke mall dulu untuk ke toilet dan tadinya sih mau cari tempat makan juga, tapi tetep nggak ada yang pas di hati. Membatalkan rencana makan, kami langsung berjalan ke daerah Zwinger yang ada di sebelah Altmarkt Gallerie.

The Zwinger (Dresdner Zwinger) adalah sebuah istana di Dreden, eastern Germany, yang dibangun dengan gaya Rococo dan didesain oleh court architect, Matthäus Daniel Pöppelmann. It served as the orangery, exhibition gallery, and festival arena of the Dresden Court.

Lokasi Zwinger ini dulunya merupakan salah satu bagian dari benteng kota Dresden. Nama Zwinger berasal dari salah satu kata dalam bahasa Jerman yang berarti an enclosed killing ground in front of a castle or city gate (gimana deh tuh bahasa Indonesia-nya).

Nah, kalau sekarang, Zwinger menjadi semacam kompleks yang berisi museum-museum, antara lain Gemäldegalerie Alte Meister (Old Masters Picture Gallery), the Dresden Porcelain Collection (Porzellansammlung) dan the Mathematisch-Physikalischer Salon (Royal Cabinet of Mathematical and Physical Instruments).

Karena hari belum terlalu siang, jadi belum terlalu banyak grup-grup tour yang berkeliaran di sini. We took the advantage to take some nice pictures, of course.

Kalau sudah ada di daerah ini, sebetulnya nggak perlu khawatir untuk harus pergi ke mana-mana lagi, sih. Karena ini benar-benar pusat kotanya Dresden. Seperti yang sudah disebutkan tadi, di sini ada banyak old churches yang bisa dikunjungi dan naik ke tower-nya untuk melihat pemandangan kota Dresden dari atas, kemudian ada square-square besar dan penting, ada food court (or something like that), ini juga tempat di mana Neumarkt berada, Christmas market, the Catholic Church of the Royal Court, Semper Opera House, museums, patung-patung dan monumen-monumen penting tersebar di sini, juga mural Procession of the Princes yang sangat terkenal. Kurang apa lagi, coba? Almost everything you want (and need) to see in Dresden. Habiskan seharian lah untuk putar-putar di sini. Rasanya benar-benar seperti kembali ke jaman dahulu, sampai lupa ini sudah abad ke-21.

Nah, ceritanya nih, kami ingin masuk ke dalam Gemäldegalerie Alte Meister museum. Tapi karena semua orang yang berjalan-jalan di sekitar museum ini pakai tour group, jadilah kami berasumsi bahwa we should be with one, too. Selain itu, pintu gerbang museumnya tuh tertutup dan para tour group yang mau masuk ke museum ini mengantri di depan pintu.

Jadi, kami mencari informasi lah tentang tour group. Ada beberapa poster dan informasi mengenai jam tour di depan Semper Opera House. Rupanya, Dresdner Altsadt tour yang berbahasa Inggris baru akan mulai jam 3 sore nanti. Tour ini diberi harga 10 euro untuk adult, 6 euro untuk kategori reduced, 25 euro untuk family. Kalau di sini ‘family’ berarti 2 adult dan maksimal 5 orang anak yang berusia di bawah 18 tahun.
Mau ngamen harus modal :p

Karena saat itu masih jam 12 siang, jadi kami memutuskan untuk mencari makan siang dulu sekalian menunggu tour nya mulai. Oh, kalau mau ikut tour nya ya harus siap-siap aja di depan Semper Opera House dan tunggu loket tiketnya dibuka.

Jadi akhirnya kami jalan-jalan dulu, sempat nonton ‘pengamen-pengamen’ super keren dengan grand piano dan saxophone. Dan sambil jalan-jalan akhirnya kami sampai ke sebuah corner yang isinya restaurant semua. Eh, memang dasar jodoh, ada Samui Thai Restaurant di depan mata. Tanpa pikir 2 kali, langsung saja masuk ke restaurant-nya. Yang ini jelas jauh lebih baik rasanya daripada Anh Tu kemarin, dan waitress-nya juga fasih berbahasa Inggris.

It was already 2 past something when we finally finished our lunch. Kami bertanya ke waitress-nya tentang lokasi Church of the Holy Cross yang ingin didatangi, dan rupanya gereja itu hanya berjarak 1 menit jalan kaki dari Samui. Alasan ingin mengunjungi gereja ini adalah karena menurut review yang kami baca di internet, kalau ingin melihat pemandangan Dresden dari tower gereja, lebih baik pergi ke Church of the Holy Cross daripada Frauenkirche yang sebenarnya lebih terkenal. Kenapa? Karena tiket masuknya jauh lebih murah sementara pemandangan yang didapatkan sama aja dibanding kalau kita naik ke tower gereja Frauenkirche.

Well, akhirnya kami masuk ke gereja. The stairs were quite climb-able (tetep aja ada banyak dan semakin ke atas semakin menyempit, pastinya) walaupun harus berhenti sekitar 3 kali untuk ambil napas dulu. But the view from up above was magnificent. We were really on top of the city dan bisa dapet 360 degree view karena bagian puncak tower ini bulat. Agak tricky aja untuk ambil foto karena anginnya kencang sekali dan bikin rambut terus-terusan berantakan. Hahaha. Kita stay di atas sekitar 15 menit dan kemudian turun lagi.

Begitu turun, Mami menawarkan lagi untuk mengejar tour yang jam 3, walaupun it’s a slim chance to get there on time. Karena sudah tau kemungkinan besar akan terlambat juga, akhirnya kami menyempatkan diri juga untuk mampir ke Frauenkirche sebelum kembali ke museum, karena jalannya pun satu arah.

Frauenkirche was enormous dan tempat duduknya terdiri dari 5 lantai, jadi terlihat hampir persis seperti sebuah gedung opera. Lukisan di  langit-langit dan kubahnya juga luar biasa indah dan berwarna.

Kami nggak menghabiskan banyak waktu di dalam gereja ini. Setelah sekitar 10 menit di dalam, kami keluar dan menyempatkan diri untuk menonton latihan sebuah konser (semacam Christmas Carol) besar yang akan diadakan di depan Frauenkirche ini.

Seputar Theaterplatz 
Jadi sudah jelas kami sampai dengan terlambat di Semper Opera House dan pintu untuk pendaftaran tour pun sudah ditutup lagi. Tiba-tiba ada seorang officer lewat, jadi kami bertanya ke officer itu, apakah memang diharuskan untuk bergabung bersama sebuah group kalau mau masuk ke dalam museum. Dan jawabannya adalah….. tidak.

Tau gitu masuk aja dari tadi, ya. Dan rupanya memang pintu yang kami lihat bukanlah pintu yang salah. Memang harus buka sendiri aja pintunya kalau mau masuk. Lho, kok kayak rumah sendiri ya?

Entrance fee-nya adalah 10 euro per orang dan long story short, I have to say that I was a bit disappointed. Maksudnya, kalau sudah pernah ke Rijksmuseum, ada kemungkinan sekitar 75% akan kecewa kalau berkunjung ke museum ini. Pencahayaan, penataan, dan pengkategorian ruangannya tidak menarik. Terutama permasalahan ada di pencahayaannya, to be honest. Karena Gemäldegalerie Alte Meister ini sebenarnya juga memuat beberapa lukisan yang sangat terkenal di dunia, saya secara personal merasa bahwa pencahayaannya harus lebih baik lagi.

So…. pay a visit to this museum if you’re curious about it, but I don’t recommend it.

Karena ukuran museumnya juga lebih kecil dari Rijksmuseum dan tidak begitu banyak hal menarik perhatian, kami sudah keluar 45 menit kemudian. Hari sudah mulai gelap dan kamipun memutuskan untuk kembali ke main square dan makan pizza di salah satu Piazza Nova sambil mendengarkan Christmas Carol yang sedang ditampilkan.

The magical Theaterplatz

Setelah makan malam, sebelum pulang, kami menyempatkan diri untuk berjalan-jalan mengelilingi Christmas market yang ada di pinggir sungai terlebih dahulu. Ramainya nggak kalah dengan Christmas market di Altmarkt. Tapi untungnya karena night stroll ini lah kami sempat mencoba Bratapfel.

Bratapfel
Bratapfel adalah salah satu makanan tradisional Jerman dan merupakan Germans’ Christmas treat. It pretty much means an apple stuffed and baked with a cinnamon-y, almond flavor. Kulit apelnya akan mengelupas karena panas, kemudian apel akan disiram dengan topping sesuai selera. Sesuai dengan rekomendasi penjualnya, kami memilih rhum sebagai topping-nya.

Rasanya? IH, jangan ditanya enaknya. Apelnya sudah lembut karena direbus, tapi tidak lantas menjadi lembek saat digigit. Berbagai macam spices yang dimasukkan juga terasa dan porsinya pas, tidak berlebihan. Agak sedikit mahal memang harga bratapel biasanya sekitar 5 atau 6 euro, tapi benar-benar worth the delicacy!


24th December

So, here’s one of the days I’ve been waiting for! Kami akan pindah negara ke Czech Republic dan mengunjungi Praha. Selalu penasaran dengan Praha yang katanya unik dan berbeda dari kota-kota lainnya di Eropa.

Balsamic chicken with risotto on the train!
Jadi hari ini kami naik kereta pukul 11:08 pagi dari Dresden Hbf menuju Prague. Jarak yang ditempuh sebenarnya tidak terlalu jauh, jadi hanya akan menghabiskan waktu 3 jam di kereta. Kereta yang kami tumpangi langsung berbeda (kualitasnya) dengan kereta-kereta sebelumnya. Kereta kali ini jauh lebih tua dan bahkan bisa dibilang usang.

Karena menghabiskan siang hari di kereta, maka kami memutuskan untuk makan siang di restoran kereta saja dibanding harus menunggu sampai ke Praha nanti. Makanan yang ada di restoran, surprisingly, enak. Menunya juga bervariasi. It was quite pricey, tapi tetap bisa dikategorikan mid-range price lah, terutama di Eropa.

Kami sampai di stasiun Praha sekitar jam 2 siang. Hal pertama yang kami lakukan adalah mencari ATM untuk tarik tunai Czech Crown (mata uang yang digunakan di Czech adalah Czech Crown, bukan Euro). Setelah itu, seperti biasa kami mencari informasi mengenai tiket kereta dan bertanya tentang cara mencapai stasiun yang kami tuju, IP Pavlova.

Berbeda dengan negara-negara lainnya yang memiliki sistem metro yang agak ribet dan banyak cabangnya, Prague hanya memiliki 3 line metro (A, B, dan C), jadi sangat mudah untuk menentukan kereta mana atau stasiun mana yang harus dipilih.

Soal tiket, kami membeli tiket public transportation yang berlaku selama 72 jam (3 hari) dengan harga 310 CZK untuk dewasa dan harus membeli 3 tiket dengan durasi 24 jam untuk Tristan dengan harga 55 CZK/ticket karena tidak ada tiket 72 jam untuk anak-anak.

Kami berhasil sampai di IP Pavlova dengan mudah dan tidak kesulitan mencari apartment kami walaupun jaraknya lumayan jauh (sekitar 600 m) dari stasiun. Kami disambut oleh Mrs. Tatiana, ibu dari penyewa apartment kami, Yana.

Baru juga sampai, kami diberi kabar gembira bahwa lift apartment sedang rusak sehingga kami mau tidak mau harus naik tangga sambil menggotong 2 koper super besar dan 2 koper kecil. Lebih menggembirakannya lagi, kami harus naik 5 lantai. Asik, kan?

Well, it was quite a struggle but of course we made it!

Setelah perjuangan yang lumayan bikin ngos-ngosan, Mrs. Tatiana memberikan kami beberapa informasi tentang transportasi, supermarket terdekat, dan lain-lain, setelah itu pamit.

Begitu Mrs. Tatiana pergi, kami juga segera memakai jaket kami lagi dan keluar dengan misi utama untuk mencari supermarket dan membeli keperluan-keperluan penting karena pada umumnya, semua toko dan restoran (and whatever) akan tutup pada malam natal dan hari natal.

Nama supermarket yang diberikan oleh Mrs. Tatiana adalah Billa, tapi setelah berjalan mengikuti direction yang disampaikan, kami tidak melihat ada tanda-tanda kehadiran Billa di sekitar kami. But, we did fid one shop which sells quite lots of daily products (semacam toko Asia). Dan setelah bertanya pada kasirnya, kami diberitahu bahwa toko ini buka 24/7, bahkan besok, jadi kami agak tenang nggak akan kehabisan makanan dan kelaparan di apartment. Hehe. #hiperbola

Setelah itu kami kembali ke metro station untuk pergi ke pusat kota dan mencari Tyn Church sekaligus mencari informasi tentang misa Natal besok pagi. Tyn Church memang agak sulit ditemukan di peta kota, tapi kalau melihat dengan teliti, pasti akan menemukan Tynska neighborhood. There’s where the church is located.

Dan setelah bertanya pada petugas di stasiun, kami diberitahu untuk turun di stasiun Staromestska, stasiun yang terdekat dengan Old Town (Tyn Church lokasinya di tengah Old Town).


Prague and all its beauty

Begitu keluar dari stasiun, sungai ada di sebelah kiri kami, dan menurut peta kota pegangan saya, untuk mencapai Tynska, harus berjalan berlawanan arah dengan arah yang menuju ke sungai. Kalau sudah sekali berjalan ke sana, pasti akan ingat terus dan tidak sulit untuk menemukan Tyn Church karena kalau sudah berjalan maju dari stasiun, tower gereja akan terlihat. Apalagi waktu itu bel gereja berdentang terus-menerus dan juga ada keramaian Christmas market di depan gereja. Pokoknya, it’s not hard to locate.

Kami sih inginnya masuk ke dalam gereja, tapi rupanya pintu gereja sudah ditutup (itupun kami harus mengelilingi gerejanya untuk mencari pintu masuknya). Jadi kami hanya memotret mini poster tentang jadwal misa di papan pengumuman. Tapi, senang sekali karena malam itu bisa melihat secara langsung Astrological Clock yang sangat terkenal berdentang dan boneka-bonekanya yang berputar-putar di dalam tower jamnya.

Well, setelah itu kami akhirnya jajan makanan lagi di Christmas market. Hehe. And I finally got to taste the roti gulung setelah antrian yang cukup panjang. Tadinya nggak tahu apa sih nama rotinya (dijual juga di Christmas market-nya Jerman), dan rupanya namanya adalah TrdelnĂ­k atau biasanya ditulis TRDLNIK di plang yang menjual atau TRDLO (slang dari TRDLNIK, yang arti sebenarnya adalah clodpole, or clodpoll or goofy). Aduh, it was the heavenliest roti on earth!

TRDLNIK
TrdelnĂ­k sebenarnya adalah kue tradisional (sweet pastry) dari Slovakia, originally coming from Hungarian-speaking part of Transylvania, Romania. TrdelnĂ­k juga terkenal karena menjadi salah satu culinary heritages dari beberapa negara Eropa seperti Hungary, Czech Republic, dan Austria.

TrdelnĂ­k terbuat dari adonan roti yang digulung dengan sebuah stick khusus, dipanggang, kemudian disiram dengan gula, cinnamon, atau walnut mix.

Nah, selain nyobain TrdelnĂ­k, Daddy juga membeli hot apple cider yang terbuat dari fermented apple juice. Minuman ini juga menjadi salah satu Christmas treat terbaik di Czech. Rasanya manis, agak sedikit asam, dan yang penting bisa menghangatkan badan di cuaca yang dingin.


25th December

Pagi ini, kami akhirnya memutuskan untuk misa Natal di St. Vitus Cathedral yang sangat terkenal di Praha. Jadi dari IP Pavlova, kami naik metro ke Malostranska station dan naik tram nomor 22. The tram was packed up with tourists dan hampir semuanya turun bersamaan di Prasky Hard station. Kami akhirnya mengikuti kerumunan orang yang menyebrangi jalan saja karena percaya bahwa pasti sebagian besar juga menuju ke St. Vitus.

Kami melewati 2 terowongan pendek dan harus menyebrangi sebuah square dulu sebelum bisa mencapai St. Vitus Cathedral yang sangat tinggi dan megah dengan ukiran-ukirannya.

Misa Natal mulai pukul 10 pagi dan saat itu sudah jam 10 lewat. Jadi Mami bertanya pada petugas yang menjaga dan mendapat keterangan bahwa akan ada holy mass lagi jam 12 siang nanti. So we said, “We’re gonna come back later.”.

Kami akhirnya berjalan-jalan mengitari gereja dan mengunjungi Christmas market yang ada di belakang gereja. Tadinya kami ingin mencari café sekadar untuk ngopi-ngopi dan menghangatkan diri sambil menunggu misa berikutnya, tapi akhirnya kami memutuskan untuk jajan makanan saja di Christmas market dan duduk di atas tembok pembatas (preman!). Haha.

I bought another TrdelnĂ­k (of course, dude), Tristan beli hot dog, sementara Mami dan Daddy mencoba jacket potato yang dibumbui (dan ini enak, lho!). Kami juga mencoba hot chocolate. Hot chocolate di sini gelasnya sekecil gelas espresso, dan bisa diibaratkan sebagai espresso juga. Chocolate yang dipakai di sini benar-benar pure chocolate. Jadi memang porsi hot chocolate-nya kecil sekali dan dalam beberapa menit bisa langsung beku lagi menjadi chocolate.
Trdlnik versi sudah jadi

We enjoyed our little picnic dan sekitar hampir jam setengah 12, kami memutuskan kembali ke pintu depan gereja untuk berjaga-jaga saja. Kami berdiri di depan pintu masuk dan menunggu. Singkat cerita, setelah bertanya ulang, rupanya petugas yang kami tanyai tadi salah mengerti pertanyaan kami dan baru kali ini dia mejelaskan bahwa misa jam 10 tadi adalah misa terakhir hari itu. Yang dia maksud tadi adalah gereja baru akan buka untuk turis yang mau berkunjung pada pukul 12 siang.
Kami yang panikpun bertanya pada petugas lain tentang holy mass yang mungkin masih ada di gereja lain. Kami mendapat informasi bahwa kemungkinan besar masih ada misa di Jesus of Prague Church dan kami diarahkan untuk jalan kaki saja. Tapi, tanpa petunjuk arah dan tanpa google map (karena tidak ada internet), kami cukup kesulitan untuk mencari gerejanya.

Untung pada akhirnya kami berhasil menemukan gerejanya setelah kami naik tram beberapa stasiun. Walau cukup terlambat, akhirnya kami misa Natal di Jesus of Prague Church. Setelah misa Natal, kami kembali ke arah St. Vitus dan tadinya berencana untuk mengunjungi castle-nya. Tapi karena sudah terlalu sore, kami merasa tidak akan ada cukup waktu untuk bisa mengelilingi castle sore ini.

Akhirnya kami pergi ke spot di mana kami bisa melihat hampir keseluruhan kota Praha dari atas, tempatnya ada di dekat St. Vitus (try to ask people there). Setelah itu kami berjalan kaki menuruni tangga kembali menuju downtown dan mendapat kesempatan untuk mengunjungi St. Nikolas Church sebentar.
St. Nikolas Church

Karena sudah kelaparan, akhirnya kami makan (makan sore kayaknya ini mah) di restoran yang ada di depan St. Nikolas Church. Selesai makan, lagi-lagi langit sudah gelap. Kami sebenarnya sudah tidak ada rencana khusus lagi, hanya ingin berjalan-jalan di sekitar old town saja. Tapi di tikungan, kami melihat plang iklan konser musik klasik. Akhirnya kami memutuskan (impulsively) untuk mencoba menonton konser di salah satu kota music di Eropa. Baguuuuussss sekali konsernya! Ini adalah four-string concert, jadi ada 1 cello, 1 contra-bass, dan 2 violin.
Selesai menonton konser, kami melanjutkan berjalan kaki menuju ke Charles Bridge yang rupanya tidak terlalu jauh.

Charles Bridge ini dulu disebut sebagai Stone Bridge (KamennĂ˝ most) atau Prague Bridge (PraĹľskĂ˝ most), tapi diubah namanya menjadi Charles Bridge pada tahun 1870. Charles Bridge adalah sebuah jembatan historikal dan sangat terkenal yang menyebrangi Vltava River, sungai terpanjang di Czech Republic.

Jembatan ini mulai dibangun pada tahun 1357 di bawah kepemimpinan King Charles IV dan baru selesai dibangun pada awal abad ke-15. Panjang jembatan ini adalah 621 meter dengan lebar sekitar 10 meter, ditopang dengan 16 tiang. Jembatan ini dihiasi dengan continuous alley dari 30 patung (statues and statuaries) yang kebanyakan bergaya baroque dan gothic. Patung-patung yang menghiasi jembatan ini dibangun pada tahun 1700 dan sekarang semuanya sudah digantikan oleh replika.

Di jaman dahulu, tujuan jembatan ini dibangun menyeberangi sungai Vltava (sampai tahun 1841) adalah sebagai penghubung yang sangat penting antara Prague Castle, kota tua, dan daerah sekitarnya. This “solid-land” connection made Prague important as a trade route between Eastern and Western Europe.

 Nah, karena jembatan ini penuh dengan histori dan sangat indah (pemandangan dari jembatan ini juga sangat wow, lho), nggak heran kalau banyaaaaakk sekali turis yang berkunjung ke sini setiap harinya. Sekadar saran, kalau ingin menikmati jembatan ini sedikit dalam damai dan bisa ambil foto yang decent tanpa harus terdesak-desak orang, lebih baik berkunjung ke Charles Bridge saat sudah agak malam, saat di mana jumlah turisnya sudah sangat menyusut.

Sekalian sambil jalan-jalan ini juga kami sempat membeli beberapa souvenir keren dan postcard yang lucu-lucu. Dan nggak disangka, akhirnya kami membeli tiket konser lagi untuk besok malam. Hehe. Godaan memang banyak.

Setelah jalan-jalan, foto-foto dan menyebrangi Charles Bridge sambil mengagumi patung-patung dan Prague’s city light, akhirnya kami naik metro kembali ke IP Pavlova dari stasiun Staromestska.


26th December

Nah, khusus untuk hari ini kami berjalan terpisah. It’s a very exciting day for me because I finally got to meet one of my good cyber friends! How cool is that?

Jadi pagi ini kami berangkat sama-sama sekitar jam 9 pagi. Mami dan Daddy mau misa pagi dulu di St. Vitus dan akan turun di Malostranska, sementara aku dan Tristan janjian dengan Kate (yes, my cyber friend) di depan Tyn Church (Staromestska Station, 1 stasiun sebelum Malostranska).

Nggak sulit untuk mengenali Kate, bahkan dari jauh, yang duduk sendirian di bawah pohon natal super besar di depan Tyn Church. Hehe. We said hi, we hugged, kemudian immediately cari tempat ngopi. Karena tempat terdekat, ter-nggak-ribet, dan ter-pasti-ada-wifi adalah Starbucks di situ, ke sana lah kami menuju.

Ngopi singkat sampai sekitar jam 10, kemudian kami cabut jalan kaki ke Apple Museum. Yes, Apple di sini adalah Apple-nya Steve Jobs. Konon katanya sih Apple Museum di Prague adalah yang terbesar di dunia, tapi ini juga ukurannya kecil banget kok. Menarik sih, isinya iPhone, iPod, Macbook, iMac, bahkan sampai se-mouse dan se-CPU jaman dulu juga dipajang di sana. Agak aneh melihat Apple dengan tampilan yang masih ‘tebal’ dan ‘besar’ karena sekarang kan sangat terkenal karena praktis dan tipisnya ya.

Shot ini diambil secara ngasal saking silaunya. Ini 'asal', lho. 
Selesai dari Apple Museum, kami langsung berjalan menuju Charles Bridge karena harus naik kembali ke St. Vitus (jalan kaki memang bisa kok rupanya) untuk bertemu Mami dan Daddy di square.


Kemarin sih memang enak pas perjalanan turun dari Prague Castle ke Charles Bridge, tapi rupanya kalau track-nya dibalik……. Hm. Lumayan membakar juga. Jalanan yang kemarin mudah dilalui karena turunan semua, sekarang jadi super berat karena tanjakannya yang terjal, belum lagi ratusan

anak tangga untuk sampai ke puncaknya.

Prague from up above
Walau harus berhenti-berhenti beberapa kali untuk ambil napas (dan Kate yang hanya menatap dengan maklum. “Payah nih orang Indonesia gak bisa jalan jauh,” kayaknya sih dia mikir dalam hati), tapi akhirnya kami berhasil sampai di atas tepat waktu.

Sesuai janji, kami bertemu Mami dan Daddy di depan sumur yang ada di dekat St. Vitus’ treasure museum. Setelah perkenalan dan ini itu, kami kembali ke Christmas market untuk nyemil-nyemil cantik. Setelah diskusi singkat, akhirnya diputuskan kami berpisah lagi setelah ini. Adiknya Daddy, Om Ronny, yang bekerja di Slovakia hari ini ada trip ke Prague bersama teman-teman kantornya, jadi kemungkinan bisa sekaligus bertemu. Untuk memastikan, Mami dan Daddy harus mencari wifi dulu agar bisa menghubungi Om Ronny.


St. Vitus Cathedral

Setelah berpisah lagi dengan janji akan bertemu di bawah Astrological Clock sekitar jam 3 sore nanti, rombongan yang bertiga ini ingin mengunjungi Prague Castle (karena Kate juga tidak tinggal di Prague), tapi sayangnya English Tour untuk seputar castle baru akan ada jam 2 sore nanti. Wassalam. Siapa yang mau menunggu 2 jam lebih?

Setelah berpikir keras, akhirnya Kate bilang, “Let’s just go back downtown, have a stroll along the river and I’ll show you some not-so-famous things that I find interesting”. Karena memang sudah nggak ada ide, kami berdua hanya mengangguk dengan semangat. Pokoknya jalan-jalan, deh!

Jadi kami turun tangga lagi sampai ke Charles Bridge dan mengikuti arahan Kate keluar masuk alley, jalan di pinggir sungai Kampa (sempat duduk-duduk dulu lho dan dengan dramatisnya menikmati pemandangan), lewat taman-taman lokal, sampe keluar masuk alley yang lain lagi. Belok-beloknya di mana sudah nggak inget deh. Pokoknya manut aja mau diseret ke mana juga. Hehe.

Hal pertama yang kami lihat adalah patung. Awalnya agak bingung, ini patung apa sih? Plus agak geli dan serem juga.

Jadi, patung ini surprisingly nggak memiliki nama sendiri. Tapi patung ini adalah salah satu patung paling terkenal dari seorang seniman ternama di Czech, yang bernama David Cerny. Well, let’s just call it Barcode Babies.


Kampa River

Rupanya, Barcode Babies ini ada di beberapa lokasi di Prague. Ada di Kampa Park (tempat di mana kita lihat patung ini), ada di pintu masuk Kampa Museum, dan originally, ada pertama di Zizkov TV Tower di Prague 3. Kalau sedang melihat pemandangan skyline Prague, patung-patung bayi ini akan terlihat mencolok sedang dalam posisi memanjat TV Tower tersebut, sebuah simbol yang berasal dari era komunis, unable to reach adulthood, the babies are stifled.

John Lennon's Wall




Nah, dari patung ini (nggak pengin foto sih di patung ini), kami lanjut berjalan keluar masuk alley lagi, dan nggak jauh dari Kampa Park ini ada John Lennon’s Wall. John Lennon’s Wall ini berupa sebuah tembok di salah satu lorong kota Prague yang dihiasi oleh mural tentang John Lennon. Some of his lyrics, his words of wisdom, his face, etc. Kata Kate, biasanya ada beberapa orang yang menyanyikan lagu-lagu John Lennon di sini, tapi berhubung ini masih sehari setelah Natal, kemungkinan para ‘pengamen’ nya juga masih sedang liburan.

Setelah lihat-lihat John Lennon’s Wall, kami akhirnya baru merasa kecapekan. Nggak terasa, kalau diingat-ingat jalan dari tadi siang sudah jauuuuh sekali. Plus belum makan siang juga. Akhirnya kami kembali ke Old Town dan naik metro dari Staromestska ke Museum. Turun di Museum, kami sudah kelaparan dan yang ada di depan mata hanya McDonald’s. Yaudah, apa aja yang ada deh, yang penting bisa makan dulu. Hehe.

Selesai makan, rupanya sudah jam 3 kurang sedikit. Tanpa putar-putar di Museum, kami segera kembali ke Staromestska dan menunggu di bawah Astrological Clock. Sebenarnya kami sudah terlambat kurang lebih 15 menit, tapi begitu sampai di bawah Astrological Clock kok belum ada tanda-tanda kehadiran Mami dan Daddy. Kami menunggu, menunggu, menunggu sampai akhirnya jam 4. Belum muncul-muncul juga.

Akhirnya kami kembali ke Starbucks dan baru mendapat wifi untuk sms Daddy. Cerita punya cerita, rupanya Mami dan Daddy salah naik tram sehingga nyasar dan malah jadi jauh untuk pergi ke Staromestska. Sekitar pukul setengah 5, akhirnya mereka datang menyusul kami di Starbucks.

Mami pun mulai bercerita bahwa tadi mereka berdua pergi mencari tiket bus untuk pergi ke ÄŚeskĂ˝ Krumlov besok, tapi rupanya kantor yang menjual tiketnya tutup karena masih libur. Mau tidak mau, akhirnya kami harus membeli tiket secara online. Untungnya ada Kate yang membawa laptop dan bisa dengan mudah membantu kami untuk purchase tiket bus secara online.

Dari situ, karena Mami dan Daddy kelaparan, akhirnya kami mampir ke sebuah restoran Italia sebelum akhirnya janjian bertemu dengan Om Ronny sebentar di bawah Astrological Clock (yet again).

Sisa malam kami habiskan untuk menonton konser di St. Clementinum Church sebelum kembali ke apartment kami karena udara yang semakin dingin.




27th December

Thanks to Kate, hari ini kami berhasil berangkat ke kota tujuan kami berikutnya (walau masih agak berat hati meninggalkan Praha), ÄŚeskĂ˝ Krumlov.

Kami berangkat ke stasiun bus di Andel pada pukul 10, menunggu bus jam 11 berangkat. Perjalanannya tidak memakan waktu terlalu banyak, hanya 2 setengah jam. Jalanan di Czech sangat mulus sehingga perjalanan jadi tidak melelahkan. Pemandangan yang kami lalui mayoritas adalah padang rumput yang cantik, atau beberapa kota kecil terkadang kami lewati.

Sekitar jam setengah 2 siang, kami sudah sampai di stasiun bus yang kami tuju, yaitu Spicak Station. Walau agak kesulitan mencari apartmentnya, tapi kami berhasil sampai di apartment dalam waktu yang tidak terlalu lama, dan jarak dari Spicak Station ke apartment yang kami sewa juga sangat dekat.

Senang sekali karena apartment kami letaknya sudah persis di seberang tembok yang membentengi Old ÄŚeskĂ˝ Krumlov, tempat yang akan kami explore selama 2 hari ke depan. Konon katanya tempat ini benar-benar masih kental suasana abad pertengahannya, dan yang membuat ÄŚeskĂ˝ Krumlov semakin spesial adalah ketiadaan brand-brand ternama di sini. Jadi, barang-barang yang dijual di ÄŚeskĂ˝ Krumlov adalah 100% produk lokal. Jangan berangan-angan ada McD, or Starbucks, or Louis Vuitton, dan lain-lain. Pokoknya strictly cuma produk lokal!

Nah, begitu sampai di depan apartment, kami disambut oleh Jan dan Luc, pemilik apartment. Kami diberi arahan tentang penggunaan ini dan itu dan beberapa rekomendasi restoran. Setelah Jan dan Luc pergi, kami yang sudah kelaparan akhirnya membuat makanan seadanya dulu sebelum pergi mencari makan keluar, at least untuk mengganjal perut.

Selesai makan, ada sesuatu yang janggal terjadi. Jadi, botol-botol minum seharusnya berada di backpack Daddy, tapi saat mau minum, kok backpack Daddy nggak ada. Agak sedikit kaget dan panik, kami baru sadar backpack Daddy tertinggal di bus tadi. Aduh, padahal isinya barang-barang penting. Cash, credit card, passport, dan beberapa dokumen lain ada di backpack itu.

Daddy segera menghubungi Jan dan Luc untuk minta bantuan agar bisa berkomunikasi dengan pihak bus. Dengan sigapnya, Jan dan Luc langsung menjemput Mami dan Daddy dengan mobil supaya bisa segera pergi ke kantor agency bus terdekat.

Setelah beberapa diskusi dan koordinasi, akhirnya kami diberi kabar bahwa backpack Daddy akan bisa diambil sore nanti sekitar jam 6 di Spicak Station. Kami haya harus menunggu di station dan bertanya pada sopir bus yang berhenti di station tersebut sekitar waktu yang ditentukan.

Bersyukur sekali rasanya setelah sekitar setengah jam menunggu di station (walau agak kedinginan juga), tapi backpack berhasil sampai kembali dengan selamat dan semua dokumen penting lengkap dan tidak tersentuh.

Tembok benteng di malam hari
Karena sudah lega, rasa lapar kembali timbul. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Old ÄŚeskĂ˝ Krumlov untuk mencari restoran. Pergi ke Old ÄŚeskĂ˝ Krumlov ini, kami harus melewati terowongan pendek di bawah tembok bentengnya yang sangat tinggi, tebal, dan kokoh. Rasanya seperti dikirim ke masa lain dengan mesin waktu. Begitu melewati terowongan, kami langsung disambut oleh suara air sungai yang mengalir dengan deras. Ada jembatan kayu yang harus kami sebrangi sebelum benar-benar menjejakkan kaki di Old ÄŚeskĂ˝ Krumlov. Walaupun hampir semua toko sudah tutup, namun kami bisa membayangkan betapa magical-nya kota tua ini.

Karena sudah malam dan tidak mau pergi terlalu jauh, akhirnya kami makan di restoran pertama yang kami lihat. European food yang enak dengan harga yang reasonable.


28th December


The morning view from the bridge <3

Kami hanya stay 2 malam di ÄŚeskĂ˝ Krumlov, maka dari itu, kami harus menggunakan hari ini sebaik-baiknya.

Jadi, ÄŚeskĂ˝ Krumlov ini adalah sebuah kota kecil di South Bohemian Region dari Czech Republic, tempat di mana ÄŚeskĂ˝ Krumlov Castle yang terkenal berada. Old ÄŚeskĂ˝ Krumlov telah dideklarasikan sebagai salah satu UNESCO World Heritage Site dan diberi status ini bersamaan dengan distrik Prague Castle.

Biasanya, (terutama para group tour) nggak ada yang akan menginap untuk menikmati kota ini. Jadi hanya mampir ke ÄŚeskĂ˝ Krumlov karena memang kota ini sangat kecil. Tapi, kami nggak mau rugi dong. Masa udah jauh-jauh ke Czech terus cuma sekadar mampir di kota tua ini. Karena itu kami mengambil keputusan untuk menginap di sini.

Nah, karena kami ingin menikmati kota kecil super cantik ini sebelum akan ada gerombolan turis dan tour group di mana-mana, begitu matahari mulai naik sekitar jam 9 pagi, kami sudah menyeberangi jembatan.

Kami sengaja tidak sarapan di apartment hari ini supaya bisa berangkat lebih pagi. Tapi tetap saja tujuan pertama kami di old town adalah mencari tempat sarapan. Hehe. Sesuai salah satu rekomendasi dari Jan dan Luc, kami mencari coffee shop yang bernama Deli 99.

Walau agak sedikit putar-putar mencarinya, tapi kami berhasil menemukan Deli 99 yang letaknya ada di ujung jalan Latrán.
The portal to the fairytale world


Tempatnya kecil tapi nyaman sekali. Hanya ada 1 sofa, 3 meja untuk 4 orang, dan 3 lainnya berupa stool untuk 2 orang. Kebetulan sekali waktu kami masuk, ada 4 orang yang juga baru selesai sehingga kami bisa langsung duduk.

Antara terkejut dan tidak terkejut, rupanya hanya ada 1 orang yang melakukan semua tugas di sini; yang menyambut tamu, yang memberikan menu, mengambil pesanan, memasak, sebagai kasir, bahkan cuci piring pun dia yang melakukan. Agak gila, ya? Kalau orang Indonesia disuruh kerja seperti ini pasti sudah orangnya bilang, “memangnya ini masih zaman romusha?”

Tapi nyatanya kalau di Eropa, pekerjaan seperti ini sudah sangat biasa karena faktor menyewa tenaga kerja yang sangat mahal dan atas nama efficiency.

Pagi ini cuacanya bagus sekali. Langit terlihat biru dan cerah, udara juga tidak terlalu dingin karena matahari menampakkan diri, padahal kemarin kelabu sekali. Kami duduk dan cepat memutuskan pesanan.

Tapi karena memang yang melakukan semua tugasnya hanya 1 orang, akibatnya pelayanan di sini jadi lambat sekali. Mau pesan saja kita harus menunggu agak lama. Apalagi setelah pesan, menunggu makanan dan minumannya dibuat, duuuuuuhh sampe pengen makan kusen pintu rasanya. Jadi saran kami, kalau mau berkunjung ke sini, lebih baik jangan kalau sedang buru-buru atau sedang kelaparan. Santai-santai aja kalau mau makan atau ngopi-ngopi di sini. Hehe.

Hot chocolate dan chai chai latte di sini super enak. Selain itu Deli 99 ini mayoritas menunya roti dengan gaya semacam sandwich atau panini. Rotinya enak, isinya juga segar-segar sekali. Pokoknya sempatkan mampir lah kalau sedang berkunjung ke kota ini. 

One of the vintage alleys
Setelah mengisi perut, kami kembali berjalan-jalan lagi. Karena ini kota kecil dan kami tidak perlu naik public transportation apapun (semuanya ada dalam jangkauan berjalan kaki kok), jadi kami memang tidak punya rencana khusus selain keliling-keliling saja.

Tadinya, rencana awal kami adalah untuk mampir ke kastil hari ini, tapi kami kan maunya melihat kastil ini waktu masih pagi hari dengan cahaya matahari yang bagus dan juga tidak terdesak turis yang datangnya berbondong-bondong. Jadi kami menunda rencana kunjungan ke kastil jadi besok pagi saja dibanding harus siang ini.

Berjalan kembali ke tengah kota, kami akhirnya tiba di Centrum (ini square di tengah kotanya). Christmas market-nya ÄŚeskĂ˝ Krumlov terletak di Centrum. Di salah satu sudut Centrum, rupanya ada information center. Kami memutuskan mampir untuk minta peta atau melihat kalau-kalau ada event tertentu.

Kami melihat ada brosur yang mengiklankan tour beberapa jam di old town dan castle, sepertinya asik juga kalau ada tour guide yang menjelaskan beberapa sejarah yang tidak kami ketahui. Baru mau mendaftar, eh, kami diberitahu bahwa rupanya castle tutup sepanjang winter. Batal deh.

Ya sudah, akhirnya dengan berbekal peta kota yang tidak seberapa besar, kami agak sedikit mendaki jalan ke St. Vitus Cathedral (he-eh, namanya sama kayak katedral di Praha). Kami hanya masuk sebentar dan melihat-lihat, kemudian keluar lagi dan foto-foto di depannya.

Selanjutnya, ya, seperti biasa; kami melangkahkan kaki aimlessly saja, yang penting bisa keliling-keliling di kota kecil ini. Kalau ada tempat bagus ya mampir dulu numpang jepret-jepret sedikit. Hehe.

Sempat melewati Regional Museum, sudah niat banget mau masuk, eh rupanya tutup juga. Hm. Semacam tutup semua ya kalo winter.

Akhirnya kami kembali lagi ke Centrum dan dengan perut agak lapar, mulai hunting makanan di Christmas market. Wah, mata tiba-tiba menangkap ada yang menjual mie goreng. Iya, MIE GORENG di ÄŚeskĂ˝ Krumlov. Fresh from the wajan lagi dijualnya. Gimana nggak tergiur, kan? Akhirnya nyobain deh. Siapa tahu emang seenak kelihatannya.

Goulash soup
Dan rupanya….. IH, emang enak banget! Rasanya agak-agak gurih, manis juga, mie-nya pun enak. Apalagi makanan panas gitu kalau lagi dingin-dingin, kan nikmat banget. Sampa karena cuma 1 mangkok kurang, kami beli lagi, lho.

Selain itu kami mencoba goulash soup juga. Ini juga enak (sekali lagi, makanan panas apapun tuh enak kalau winter). Ingredients nya agak banyak nih kalau goulash soup. Coba searching, deh. Intinya goulash soup ini rasanya cukup berbumbu, sedikiiiiiit kecut, biasanya pakai garlic, beef broth, paprika, sama marjoram. Isinya biasanya potatoes. Ini juga wajib dicoba.



Bratwurst
Setelah nyemil (Indonesia banget, udah makan 2 mangkok mie goreng sama goulash soup aja masih dibilang ‘nyemil’), mau jalan-jalan lagi, eh kami nyangkut di stand yang jual karikatur. Rupanya stand ini juga bisa melukis karikatur dari wajah kita. Sebagai kenang-kenangan dari ÄŚeskĂ˝ Krumlov, akhirnya minta digambar deh berdua-berdua dengan harga 490 CZK/ 2 persons.

Sisa sore kami habiskan masuk-masuk gang dan berakhir mengitara Vltava River di Český Krumlov dan mampir ke strudl café (Strudl Krumlov, ada di dekat Deli 99) karena di Czech ini apelnya terkenal, jadi kami mau mencoba apple strudl lokal.

Setelah kami kenyang (lagi), langit sudah gelap gulita, udara makin mendingin, dan kota juga sudah gelap dan seperti tidak berpenduduk karena toko-toko sudah tutup, kami kembali ke apartment.


29th December

Jam 9 pagi ini kami berangkat lagi dari apartment. Karena tidak bisa masuk ke castle, akhirnya kami hanya naik ke halamannya saja dan melihat pemandangan ÄŚeskĂ˝ Krumlov dari atas. Masih enak kalau naik ke halaman castle jam segini, karena belum terlalu banyak orang. Dan juga kalau beruntung dan matahari bersinar, pemandangannya indaaaah sekali.


ÄŚeskĂ˝ Krumlov from the castle

Tapi sayang beruang yang sangat terkenal dan menjadi maskot ÄŚeskĂ˝ Krumlov tidak terlihat di mana-mana pagi ini.

Setelah foto-foto dan gagal menemukan si beruang, kami turun kembali lewat jalan yang langsung mengarah ke kota dan brunch di Deli 99 lagi. Tadinya kami mau makan di Nova Gina Pizzeria, tapi rupanya full dan harus menunggu lama, jadi batal juga rencana kami. Mau mengunjungi synagogue yang ada di samping Nova Gina, lah tutup juga. Piye iki?

Benar-benar hari ini adalah jalan-jalan tanpa arah (bahkan tanpa mampir ke toko manapun juga) sambil menunggu sore hari, karena kami harus berpindah kota hari ini. Akhirnya dari pada kelaparan, kami beli TrdelnĂ­k dan hot dog di pinggir jalan untuk mengganjal perut karena kami sudah mendatangi 3 restoran dan semuanya penuh. Maklum, sudah jam 1, jadi pasti semua orang mencari makan siang.

Saat mau berjalan balik, eh kami menemukan Czech cuisine restaurant yang tidak penuh. Jadi akhirnya kami makan siang sebentar di situ. Jam setengah 3, kami agak sedikit terburu-buru berjalan kembali ke apartment untuk final packing sebelum dijemput oleh CK Shuttle yang telah kami pesan jam 3.45 pm dan akan mengantar kami ke kota tujuan berikutnya, Vienna.

Sistem shuttle ini sama seperti travel di Indonesia. Semacam Cipaganti, atau City Trans. Jadi kami booking kursi untuk tujuan Vienna (bayar pada sopirnya nanti), kemudian kami diberitahu akan dijemput pukul sekian di apartment kami, dan begitu sampai di Vienna, kami juga diturunkan tepat di depan tempat kami menginap. Jadi, tidak perlu repot mencari-cari tempatnya lagi.

Kami dijemput tepat pada waktu yang ditentukan. Perjalanan ke Vienna dengan mobil pada umumnya memakan waktu sekitar 3 jam, menurut keterangan Jerry, sopir kami yang ramah dan dengan bangganya bercerita dia pernah berlibur ke Bali selama 3 bulan.

Setelah menjemput 2 orang penumpang lagi dari Centrum, yang kemudian kami ketahui sebagai turis dari Jepang setelah perkenalan singkat, kami berangkat sekitar jam 4 lewat sedikit.

Sekitar jam 5 sore, kami sudah berada di antah berantah dengan pemandangan yang sama sekali tidak terlihat di kiri kanan kami karena hari sudah gelap dan kabut yang turun sangat dahsyat. Agak seram juga rasanya karena jalanan sangat sepi, hanya berpapasan dengan mobil lain setiap beberapa menit sekali. Jarak pandang juga sangat pendek karena semakin malam kabutnya semakin tebal, dihiasi dengan hujan segala.

Sekitar jam setengah 7, kami berhenti dan dipersilakan meregangkan badan dulu atau beli minuman hangat di McD selama 15 menit sebelum melanjutkan perjalanan. Kami sampai di Vienna sekitar jam 8 malam dan disambut oleh Yanita di apartment yang akan kami tempati.

Wah, kami yang norak cukup terkagum-kagum juga dengan apartemennya Yanita yang luas sekali dan bersih. Besar, dengan gaya minimalis, tapi terang dan juga homey. Yanita pamit setelah memberi penjelasan singkat tentang cara membuka kasur tambahan dan lokasi supermarket terdekat.

Mami dan Daddy masih sempat pergi ke Merkur, supermarket yang tadi disebut-sebut oleh Yanita, untuk membeli buah-buahan, telur, susu, dan kebutuhan lain. Begitu pulang, Mami langsung heboh tentang betapa SUPER-nya supermarket itu. Rupanya supermarket-nya terdiri dari 3 lantai dan super duper lengkap. Berbagai jenis bumbu atau roti atau daging atau keju atau sereal atau susu atau buah atau apapun lah yang mau dicari, pokoknya ada semua di situ!

Setelah ngobrol-ngobrol sambil ngopi di ruang makan, kamipun memisahkan diri untuk tidur di kamar masing-masing.


30th December

Pagi ini kami berangkat agak siang. Ketika jam hampir menunjukkan pukul 10, baru kami keluar dari apartment. Sungguh beruntung bagi kami karena apartment yang kami sewa terletak di tengah kota, dan sangat dekat dengan Stephensplatz, salah satu main station di Vienna.

Dengan bekal beberapa referensi itinerary orang di Vienna, kami memulai hari ini dengan mengunjungi Stephen’s Dome yang terletak di seberang Stephensplatz Station.

Stephen’s Dome, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Jermannya; Stepheansdom, merupakan salah satu landmark Vienna. Pembangunan katedral ini dimulai pada abad ke-12, dengan Duke Rudolf IV sebagai inisiatornya. Sekarang Stephansdom menjadi salah satu bangunan Gothic paling penting di Austria.


Stephansdom

Dengan panjang 107.2 meter dan lebar 34.2 meter, Stephansdom memiliki 4 tower yang menambah kemegahannya. Tower yang tertinggi terletak di bagian selatan katedral dan tingginya mencapai 136.44 meter. Stephansdom juga terkenal karena memiliki 13 bell yang tergantung di tower-tower dan merupakan rumah bagi Pummerin, the second biggest free-swinging chimed church bell in Europe.

Kalau sekadar ingin masuk dan melihat-lihat bagian dalam Katedral ini memang tidak perlu membayar. Tapi, kalau ingin menyewa audio guide, naik ke tower, atau turun ke katakombe, ada beberapa tiket yang harus dibeli (disediakan secara package juga).

Setelah mengitari gereja, Tristan dan Daddy naik ke tower (ada lift-nya kok). Untuk naik ke puncak tower, dewasa harus membayar 5 euro, dan anak-anak seharga 2,20 euro. Begitu turun, Daddy langsung bercerita akan ‘ngilu’-nya berdiri di atas karena lantai di puncak tower terbuat dari besi yang bolong-bolong, jadi benar-benar bisa melihat ke bawah juga. Tristan juga heboh bercerita tentang anginnya yang sangat kencang di atas.

Setelah puas, kami keluar lagi dan melanjutkan perjalanan ke Pestsäule, atau yang dalam bahasa Inggris berarti plague column. Pestsäule terletak di Graben, sebuah jalan di pusat kota Vienna, dan merupakan salah satu sculpture paling penting dan terkenal di kota tersebut.

Sejarah dari column ini cukup panjang dan berbelit-belit. Intinya, pada tahun 1679, Wina diserang salah satu epidemi wabah terbesar pada abad itu. Kabur dari kota, kaisar Habsburg, Leopold I, bersumpah untuk mendirikan sebuah kolom jika epidemi tersebut berakhir. Walaupun proses pembangunannya sangat lama, melibatkan banyak sekali perubahan dan banyak sculptors, akhirnya kolom ini berhasil diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1693.

Kami mengagumi detail dari kolom tersebut, mengambil beberapa foto, dan melanjutkan berjalan kaki sampai diujung jalan Graben. Di sebelah kanan kami, sudah ada tujuan kami yang berikutnya, yaitu Peterskirche.

Peterskirche juga merupakan sebuah baroque roman catholic church di Vienna. Udara hari ini sangat sangat dingin dan angin yang bertiup semakin kencang juga tidak membantu, jadi kami terburu-buru masuk ke dalam gereja. Begitu kami masuk, rupanya sedang ada misa yang berlangsung. Kami memutuskan untuk mengikuti misa sebentar.

Misa berakhir sekitar pukul 11:30 siang dan kami langsung menuju ke Ofenloch Restaurant untuk makan siang. Kami agak ngeri sekarang kalau mencari makan siang pada jam puncak makan siang, biasanya orang-orang yang makan di restoran sudah booking tempat, jadi terkadang agak mustahil untuk menemukan tempat yang kosong.

Ofenloch Restaurant terletak jalan Kurrentgasse, hanya sekitar 5 menit berjalan kaki dari Peterskirche. Restoran ini terletak sangat tua dari luar, dan sebagian besar interiornya di dalam terbuat dari kayu. Kami memesan makanan yang kami inginkan. Untungnya, makanan datang lumayan cepat. Well, it was good but not impressive. Enak aja, tapi nggak lebih dari sekadar enak.

Selesai makan, tadinya kami ingin langsung berjalan ke Hofburg Palace, tapi karena udara yang semakin dingin, akhirnya kami terpaksa kembali dulu ke apartment untuk memakai baju tambahan, daripada sengsara kedinginan di jalan, kan?

Barulah setelah itu kami berjalan ke Hofburg Imperial Palace. Dari apartment kami (dekat Stephensplatz, remember?), berjalan kaki ke Hofburg Palace hanya memakan waktu sekitar 10 menit. Nggak terasa juga karena sambil cuci mata lihat-lihat barang bagus di sepanjang jalan. Hehehe.

Hofburg Palace ini letaknya di tengah kota dan dekat sekali dengan banyak main attraction-nya Vienna, seperti museum-museum besar, Burggarten Park, opera building, dan shopping center. So it’re pretty much a very touristic area, meaning quite crowded and tongsis is everywhere.

Sebenarnya despite the freezing weather and wind, cuaca hari ini cukup menyenangkan karena langit terlihat biru cerah. Karena tidak ada tanda-tanda bahwa Hofburg Palace ini bisa dimasukki, jadi kami berjalan terus ke arah Museum Square. Tadinya kami mau langsung berjalan ke Burggarten Park untuk melihat patung Mozart, tapi waktu berjalan ke arah sana, kami melihat pintu masuk ke salah satu museum yang cukup terkenal di Vienna, Kunsthistoriches Museum.

Nah, long story short, Tristan and I decided to go inside (karena kalau di bawah 19 tahun nggak perlu beli tiket masuk alias gratis. Keren nggak, tuh? Museum besar, lho.) sementara Mami dan Daddy berjalan-jalan di luar saja.

Museum ini terdiri dari 3 bagian (atau begitulah yang kita lihat); The Ephesos Museum, Armours Collections, dan Ancient Musical Instrument Collections.

Museumnya besaaaaar sekali (nggak sebesar Louvre, pastinya, tapi besar!), tapi anehnya 1 jam lebih sedikit saja sudah cukup kok untuk mengitari museum ini. Agak menyesal kita nggak menyewa audio guide tadi karena rupanya penjelasan di dalam museum tidak disediakan dalam bahasa Inggris. Jadi, agak buta sih melihat ini dan itunya. But oh well, it was a nice visit. We loved it!

Kami keluar dan bertemu lagi dengan Mami dan Daddy yang kayaknya lagi sibuk update di FB mentang-mentang dapet wifi. Hehe. Terus kami lanjut berjalan kaki ke Burggarten Park untuk berfoto bersama patung Mr. Mozart yang sangat terkenal.

Mr. Mozart <3

150 meter dari Burggarten Park, kami sudah dapat melihat Vienna Opera State yang juga tidak kalah terkenalnya. Tapi karena udaranya ini dingin beyond kutub utara, kayaknya kami jadi kebingungan (iya, dingin banget sampe susah mikir) dan bukannya foto di depan opera building, kami malah masuk ke souvenir shop dan beli beberapa knick-knacks.

Setelah itu kami malah nangkring di Starbucks yang ada di dekat opera building dan buru-buru pulang karena malas kedinginan lagi. What a freezing day.


31st December

Wow, nggak terasa sebentar lagi sudah tahun 2016, nih.

Hari ini kami sebenarnya nggak punya agenda khusus selain menonton konser musik lagi nanti malam di Schonborn Palace. Jadi pagi ini kami cukup santai. Untuk pertama kalinya di Vienna, kami akhirnya naik metro ke Karlsplatz, salah satu stasiun utama juga, dengan tujuan mengunjungi Karlskirche, sebuah gereja bergaya baroque yang dibangun pada abad ke-17.

Waktu kami keluar dari stasiun bawah tanahnya Karlsplatz, kami memperhatikan bahwa jalan raya besar di Karlsplatz sedang di-blok dan banyak orang yang berdiri di pinggir jalan, seperti menunggu sesuatu. Kami pikir akan diadakan parade berhubung hari ini adalah hari terakhir dari tahun 2015.

Tunggu punya tunggu, rupanya sedang ada marathon. Sepertinya marathon ini terbuka untuk umum (siapa saja bisa mendaftar) dan nggak harus lari juga kok, jalan cepat juga boleh. Senang sekali melihat rombongan peserta marathon yang lewat dengan heboh. Ada yang mengenakan kostum-kostum unik, banyak yang lari bersama anjingnya, banyak anak-anak kecil yang ikut jalan cepat, ada juga yang lari sambil dorong-dorong kereta bayi. Pokoknya seru, deh!

Ketawa-ketawa melihat kostum yang aneh-aneh, gemes melihat anjing-anjing lucu yang lewat, dan pastinya foto-foto juga di sini. Suasana tambah asik karena banyak juga yang lari dengan membawa speaker sambil memutar lagu.


Selain suasana menyenangkan ini, penjagaan dari polisi juga terbilang ketat, dilihat dari siaganya polisi di banyak spot dan ada mobil polisi yang mengawal.

Setelah barisan terakhir lewat, kami lanjut berjalan kaki ke Karlskirche berbekal GPS. Rupanya kami salah memilih pintu keluar dari stasiun tadi, karena sebenarnya ada pintu keluar yang langsung mengarah ke gerejanya. Tapi yaudahlah, namanya juga nggak tahu ya tadi.

Cuaca hari ini baik, tapi udara dinginnya makin menjadi-jadi. Ampun deh, kalau lagi super dingin begini, rasanya sampai males jalan-jalan. Dinginnya terasa sampe ke tulang, lho. Hmmm…


Karlskirche

Agak terburu-buru kami berlari ke dalam gereja dengan harapan bisa menghangatkan badan. Tapi baru sampai di depan pintu masuk, rupanya harus membeli tiket. Melihat harga tiketnya (8 euro/person), saya langsung menggelengkan kepala. Hitungannya terlalu mahal untuk masuk ke sebuah gereja.

Akhirnya kami kembali naik metro (seperti di Jerman, metro di Vienna, disebut juga U-Bahn) ke Hauptbahnhof. Well, karena kami tidak berintensi untuk banyak-banyak naik kereta di Vienna, kami hanya membeli tiket one-way seharga 2.20 euro di ticket machine. Tiket one-way ini berlaku dengan cara boleh naik kereta sejauh-jauhnya, asal tidak ke arah yang berlawanan dengan arah kereta saat keberangkatan pertama (nggak boleh naik kereta balik).

Kami ke Hauptbahnhof karena ingin memastikan jadwal keberangkatan kereta untuk perjalanan ke Rothenburg ob der Tauber esok hari. Information center ada di main hall Hauptbahnhof dan untungnya tidak sedang dalam situasi mengantri. Setelah mendapatkan kertas yang berisi keterangan jadwal keberangkatan dan stasiun-stasiun mana saja yang akan kami lewati, kami berangkat ke arah Belvedere Schloss, salah satu istana yang menjadi landmark Vienna selain Schonbrunn Palace.

Jarak dari Hauptbahnhof ke Belvedere Schloss sekitar 1,2 km. Dengan jarak demikian, kami memutuskan untuk jalan kaki saja. Memang sih, jaraknya nggak jauh. Tapi saking dingin udaranya itu lho, jalan kaki sekilo aja jadi terasa menyiksa. Angin nggak berhenti-berhenti bertiup pula. Mantap, deh.

Tadinya kami memang berencana untuk melihat bagian dalam Belvedere Schloss, tapi kami lihat antrian tiketnya nggak manusiawi. Mending kalau ngantrinya di dalam ruangan yang hangat, ini mah di luar banget. Makasih banyak deh kalau harus berdiri diam-diam di situ.

Akhirnya kami berjalan ke bagian belakang istananya dan berfoto di taman istana yang luas. Sekitar jam 1 siang, kami memutuskan untuk berjalan kembali ke Hauptbahnhof untuk makan siang, karena tadi kami lihat ada beberapa restoran di main hall Hauptbahnhof.

Selesai makan siang, kami naik metro lagi ke Rathaus. Tadinya kami ingin foto-foto aja di depan Rathaus, tapi rupanya asik juga karena ada panggung yang sedang dipersiapkan untuk konser NYE, ada lagu-lagu asik yang sedang diputar, dan masih ada Christmas market juga. Lumayan lah menghangatkan badan dengan cara joget-joget bersama para be-bule-an di situ. Hehe.

Sekitar setengah 5 sore, kami memutuskan untuk kembali ke apartment dulu sebelum keluar untuk nonton konser malam ini.

Jam 7 malam, kami sudah mulai berjalan kaki ke arah Schonborn Palais, tempat konser akan dilangsungkan jam 8.15 malam nanti. Why so early? Karena 1) kami belum tahu pasti tempatnya ada di sebelah mana, dan 2) karena tempat duduk bebas, jadi kalau datang duluan, bisa mengantri di depan dan dapat kursi di depan.

Sepanjang jalan menuju Schonborn Palais, kami melihat panggung-panggung yang sudah dibangun dari kemarin di pinggir atau tengah jalan kini sudah dihiasi para musisi-musisi. Ada yang menyanyikan lagu jazz, di panggung lain ada yang lagu rock, di panggung lain ada yang folks music, di sudut lain terdengar lagu-lagu EDM. Rame banget deh pokoknya. Manusia tersebar di mana-mana, kebanyakan sambil menangkupkan tangannya di mug berisi gluhwein mereka.

Sesuai tujuan kami, begitu sampai di Schonborn Palais, baru ada 1 grup orang yang sedang menunggu pintu dibuka di depan kami. Konser mulai agak sedikit terlambat, jam setengah 9, dan berlangsung sampai sekitar jam setengah 11.

Agak bingung harus pergi ke mana setelah konser berakhir (karena tujuan kami memang ingin melihat fireworks – setelah 2 kali melewati NYE di tempat yang super sepi dan bahkan nggak ada suara sedikitpun terdengar), kami kembali ke Stephensplatz.




Kami mencoba mencari café atau restaurant untuk tempat menunggu fireworks daripada harus kedinginan di luar, tapi café/restaurant yang buka sudah bukan penuh lagi, malahan sampai pada ngantri di depan situ! Gila deh pokoknya. Belum lagi ada terlalu banyak orang, jadi memang bikin sedikit pusing dan overwhelmed.

Jam setengah 12 malam, kami memutuskan untuk pulang aja deh daripada harus kedinginan dan puyeng di sini (selain rame, bau rokok – even marijuana ones – dan beer juga ada di maaaaanaaa-maaaanaaa). Kayaknya memang paling enak merayakan tahun baru di dapur aja. Hangat, ada hot chocolate, pake PJs, habis itu langsung tidur. J


1st January

Happy new year!

Wiiii pagi pertama di tahun 2016 dikejutkan oleh suara teriakan Mami dari dapur.

“Kenapa? Kenapa?”

Kita bertiga jadi panik denger suara teriakannya.

“ITU! SALJUNYA……. TURUUUUUUUNNNNNNN!!!!!!!”

Teria Mami dengan semangat sambil sibuk buka jendela sebagai pembuktian. Benar saja, begitu jendela dibuka, terlihat jelas salju sedang turun. Di bawah, mobil dan jalanan sudah diselimuti salju semua. Well, nggak heran dari kemarin dinginnya nggak manusiawi; rupanya mau turun salju.

Langsung dong kita yang mau eksis ambil hape dan dengan berbagai upaya berusaha foto dan merekam momen ini.


Setelah berhasil mendapatkan foto dan video yang diinginkan (dan disebar di medsoc pastinya), kami langsung mandi dan bersiap-siap untuk kembali ke Hauptbahnhof. Kereta yang kami tumpangi hari ini akan membawa kami ke sebuah kota yang konon katanya bahkan lebih magis dari ÄŚeskĂ˝ Krumlov. Kebayang nggak, tuh? Namanya Rothenburg ob der Tauber. Jangan salah lho, ya, karena ada beberapa Rothenburg lain di Eropa. Jadi kalau mau berkunjung, pastikan itu Rothenbur ob der Tauber (atau biasa disebut Rothenburg odt).

Intinya hari ini full kami habiskan di kereta. Pake ada insiden kereta yang ditumpangi rusak jadi kami harus turun dan berlari mengejar kereta lain bersama penumpang-penumpang seperjalanan.

Kami menjejakkan kaki di Rothenburg ODT sudah sekitar jam 9 malam. Yaampun, ini sih memang seperti ÄŚeskĂ˝ Krumlov. Jam 9 malam kotanya sudah berubah menjadi kota mati. Rasanya kayak lagi ada zombie apocalypse deh.

Sepiiiiiiii….

Sepinya tuh bukan sepi yang ada sedikit orang di situ. Ini jenis sepi di mana kotanya beneran kosong, nggak ada orang, nggak ada kendaraan lewat, lampu yang nyala cuma remang-remang aja. Pernah ke Kidzania? Kebayang nggak kalau Kidzania udah tutup kayak apa? Nah, kayak gitu deh.
Gimana nggak seperti kota mainan?

Tapi at least udaranya sudah lebih bersahabat di sini dibanding di Vienna.

Kami menggeret koper kami menuju hotel yang akan kami inapi selama 3 malam ke depan, Gasthof Butz. Nggak begitu sulit mencari hotel kami, cuma agak berat aja nyeret-nyeret koper di cobblestone street.

Daddy cukup mengucapkan namanya saja dan kami langsung diberikan kunci kamar kami. Kamarnya kuno, tapi cukup besar untuk kami ber-4, bersih, dan juga nggak mau apak. Dan berhubung Rothenburg ini kota tua yang dengan sangat hati-hati dijaga seperti ÄŚeskĂ˝ Krumlov, di sini juga nggak ada lift. Jadi ya lumayan olah raga ngangkut koper segede gila lagi ke lantai 2 (at least bukan lantai 5, deh).




2nd January

Wah, hari pertama di Rothenburg! Nggak sabar pengin liat kayak apa kota ini kalau terang dan toko-tokonya buka.

Jadi ceritanya, Rothenburg ob der Tauber adalah sebuah kota tua yang terletak di districk Ansbach, Bayern, Jerman. Kota ini merupakan sebuah kota peninggalan wilayah Bavaria yang tidak tersentuh selama berlangsungnya Perang Dunia. Dengan luas 41.45 km², Rothenburg odt memiliki penduduk sebanyak 11.226 jiwa.


Rothenburg odt in the morning

Kota ini terkenal karena old town-nya yang masih dilestarikan dengan sangat baik serta keunikan sehingga disebut sebagai “kota yang merayakan Natal sepanjang tahun”.

Jadi pagi ini setelah sarapan di hotel, kami sudah tidak sabar dan langsung menuju ke town hall yang untungnya hanya 1-2 menit jalan kaki kalau dari hotel kami.
Memang Rothenburg nggak main-main cantiknya. Foto-foto yang dipasang di internet itu bukan bohongan atau overrated. Memang secantik kalau di foto! Wih, sampai terkagum-kagum deh pokoknya. Bener-bener seperti lagi di negeri dongeng. Gedung-gedung yang ada masih merupakan gedung-gedung tua asli dan sangat well-preserved. Warnanya juga bermacam-macam, ada yang kuning, ada yang hijau, ada yang pink, ada yang orange dan masih banyak lagi. Belum lagi bagian depannya dihiasi oleh pohon natal, patung Nutcracker prince, mistletoe, etc. Aduuuuhhh pokoknya sampai berseri-seri deh melihat kota ini secara langsung.

Padahal waktu kami keluar dari hotel pagi ini, belum ada banyak orang (di town hall sekalipun) dan mayoritas toko juga masih belum buka.

Seperti ÄŚeskĂ˝ Krumlov, kebanyakan orang yang berkunjung ke sini juga tidak menginap. Hanya 1 hari kunjungan. Padahal rugiiiiii ihhhhh! Wajib banget nginep di sini. Nyesek dan nyesel kalo enggak.

Jadi sambil menunggu toko-toko pada buka (which means museum dan tempat lainnya juga baru akan buka nanti), kami jalan-jalan aja dan mulai ‘nandain’ toko-toko yang punya barang lucu (red: semua toko).

Waktu berjalan-jalan kami akhirnya sampai di bagian pinggir kota, semacam bagian atas tembok benteng sebuah kerajaan, terus pemandangannya hutan dan ada tanda jalan raya di kejauhan. Gimana nggak kayak di negeri dongeng tuh?

Saat jalan balik ke kota, eh, tiba-tiba hujan. Waduh. Untung kami melihat Kaethe Wohlfahrt Christmas Village store, salah satu Christmas store terbesar di Rothenburg baru buka, jadi kami masuk dan berteduh dulu di situ. Ya, niatnya sih berteduh awalnya… Begitu udah di dalam toko dan melihat berbagai macam handcrafted Christmas ornaments-nya……. all hell broke loose.

Yang tadinya cuma berencana sebentar di dalam toko, rupanya jadi menghabiskan 1 jam (atau mungkin lebih) dan beli ini itu. Kami diberi penjelasan bahwa barang yang dijual adalah asli produk setempat dan tidak dijual di tempat lain, secara karena memang Rothenburg terkenal akan Christmas ornaments-nya. Beberapa barang di sini, kalau mau beli, pasti akan dapat box super bagus beserta sertifikatnya. Keren, ya?

Untuk ornamen-ornamen Natal dengan ukuran standard (yang biasa digantung di pohon Natal), harganya berkisar antara 7-25 euro, tergantung kerumitan pembuatan, cat, dan bahan dasarnya.

Setelah puas memilih barang di dalam, kami keluar dari toko. Sayangnya, masih hujan juga, walaupun sudah agak reda dan tinggal gerimis (gerimis di musim dingin sebenarnya sangat biasa). Kemudian kami kembali dulu ke hotel untuk drop barang karena nggak mungkin jalan-jalan seharian sambil bawa kantong plastik berisi beberapa kardus.

Tujuan kami berikutnya adalah Weihnachts Museum (Christmas Museum), yang merupakan museum paling terkenal di Rothenburg dan terletak di lantai kedua Kaethe Wohlfahrt Christmas Village (store pusat, berbeda dengan store yang tadi pagi kami datangi). Tiket masuk ke museum ini bisa dibeli di meja kasir yang ada di sebelah kiri pintu masuk. Karena kami ber-4, 1 keluarga, kami membeli tiket untuk family seharga 7 euro (murah sekali, kan?). Tiket yang diberikan kepada kami berupa koin emas mainan dan harus dimasukkan ke mesinnya sebelum bisa melangkah ke dalam museum.

Shortly after the grand opening of the world famous store, Harald Wohlfahrt started to contemplate traditional Christmas celebrations during the era of the town’s forefathers. Wohlfahrt berkeyakinan bahwa berbagai macam aspek dari selebrasi tradisional ini harus didokumentasikans secara layak. Museum ini dipersembahkan khusus untuk memajang berbagai macam old Christmas decorations yang asli berasal dari Jerman, dan juga sejarah tentang perkembangan cara orang Jerman merayakan festive season ini.

Museum ini disusun dengan apik, pencahayaan dan dekorasi yang cantik. Penjelasan untuk berbagai barang yang dipajang di dalam lemari kaca juga lengkap dan tersedia dalam bahasa Inggris.

Setelah sampai pada ujung museum, sebelum keluar kita pasti akan melewati Christmas store dulu. Christmas store ini tentunya memiliki nama yang sama dengan yang tadi pagi kami kunjungi, yaitu Kaethe Wohlfahrt Christmas Village store. Tapi karena store yang berada satu gedung dengan museum adalah main store, tentu saja ini jauh lebih besar. Lebih tepatnya, besaaaaaaarrrrrrr sekali! Ditata seperti kita ada dalam sebuah desa kecil dengan 1 pohon natal super besar di tengahnya dan satu wooden tower yang berputar. Aduh sampe pusing puter-puter cari pintu keluar (dan akhirnya Mami tetep nggak kuat dan jadi nyomot beberapa barang lagi).

Setelah akhirnya kami berhasil keluar (dan rupanya di luar masih aja gerimis), kami makan siang di sebuah restoran kecil di pinggir jalan (entah namanya apa hehehe), dekat dengan pizzeria yang berada di seberang John the Baptist Church. Kedatangan kami disambut dengan seorang ibu-ibu yang berbadan gempal dan mirip dengan tokoh animasi Jepang (#lho).

Buku menu yang diberikan oleh si ibu ini hanya memberikan kami 3 pilihan jenis makanan untuk makan siang; schnitzel, pasta, atau bratwurst. Ya karena pilihan makanannya hanya itu, kami pesan saja semua, ditambah dengan satu mangkok (besar) salad yang ditawarkan oleh si ibu.

Selesai makan, kami langsung berjalan ke Historical Vault yang ada di seberang pintu masuk Weihnachts Museum. Harga tiket masuknya sama dengan museum Natal (7 euro/ family).

Historical Vault ini sangat kecil namun menarik. Dibagi menjadi beberapa ruangan, museum ini menampilkan tiruan dari suasana jaman dahulu dengan patung dan dekorasi ruangan yang dibuat sesuai dengan ukuran aslinya. Ada pakaian jaman dahulu, skrip-skrip tua, dan bisa juga turun ke dungeon-nya (which is a bit spooky, but small).

Selesai menengok semua ruangan di Historical Vault, kami kembali ke hotel. Mami yang menyebut-nyebut Japanese food bikin kami semua jadi kepengin juga. Untung saja setelah searching, kami menemukan 1 (iya, cuma 1) Japanese restaurant di kota super kecil ini, Louvre Japanese Food. Tapi, berhubung menurut keterangan di internet restorannya baru akan buka jam 6 sore, kami akhirnya rebahan dulu di kamar.

Sekitar pukul setengah 6, kami memakai peralatan tempur kami lagi (jaket dan lain-lain) dan keluar. Untungnya Louvre letaknya tidak terlalu jauh dari hotel kami, mungkin sekitar 8 menit jalan kaki. Awalnya memang agak ragu memasuki gang di sebelah St. Jacobi Church karena sepi dan gelap, tapi rupanya memang betul harus masuk gang yang itu.

Ketika kami sampai, restorannya belum buka dan karena kami ogah menunggu 20 menit di luar, akhirnya kami jalan-jalan dulu deh, sekalian bakar kalori sebelum diisi lagi. Hehe.

Tidak begitu jauh dari Louvre, kami mampir ke salah satu toko yang masih buka untuk membeli post card. Waktu bayar, si penjual toko ini bilang bahwa karena besok adalah hari Minggu, maka semua tempat akan tutup, kecuali restoran dan hotel. Hmm… agak sangsi sih. Masa sih semuamuanya tutup? Repot juga dong kalo betul.

Akhirnya jam 6 sore tepat, kami kembali ke arah Louvre. Di luar dugaan, restoran Jepang di kota kecil ini, yang adanya di sebuah gang yang gelap dan sepi, rupanya cukup ramai. Waktu kami sampai, jam 6 lewat sedikit, sudah ada 1 keluarga lain yang duduk. Begitu kami duduk, datang 2 pengunjung lagi.

Bahagianya ketemu restoran Jepang yang menunya variatif dan masih original. Karena kami sangat menikmati makan malam kami yang enak, fresh, worth the price, dan juga pelayanan yang super ramah, akhirnya kami booking tempat untuk makan besok malam.


3rd January 2016

Yeay, hari ketiga di Rothenburg! Ini hari terakhir kami bisa explore kota ini sepuasnya karena besok pagi kami sudah harus kembali ke peradaban.

Pagi ini kami mengikuti misa pagi di John the Baptist Church. Dan sepanjang perjalanan, kami melihat bahwa memang benar kata-kata pemilik toko tadi malam; semua tempat hari ini tutup. Kota hari ini jadi sepiii sekali. Tidak banyak rombongan tur yang berkeliaran seperti kemarin.

Selesai misa sekitar jam setengah 12 siang, kami belum merasa cukup lapar untuk makan siang dan rasanya juga masih pikir-pikir ‘mau ke mana lagi, ya?’. Jadi kami asal jalan saja keluar masuk gang dan foto-foto di tempat yang latar belakangnya menarik.

Sambil kami berjalan-jalan, kami juga menyempatkan diri berkunjung ke dalam St. Jacobi Church (yeps, yang dekat dengan Louvre) dan menyewa audio guide di sana. Setelah itu kami mau mengunjungi town museum (belokannya ada beberapa gang setelah Louvre), tapi sayangnya museum pun tutup hari ini.

Karena sudah siang, kami akhirnya kembali ke town hall dan memutuskan untuk naik ke puncak tower. Naiknya rupanya lebih tinggi daripada kelihatannya. Hehe. Sebelum sampai di tower (emang dasar pinter yang ngatur), rupanya kami harus bayar kalau mau naik ke puncaknya. Yaiyalah, akhirnya bayar. Siapa juga yang mau turun lagi tanpa lihat pemandangan padahal udah ngos-ngosan naik tangga.


Rothenburg from the top of the tower

Karena bagian top-nya sangat kecil dan sempit, jadi dibatasi hanya boleh maksimal 5 orang yang berada di atas, dan 1 orang hanya kebagian waktu 5 menit. Naik ke bagian top-nya memang naik tangga sih, tapi ini lebih tepatnya ‘manjat’ dibanding bilang ‘naik tangga’ (cobain sendiri, deh). Agak deg-degan sih memang naiknya, tapi pemandangannya memang pantas diperjuangkan kok. Dari atas kelihatan kota Rothenburg dengan warna-warninya. Kelihatan juga hutan dan bukit-bukit di kejauhan.

Sebelum 5 menit, kami sudah memutuskan untuk turun lagi karena memang agak sulit bergerak di bagian atas menara ini. Nah, kalo naiknya agak susah dan serem, turunnya lebih-lebih lagi. Huahahah. Agak bingung posisi turunnya gimana biar nggak jatuh dari tangganya yang super curam, tapi ya untungnya berhasil.

Setelah turun dari menara, kami mampir ke sebuah toko schneeballen dan beli beberapa kue bola-bola salju yang asli dari Rothenburg ini untuk cemilan (yang pake coconut enak banget btw). Dan kami akhirnya makan siang di pizzeria yang mungkin merupakan satu-satunya pizzeria di kota ini juga.

Setelah makan siang, kami lanjut berjalan-jalan. Kali ini kami berjalan ke arah yang lebih sepi. Dalam perjalanan ini, kami menemukan beberapa toko-toko menarik yang (SAYANGNYA) kok malah tutuuuuuuupppp????? L

Jadi karena nggak mau rugi, kami mulai menandai toko demi toko supaya besok pagi sebelum cabut, kami sempat lari dulu ke toko-toko ini untuk membeli beberapa barang unik yang kami lihat dipajang di etalasenya.

Sepanjang perjalanan, kami juga akhirnya bertemu dengan tembok kota tua, yang dulunya berfungsi sebagai benteng. Kalau keluar dari gerbang tembok ini sih memang hanya akan ketemu dengan lahan parkir untuk bus. Ada tangga yang bisa mengantar kita naik ke bagian atas tembok, tapi well, kami rasa kurang menarik. Kami akhirnya hanya mampir ke sebuah toko yang menjual wine (dan beberapa jenis minuman lain) dan membeli beberapa botol untuk oleh-oleh.

Setelah capek jalan kaki ke sana kemari, kami kembali ke hotel untuk baring-baring sebentar sebelum kembali makan malam di Louvre.


4th January

8.30 am kami sudah selesai sarapan. Semangat banget deh bangun pagi-pagi kalau buat belanja. Hehe. Nah, surprise, surprise! Pagi ini salju turuuuunn! Aduh, senang sekali sebelum pergi kami kebagian kesempatan untuk melihat pemandangan Rothenburg yang memang katanya paling cantik kalau sedang diselimuti salju (dan memang benar!).

Literally a winter wonderland <3

Jam 9 pagi, kami keluar dari hotel dan menyambangi satu demi satu toko yang sudah kami tandai kemarin. Ada toko yang menjual pena bulu khas abad pertengahan, kemudian toko renda yang Mami incar, dan sebuah toko embroidery. Di depan setiap toko, pemilik-pemiliknya sudah keluar dengan ember yang berisi garam. Garamnya ditaburkan supaya salju yang berada di luar toko mereka cair dan tidak menghalangi pengunjung. Kami juga menyempatkan diri untuk berfoto-foto di salah satu tembok batas kota dengan latar belakang bukit yang kini berwarna putih semua karena salju.

Sekitar jam setengah 11, kami sudah terburu-buru memasukkan pernak-pernik yang baru kami beli ke dalam koper. Jam 11, kami sudah mengurus administrasi hotel dan menunggu kedatangan taksi yang akan menjemput dan mengantar kami menuju stasiun. Phew, untung pesan taksi! Bisa gempor kalau harus menggeret-geret koper di jalanan yang sudah berbatu, diselimuti salju pula.

Taksinya terlambat datang sekitar 20 menit, tapi untunglah jarak dari hotel ke stasiun dengan naik mobil hanya 5 menit. Kami tiba di stasiun beberapa menit sebelum keberangkatan kereta.

Kami turun di Wuzburg, dan naik kereta yang mengarah ke Nuremberg. Nah, karena kami memiliki banyak waktu siang hari ini, kami sudah memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke Nuremberg daripada terburu-buru sampai di Frankfurt. Lumayan kan kalau bisa layover beberapa jam dan putar-putar di sebuah kota yang belum pernah kami lihat sebelumnya.

Kami tiba sekitar pukul 1 siang di Nuremberg. Setelah memasukkan koper kami ke dalam loker-loker yang telah disediakan, kami berjalan kaki (sekitar 1.7 km) ke arah Nuremberg Castle yang juga terkenal.

Wah, rupanya kami Nuremberg juga merupakan kota yang sangat cantik! Dari hauptbahnhof memang terlihat agak sepi, tapi setelah memasuki daerah downtown (di balik tembok tua yang membentengi pusat kota dari hbf), rupanya kota ini ramai dan hidup sekali, lho. Lampu-lampu natal masih bergelantungan di sepanjang jalan dan putihnya salju yang teronggok di sudut-sudut jalan dan atap-atap bangunan semakin menambah cantiknya kota tua ini.

Perjalanan ke castle tidak begitu terasa karena surrounding kami yang sangat menarik. Tapi……. begitu benar-benar mendekati castle……… jalanannnya langsung berubah menjadi tanjakan terjal dan curam. Lumayan juga harus tarik napas beberapa kali sebelum bisa lanjut menanjak.

Nuremberg from the castle
Karena sudah siang, kami membatalkan rencana kami untuk masuk ke dalam castle dan memutuskan untuk bermain di halamannya saja sambil melihat pemandangan kota karena lokasi kastil yang berada di puncak. Kami foto-foto dan sempat juga bermain lempar-lemparan saju sebelum kami merasa capek dan lapar.

Turun ke kota, hasil searching di map membuahkan hasil karena kami menemukan restoran Thailand (yeps, lagi! Hehe). Tawan Thai Restaurant letaknya tidak terlalu jauh dari Hauptbahnhof, namun agak ke pinggir dari keramaian kota. Masakannya enak, segar, dan original (plus reasonable price). Jadi kalau kebetulan sedang mampir ke Nuremberg dan kepengin makan sesuatu yang Asian, silakan mampir ke sini. (PS: Di seberang Tawan, ada restoran Jepang juga yang cukup besar)

Sekitar jam 3 sore, kami sudah berjalan lagi ke Hbf, mengumpulkan koper-koper kami dan menuju platform kereta yang akan bergerak langsung ke Frankfurt Hbf setelah bertanya pada information center.

Nuremberg – Frankfurt hanya memakan waktu sekitar 2 setengah jam. Jadi sekitar pukul 6 sore, kami sudah menjejakkan kaki di Frankfurt Hbf dan berpelukan dengan Opa Kamto dan Oma Tati yang menjemput kami.

Seperti biasa, karena hanya ada 1 mobil, kamipun dipecah 4 yang naik mobil, dan 2 orang naik U-Bahn ke Offenbach.

Malam hari kami habiskan untuk makan malam bersama dan ngobrol-ngobrol di dapur Oma Tati yang hangat dan selalu menjadi tempat nangkring yang menyenangkan.



5th January

Ini adalah salah satu hari yang spesial karena 2 teman kami, Susan dan Sandy, akan datang jauh-jauh dari Cologne, untuk mengunjungi dan mengajak kami berkeliling Frankfurt (walaupun mereka sendiri yang orang asli Jerman buta sama sekali mengenai Frankfurt).

Kami menunggu kedatangan Susan dan Sandy di rumah Oma Tati. Sekitar jam 1 siang, akhirnya mereka berdua sampai di Offenbach, disambut oleh Opa Kamto yang telah menunggu di bawah.

Setelah berkenalan dan ngobrol sedikit dengan Oma dan Opa, kami ber-6 pamit untuk pergi jalan-jalan hari ini ke kota. Oma Tati telah memberikan catatan pegangan pada Susan tentang U-Bahn dan S-Bahn yang dapat digunakan untuk sampai ke pusat kota, atau secara spesifik, ke Zeil, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Frankfurt.

Kami naik bus dari Bieber Main (bukan Justin Bieber, ya) sampai di Kaiserlei, kemudian lanjut dengan U-Bahn sampai dengan Hauptwache. Keluar dari stasiun Hauptwache, kami hany berjarak sekitar 250 meter dari MyZeil Mall (ini penanda bagian pusat Zeil shopping center, walaupun ada beberapa departments store di daerah ini).

Karena sudah lewat jam 1, kami memutuskan untuk mencari makan siang terlebih dahulu. Agak bingung karena tidak terlihat ada banyak restoran di daerah ini, akhirnya kami masuk ke dalam MyZeil dan segera naik ke lantai paling atas karena kami ingat ada 1 restoran Asia di mall ini.

Untung saja ingatan kami benar. Begitu sampai di lantai paling atas, COA Asian Cuisine langsung terlihat. Karena memang sedang jam makan siang, kami harus menunggu sekitar 10 menit untuk mendapat meja yang kosong.

COA menyediakan berbagai macam pilihan makanan Asia, dari Thai food, Indian food, Chinese food, Indonesian (ada gado-gado dan nasi goreng juga di sini), serta beberapa pilihan lain.

Makanan utamanya memang membutuhkan beberapa waktu untuk dihidangkan, tapi untungnya rasa lapar kami lumayan terpadamkan lebih dahulu dengan dumpling yang dipesan sebagai appetizer.

Sambil makan, kami mendiskusikan rencana hari ini. Apa-apa saja yang mau dicari dan mana-mana saja yang mau didatangi. Kesimpulan singkatnya adalah Tristan wants to find a pair of soccer shoes, I want to find a nice headphone (it’s Germany anyway, right?), and Mami wants to find a specific styled white shirt.

Jadilah akhirnya Sandy segera searching di handphone-nya, mencari tempat-tempat yang tepat untuk menemukan barang-barang yang ada di list. Setelah ngobrol-ngobrol singkat, kami setuju bahwa kami hanya perlu mencari di seputar Zeil hari ini.

Selesai makan siang, Tristan sudah heboh mau putar-putar di Adidas store yang ada di seberang MyZeil. Karena yang perempuan-perempuan masih ingin ke toilet dan menurut Susan headphone juga bisa dicari di Saturn (electronical store terbesar di Jerman) yang ada di dalam MyZeil, jadi kami sepakat untuk berpisah dulu dan bertemu 1 jam lagi di Adidas.

Setelah kunjungan wajib para wanita ke toilet, kami langsung beranjak ke Saturn. Betul saja, setelah bertanya pada seorang petugas, kami langsung dapat melihat deretan headphone yang dipajang di sebuah shelf. Setelah mencoba beberapa pilihan yang ada, saya langsung menjatuhkan pilihan pada 1 headphone cantik berwarna blue-ish grey dan membayar di kasir (setelah mendapat approval dari Mami, tentunya. Hehehe…)

Saat di jalan turun, hendak langsung menuju Adidas, saya dan Sandy sempat berbincang seputar make-up (duh, maklum ya namanya juga perempuan), dan Sandy pun mengajak untuk turun ke lantai dasar dulu dan mencari eye liner serta mascara (waterproof, pastinya) yang biasa dia pakai.

Nggak berlama-lama di dalam mall karena takut 2 laki-laki terlalu keasyikan di Adidas dan lupa sama kami, kami bergegas keluar dan menyebrang jalan menuju Adidas. Baru saja masuk, kami melihat Tristan yang sudah lompat-lompat di tangga dengan 1 plastic bag. Widih, sudah dapat barang dia.

“Iya, dapat celana, nih. Tapi sepatunya bukan di sini carinya,” kata Tristan dengan riang gembira. Maka berputar-putarlah kami di Zeil hari itu. Dari satu department store ke department store yang lain, dari satu sports store ke sports store yang lain, karena rupanya mencari sepatu yang diinginkan Tristan tidak mudah.

Not much to tell from today. Ketika akhirnya Tristan mendapatkan sepatu yang diinginkan, hari sudah gelap dan jam sudah menunjukkan pukul 7 malam (iya, beneran lama dan capek banget cari sepatu ini) dan Mami memutuksan untuk mencari kemejanya di lain kesempatan saja karena kasihan Susan dan Sandy yang masih harus menyetir pulang ke Cologne dari Offenbach nanti.

So…. we called it a day and went back home.


6th January

Hari ini, Opa akan mengajak kami untuk berkunjung ke sebuah kota tua yang memiliki kastil yang juga sangat terkenal di Jerman, Heidelberg. Jarak tempuhnya sekitar 2 jam dengan mobil dari Offenbach. Kami berangkat sekitar pukul 11 dan sampai di Heidelberg pukul 1 siang.

Jalan menuju kastilnya berupa tanjakan curam yang berliku-liku, sungguh bersyukur rasanya naik mobil, bukan jalan kaki. Hehe. Kastil yang berada di puncak bukit sudah terlihat dari jauh.

Setelah mendapatkan parkir di pinggir jalan, kami langsung turun dan dengan bersemangat masuk ke pelataran kastil. Wow, sungguh sangat terkesan dengan kastil ini. Super well-preserved, mengingat tahun pembangunannya, juga sangat bersih, dan karena sedang musim dingin, tidak begitu banyak orang yang berkunjung ke sini (terutama jika dibandingkan dengan saat musim panas).


Kami berputar-putar di taman bagian depan kastil, di mana kita bisa melihat reruntuhan kastil dengan jelas dan juga mendapatkan pemandangan kota Heidelberg secara keseluruhan dari atas.

Setelah berputar-putar di taman, kami menuju ticket office untuk membeli tiket masuk dan menyewa 1 audioguide. Harga tiket untuk dapat masuk ke bagian dalam kastil ini adalah 7 euro/adult dan 5 euro/child (plus 2.50 euro untuk 1 audioguide).  

Bagian dalam kastil ini terdiri dari beberapa bangunan. Kami mendengarkan penjelasan dari audioguide dengan saksama. Sebagai saran saja, kalau sempat berkunjung ke sini, menyewa audioguide adalah pilihan yang bijaksana (terutama jika tertarik atau penasaran dengan sejarah dan berbagai simbol yang terpatri di banyak bagian kastil).

The inside square

Dari yang kami lihat, kami tetap tidak dapat masuk ke bagian dalam ruangan kastil kecuali jika kami bergabung dengan tour group. However, ada Apothecary Museum yang bisa dikunjungi secara gratis di bagian dalam museum ini.

Apothecary Museum ini berisi berbagai macam obat tradisional (ada yang boleh kita cium baunya), peralatan medis jaman dahulu, replika ruangan-ruangan apotek, sejarah dan filosofi dari kegiatan medis, dan masih banyak lagi. Jangan bayangkan ini hanya museum sepetak. Apothecary ini berada di bawah tanah dan berbentuk hampir seperti labirin karena berputar-putar dan seperti tidak ada habisnya. Sangat menarik dan educating, bahkan untuk orang dewasa.

Karena capek berjalan dan lumayan lapar juga karena belum makan siang, akhirnya kami nangkring dulu bersama Opa juga di café yang ada di ruangan yang dulunya merupakan ruang menyimpan wine milik istana (keren, kan?). Lumayan mengganjal perut dulu dengan apple strudl dan hot chocolate.

Hari sudah semakin sore dan kami belum sempat melihat kota Heidelberg sendiri. Jadi kami keluar dari lingkungan kastil setelah mengembalikan audioguide dan mengambil passport yang dijadikan sebagai jaminan, dan karena kata Opa akan sangat sulit untuk mencari parkir di Old Town, kami akhirnya setuju untuk jalan kaki saja.

Ingat kan bahwa untuk ke kastil ini jalannya nanjak setengah mati? Nah, berarti kalau mau ke bagian downtown, kami harus berjalan turun (yang juga curam), plus menuruni ratusan anak tangga yang untungnya sudah disediakan bagi para turis yang mau langsung berjalan kaki untuk mengunjungi kota tuanya Heidelberg.

Menapaki anak tangga terakir, kami harus keluar dari gang kecil terlebih dahulu sebelum berhadapan dengan sebuah square yang dihiasi dengan sebuah monumen di bagian tengahnya. Ada beberapa anak kecil yang sedang berlarian dan 2 orang ibu yang sedang ngobrol di bangku taman yang disediakan.



Kalau sudah sampai di square ini, sebrangi dulu square-nya, kemudian berbalik badanlah. Wih, pemandangan kastil yang terlihat menjulang di atas sebagai background dari square kuno ini priceless, deh. Difoto pun tidak akan menggambarkan kerennya dibandingkan dengan melihat secara langsung.

Sampai di downtown, toko-toko sudah tutup dan langit sudah mulai gelap. Kami sempat berkunjung ke gereja kecil yang ada di old town tersebut dan mampir ke Subway untuk mengganjal perut sebelum perjalanan pulang karena malam ini kami ada janji makan malam bersama Howard dan Sandra (anak Oma dan Opa).


7th January

Hhmmm… Betah banget nih kami stay di Frankfurt sepertinya. Hari ini kami memutuskan untuk menginap semalam lagi dan baru kembali ke Amsterdam besok. Jadi, karena hari ini kosong, kami akan jalan-jalan bersama Oma Tati ke kota lagi!

Hari ini, karena lebih santai dan ingin menikmati pemandangan sekitar, kami diajak naik tram saja oleh Oma. Jadi kami naik mobil sampai stasiun tram Offenbach dan menitipkan mobil di garasi rumah temannya Oma (karena kalau parkir di pinggir jalan tidak boleh lebih dari 2 jam).

Untuk naik kendaraan umum ber-5 dan seharian, kami membeli tiket dengan judul ‘Gruppenkarte’ (berlaku untuk maksimal 5 dewasa) dengan harga 11.50 euro di mesin tiket.

Belum ada tujuan, Oma Tati mengusulkan untuk naik tram sampai stasiun terakhir saja dan nanti baru naik tram kembali dan turun di tempat lain (memang metode jalan-jalan kita agak ngaco, nih. Hahaha).

Jadi rutenya adalah Offenbach - Ginnheim dulu. Kami melewati old town-nya Frankfurt yang tidak begitu ramai. Old town ini memang bukan merupakan salah satu tourist attraction di Franfkurt, berbeda dengan kota-kota lain pada umumnya. Bagian kota ini disebut ‘old town’ karena bangunan-bangunan di sepanjang jalan ini memang belum diperbaharui dari jaman dahulu.

Kemudian kami juga melewati Messe Frankfurt, salah satu gedung yang selalu ramai dan terkenal di Franfkurt. Kenapa selalu ramai? Karena setiap harinya pasti ada pameran di sini. Messe Frankfurt kurang lebih sama artinya seperti Jakarta Fair.

Sepanjang perjalanan pasti deh melihat taman-taman kota yang nggak sekadar taman ecek-ecek atau kecil. Taman biasanya berada di tengah kota, dengan rumput yang sangat rapi dan juga pohon-pohon besar yang membentengi tamannya. Setiap beberapa meter akan terlihat bangku taman yang biasanya ditempati orang-orang yang sedang membaca koran atau mengobrol dengan temannya sambil memegang paper cup yang (mungkin) berisi kopi. Banyak anak-anak kecil yang bermain sepeda dan ibu-ibu yang mendorong baby stroller di taman. Sangat menyenangkan deh pokoknya. Kalau melihat yang seperti ini, benar-benar berharap Indonesia juga kelak akan punya taman-taman kota seperti ini.

Kemudian Oma Tati menunjuk sebuah bangunan yang terlihat setengah-modern-setengah-kuno yang merupakan University of Frankfurt. Tak lama, kami sampai di stasiun terakhir, yaitu Ginnheim.

Kami turun dan menunggu tram berikutnya yang muncul dan memutuskan untuk turun di Frankfurt Hbf. Dari Hbf, akhirnya Oma mengajak kami ke Rommerberg, salah satu bagian dari pusat kota Frankfurt, dan merupakan old town yang menjadi tourist attraction. Kalau sedang Christmas, berkunjunglah ke sini. Christmas market di Rommerberg sangat menyenangkan dan cantik. Akan banyak makanan tradisional, ada carousel, dan musik di mana-mana.

Sayang, karena Natal telah berlalu, sudah tidak ada Christmas market di sini. Kami hanya sempat menyaksikan pohon natal segede pohon (iya, maksudnya segede pohon cemara yang ada di hutan, tuh) sedang akan diturunkan. Kami kemudian mampir ke sebuah souvenir shop untuk membeli postcard.

Hari sudah siang, jadi kami berjalan kaki menuju Zeil (yeuh, Zeil deui) untuk mencari makan siang. Rupanya, di salah satu department store, tepatnya Kaufhof Galerie, di bagian atasnya ada sebuah food court dengan menu yang cukup bervariasi (tapi tetap European). Dan karena memang tiba-tiba hujan, kami akhirnya tidak punya banyak waktu dan pilihan untuk mencari restoran di luar.

Setelah selesai makan siang, rupanya langit masih mendung dan gerimis masih turun. Tapi daripada diam-diam di satu department store, kami akhirnya memilih untuk jalan melipir mepet ke gedung supaya tidak kehujanan dan mampir untuk melihat-lihat department store lain.

Hari dihabiskan dengan putar-putar dan hunting beberapa barang lucu. Hehe. Kalau sedang cuci mata memang waktu tidak terasa deh. Tiba-tiba hari sudah malam dan kami sudah harus kembali lagi ke rumah karena masih harus packing untuk keberangkatan kami ke Amsterdam besok.


8th January

Kami akan naik kereta sekitar pukul setengah 12 siang. Karena harus berangkat secara terpisah supaya koper-koper bisa dibawa dengan mobil, makan saya, Mami, dan Oma berangkat lebih dahulu dengan bus dan U-Bahn, sementara 3 laki-laki akan naik mobil ke Hbf.

Kami bertemu di Hbf dan masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum keberangkatan kereta (dan kereta kami belum muncul juga di peron). Enough time for Tristan and I to frantically lari-lari seputar Hbf untuk cari kotak pos. Hehe.

Nggak lama kemudian, kami melihat bahwa kereta kami sudah tiba dan parkir. Segera kami mencari gerbong kami dan menaikkan koper-koper. Setelah yakin semuanya beres, Oma dan Opa pamit pulang dan kami berpeluk-pelukan dulu dengan harapan akan bisa bertemu lagi dalam waktu dekat.

Perjalanan ke Amsterdam memakan waktu kurang lebih 3 jam. Perbatasan Jerman dan Belanda ditandai oleh 1 hal yang sangat jelas terlihat. Apakah itu?

Wifi.

Hahahaha. Tapi ini serius. ICE, kereta cepat Jerman, dilengkapi dengan fasilitas free wifi bagi penumpangnya (dan wifi-nya nggak abal-abal, lho). Jadi begitu tiba-tiba wifi di hape hilang, kami langsung tahu bahwa kami sudah masuk ke negara lain. Hilangnya tiba-tiba banget sih, nggak pake aba-aba (kok jadi bahas wifi?).

Selain itu juga, pemandangannya langsung terlihat berbeda. Bangunan-bangunan gaya Belanda dengan ciri khas bata merah, kanal-kanal, dan orang-orang yang bersepeda langsung memberi kesan yang jauh berbeda.

Sekitar 20 menit setelah memasuki Negeri Kincir Angin, kami sudah bersiap-siap di pintu kereta untuk turun di Amsterdam Centraal. Keinginan untuk turun dan jalan-jalan sebetar di Utrecht kami batalkan karena jam sudah menunjukkan hampir pukul 3 sore.

Kami turun di Centraal dan langsung naik kereta lanjut ke Sloterdijk karena kami telah memutuskan untuk menginap di Meininger Hotel dengan pertimbangan tempatnya yang tidak jauh dengan pusat kota dan juga kami sudah mengetahui tempatnya, jadi tidak perlu mencari-cari lagi.

Karena datang di sore hari, kami dapat langsung check in dan masuk ke kamar kami. Kami hanya meletakkan barang-barang bawaan yang memberatkan kami, kemudian kami naik kereta kembali ke Centraal, telah memutuskan untuk makan di Jasmine Thai lagi malam ini. Untung jalan menuju Jasmine Thai mudah diingat.

"Today I Love You" from Amsterdam's Light Festival at the Main Canal

Selesai makan malam, kami berjalan-jalan sebentar mengelilingi lorong-lorong kota dan kemudian kembali ke Centraal untuk naik kereta kembali pulang.


9th January

Hari terakhir bisa full dihabiskan di kota yang super cantik ini huhuhu L

Satu-satunya rencana kami yang spesifik hari ini adalah untuk mengunjungi Anne Frank Huis yang merupakan salah satu museum paling terkenal di Amsterdam. Kami sudah memegang peta kota, peta tram, dan telah meminta arahan dari resepsionis hotel tentang cara mencapai Anne Frank Huis dari Centraal.

Nah, karena kami punya banyak waktu dan hanya ingin jalan-jalan santai saja hari ini di Amsterdam, kami memutuskan untuk naik bus menuju Centraal. Di tengah perjalanan pun kami asal turun di sebuah stasiun hanya untuk mencoba jalan-jalan di daerah pinggiran (kemudian naik lagi di stasiun berikutnya).

Sampai di Centraal, kami sarapan terlebih dahulu di restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari Centraal sebelum kami melanjutkan perjalanan dengan tram menuju arah Anne Frank Huis.

Karena sudah diperlengkapi dengan petunjuk yang jelas, juga arahan dari Google Map, sangat mudah menemukan rumah Anne Frank yang sangat terkenal itu, tapi rupanya…….. ngantrinya nggak kuat, man. Panjaaaaaaaannnggg banget. Aduh, sorry deh, tapi kayaknya nggak kuat kalau harus mengantri sepanjang dan selama itu di luar dengan udara yang dingin.

Jadi kami langsung mundur dari daerah itu. Batal sudah rencananya untuk berkunjung ke Anne Frank Huis. Karena sudah tidak punya rencana, akhirnya kami naik tram kembali lagi ke arah tengah kota, memutuskan untuk mampir ke sebuah Magna Plaza Mall yang kami lihat saat perjalanan pergi tadi.

Putar-putar di dalam mall rupanya membuahkan beberapa tentengan baru yang lucu-lucu. Hohoho. (hashtag: sorrynotsorry)

Kemudian kami lanjut lagi naik tram dengan arah tak pasti, seperti biasa, dan turun di tempat yang kami lihat sedang mengadakan pasar. Tadinya kami kira itu adalah flea market yang memang terdapat cukup banyak di Amsterdam, turned out it was a flower market.



Mostly bunga yang dijual adalah bunga tulip. Dari yang masih bibit, yang masih kuncup, bahkan yang sudah mekar dengan warna-warni yang sangat terang ada semua di sini. Yang lain adalah tanaman-tanaman bonsai, dan puluhan jenis bunga lain. 17th Century Canal Ring adalah nama daerah dari flower market ini. Kalau sempat atau memang tertarik dengan tanaman, silakan menyempatkan diri untuk berkunjung ke sini!

Sisa hari kami habiskan untuk lanjut naik turun tram. Sempat kami melewati Amsterdam Zoo dan sudah berniat masuk. Tapi begitu melihat harga tiketnya 20 euro/person……….. hm, hatur nuhun, deh ya. Walau tahu bahwa kebun binatang ini sangat bagus (terlihat lah dari luar sudah bagus sekali), tapi tetep aja sepertinya terlalu mahal harga tiketnya kalo 20 euro. Hehe.

Singelgracht
Kemudian sempat juga masuk pasar sayur dan buah, baju dan sepatu bekas, pasar makanan, dll. Pokoknya hari ini benar-benar jalan-jalan sampai gempor dan menjelajah setiap sudut Amsterdam yang bisa dijelajah deh.

Sore hari, kami kembali ke kota dan kami menikmati early dinner yang memang sangat nikmat di El Rancho Argentinian Grill, salah satu Argentinian Grill yang dinilai terbaik di kota ini. Ini sih wajib dicoba. Cabangnya ada di banyak tempat di Amsterdam kok, silakan dicari di internet.

Langit sudah benar-benar gelap ketika kami selesai makan. Kami kembali naik tram dengan niat untuk kembali ke tengah kota, tapi belum benar-benar sampai di tengah kota, kami turun di satu stasiun, yang bernama Spui, karena melihat beberapa toko yang menarik mata.

ABC. Kalau suka buku, wa-jib-ke-si-ni!

Saya melihat 2 buah toko buku yang sangat besar berseberangan, sementara Mami dan Tristan melihat H&M. Long story short, saya memutuskan untuk stay di dalam toko buku saja (America Book Center) sementara Mami, Daddy, dan Tristan lihat-lihat baju ke toko lain. 1 jam kemudian kami sudah bertemu lagi, membayar buku yang dibeli (bahasa Inggris, kok, bukan Belanda :p), kemudian melanjutkan berjalan kaki dulu sampai kami melihat bahwa hampir semua toko telah tutup, kemudian kami kembali ke hotel untuk packing.  


10th January

Hiks, hiks, hiks. Ini benar-benar hari terakhir kami di Amsterdam.

Pesawat kami akan terbang pukul sekitar pukul 12 siang ini. Kami sudah siap di halte bus nomor 69 yang akan langsung mengantar kami ke Schiphol dari Sloterdijk pukul 9 pagi.

Perjalanan dengan bus dari Sloterdijk menuju Schiphol memakan waktu sekitar 45 menit (dengan kereta hanya 7 menit). Tapi karena memang kami tidak terburu-buru, kami memutuskan untuk naik bus saja, karena tidak perlu ganti juga.

Well, berikutnya adalah proses-proses pada umumnya. Check in, pemeriksaan passport, kemudian boarding.
It’s been a wonderful and fantastic holiday, now it’s time to go back to the 32 Celcius degree of Jakarta’s heat! Hehe.
 Bye, Amsterdam. Bye, Europe. We hope to see you sometime very soon J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar